Hampir separuh dari hidupnya Gisell habiskan hanya untuk mengejar cinta Rega. Namun, pria itu tak pernah membalas perasaan cintanya tersebut.
Gisell tak peduli dengan penolakan Rega, ia kekeh untuk terus dan terus mengejar pria itu.
Hingga sampai pada titik dimana Rega benar-benar membuatnya patah hati dan kecewa.
Sejak saat itu, Gisel menyerah pada cintanya dan memilih untuk membencinya.
Setelah rasa benci itu tercipta, takdir justru berkata lain, mereka di pertemukan kembali dalam sebuah ikatan suci.
"Jangan sok jadi pahlawan dengan menawarkan diri menjadi suamiku, karena aku nggak butuh!" ucap Gisel sengit
"Kalau kamu nggak suka, anggap aku melakukan ini untuk orang tua kita,"
Dugh! Gisel menendang tulang kering Rega hingga pria itu mengaduh, "Jangan harap dapat ucapan terima kasih dariku!" sentak Gisel.
"Sebegitu bencinya kamu sama abang?"
"Sangat!"
"Oke, sekarang giliran abang yang buat kamu cinta abang,"
"Dih, siang-siang mimpi!" Gisel mencebik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
Setelah melakukan operasi pada pasien selama beberapa jam, Rega benar-benar langsung kembali ke apartemen.
Namun, sebelumnya ia pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan karena kebetulan di apartemen tidak ada yang bisa di makan untuk makan siang nanti bersama Gisel.
Sampai di apartemen, Rega memencet bel. Gisel yang lelah dan ketiduran karena tadi habis menangis jadi kebangun gara-gara suara bel yang terus berbunyi, "Ya ampun, siapa sih? Bikin kaget aja, untung nggak jantungan, kan ogah banget kalau jantungan di bedah dadanya sama dokter itu," keluhnya asal. Yang dia maksud dokter itu adalah suaminya sendiri yang pasti.
Rega tersenyum di depan pintu setelah Gisel membuka pintunya. Wanita itu langsung berdecak, "Ck, nggak bisa masuk ke apartemen sendiri emangnya? Kenapa harus pencet bel, sih?" tanyanya jutek.
"Sengaja, biar kamu bukain, biar ada yang nyambut aku pulang," sahut Rega.
Gisel mendengus. Ia memutar badan lalu masuk di susul oleh suaminya.
"Kamu habis nangis? Kenapa?" tanya Rega khawatir.
"Karena aku harus nikah sama kamu, itu yang aku tangisin!" jawab Gisel asal. Dan jawaban Gisel mampu membungkam mulut Rega seketika.
"Abang beli bahan makanan, kamu bisa masak, kan dek?" ucap Rega untuk mengalihkan pembicaraan. Karena kalau sudah menyangkut pernikahan, pasti ujung-ujungnya Gisel minta pisah.
Gisel langsung menghentikan langkahnya lalu memutar badannya menatap sang suami, "Kenapa nggak beli yang langsung di makan aja? Ini udah lewat jam makan siang malah beli yang perlu diolah. Sengaja mau jadiin aku pembantu?" tuduhnya asal.
"Bukan begitu, abang udah lama nggak makan masakan kamu. Kamu masak, ya? Abang mau bersih badan dulu," Rega memberikan paper bag berisi bahan makanan tersebut kepada Gisel dan langsung menuju ke kamar.
Dengan terus mengomel, Gisel mulai memasak karena ia juga lapar. Meratapi nasib juga butuh tenaga ternyata.
Rega melihat koper Gisel masih terongggok di sudut ruangan kamar. Belum ada tanda-tanda wanita itu merapikannya di walk in closet. Sepertinya memang Gisel dari tadi sibuk menangis, pikirnya. Wanita itu hanya terlihat tegas dan tegar di depan orang, tapi hatinya tetap saja rapuh.
.
.
.
Selesai mandi, Rega langsung turun untuk membantu Gisel. Tapi, ternyata wanita tersebut sudah selesai memasaka dan menunggunya di meja makan dengan wajah masam, "Mandi atau semedi, sih? Sekalian aja turun pas makan malam," sindir Gisel.
"Kalau lapar, Kenapa nggak makan dulu?" tanya Rega lembut.
"Nggak sopanlah, masa ningalin yang punya rumah, makannya," sahut Gisel.
"Bukankah kamu tuan rumahnya sekarang? Kamu istriku, dek. Masa baru kemarin menikah, sudah lupa?"
Gisel berdecak. Ia mulai makan. Rega memakan apa yang sudah ada di depannya. Ia tersenyum tipis karena ternyata Gisel sudah mengambilkannya.
Gisel makan dengan lahapnya. Sementara Rega, baru saja ia memakan satu suap, langsung berhenti mengunyah. Ia mengernyit lalu menatap Gisel yang acuh dan sibuk dengan makananya sendiri.
Rega kembali melanjutkan makannya, lagi-lagi ia berhenti. Memang sangat asin masakan yang ia makan. Tapi, ia melihat Gisel makan masakan yang sama dan wanita itu terlihat sangat menikmatinya.
"Kenapa? Nggak enak?" tanya Gisell setelah sadar Rega menatapnya.
"Enak, kok," sahut Rega. Ia melanjutkan makannya meskipun itu sangat asin dan lidahnya benar-benar hampir mati rasa di buatnya.
Rega tahu, Gisel sengaja melakukannya. Ia terima jika itu sebagai pelampiasan kemarahan Gisel terhadapnya.
Gisel yang melihat Rega terus memakan masakannya yang sudah ia taburi banyak garam, mulai kesal. Ia ingin pria itu marah, tapi ini malah sebaliknya. Pria tersebut malah makan dengan lahapnya tanpa protes sedikitpun.
Lama-lama, Gisel sendiri yang tidak tahan melihatnya. Ia berdiri lalu mengambil piring yang ada di depan suaminya.
"Udah jangan di makan!" ucap Gisel.
Namun, Rega mencegah Gisel melakukannya, "Abang belum selesai makan, dek!" ucapnya menahan piring di depannya.
"Kenapa nggak protes? itu nggak layak dimakan!" ucap Gisel kesal. Kalau kenapa-kenapa juga aku yang di salahin ntar," ucap Gisell.
"Apapun yang kamu berikan, akan abang makan tanpa pilih-pilih," sahut Rega.
"Sekalipun aku kasih racun?" tanya Gisel tak percaya.
Rega mengangguk, "kalau itu bisa buat kamu memaafkan kesalahan abang di masa lalu, apapun yang kamu minta," ucapnya.
"Kalau gitu aku minta secepatnya kita pisah," ucap Gisel,
Rega menggeleng, "kecuali yang satu itu, abang nggak bisa kabulkan," ucapnya.
"Nyebelin! Ya udah itu makan aja!" Gisel meninggalkan Rega di meja makan. Pria itu langsung menyusulnya.
"Aku tidur di kamar lain aja!" Gisel menyeret kopernya.
Rega langsung mencekal pergelangan tangannya, "ini kamar kita, nggak ada kamar abang atau kamar kamu. Mau tidak mau kamu tidur di sini, sama abang!" ujarnya Tegas.
"Mau kamu apa sih? Percuma saja kita bertahan, pernikahan ini nggak ada gunanya buat aku!" sungut Gisel.
"Mungkin buat kamu nggak berarti, tapi tidak untukku, dek. Di depan orang tua kamu dan Tuhan abang mengambil alih tanggung jawab atas dirimu. Dan itu sama sekali bukan permainan, tapi amanah," cetus Rega.
"Aku nggak minta dinikahi!" ucap Gisel dengan nada tinggi.
Pada akhirnya Gisell yang mengalah. Ia menarik kopernya menuju walk in kloset untuk menata barang-barangnya di sana.
"Biar abang bantu, dek!" tawar Rega.
"Nggak perlu! Aku biasa mandiri!" tolak Gisel.
Rega hanya melihat Gisel melakukannya dari pintu. Wanita itu tak mengijinkannya untuk mendekat atau wanita itu akan mengamuk.
Rega membiarkan Gisel melakukan sesuka hatinya menata baju-bajunya. Termasuk saat menggeser letak barang-barang miliknya.
Gisel sengaja melakukan hal-hal yang sekiranya akan membuat Rega marah. Tapi, tetap saja pria itu datar dan sabar. Yang mana membuat Gisel kesal sendiri pada akhirnya.
.
.
Sore harinya, Rega harus kembali ke rumah sakit karena urgent. Pria itu kembali saat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Saat masuk ke dalam kamar, ia tak melihat Gisel di sana. Sempat panik karena berpikir Gisel kabur. Tapi, kepanikannya menguap saat melihat sang istri ternyata tidur di depan televisi.
Rega jongkok di depan Gisel, ia merapikan rambut Gisel yang menutupi sebagian wajahnya. Ia ingin mengusap wajah cantik yang selama ini ia rindukan tersebut, namun ia kembali menarik tangannya. Tak ingin membangunkan macan yang sedang tidur tersebut yang pasti.
Pelan-pelan, Rega mengangkat tubuh Gisel lalu membawanya ke kamar. Ia membaringkan sang istri dengan sangat hati-hati. Lalu menyelimutinya, sebelum ia membersihkan diri.
Setelah membersihkan diri, Rega mendekati ranjang. Ia ragu antara ingin tidur di samping Gisel atau tidak. Akhirnya ia pun merebahkan diri di samping sang istri.
"Jauh-jauh dariku! Jangan dekat-dekat, jijik!" sentak Gisel tiba-tiba yang mana membuat Rega terhenyak kaget hingga mencelat turun dari ranjang.
Menunggu beberapa saat, tak ada lagi pergerakan dari Gisel apalgi umpatan. Rupanya wanita itu hanya mengigau.
Rega menarik napasnya panjang, sebelum akhirnya kembali merebahkan diri. Siapa sangka, baru saja tiduran, Gisel tanpa sadar malah memeluknya. Kakinya naik ke perutnya layaknya memeluk sebuah guling. Rega sampai harus menahan napasnya beberapa saat supaya tidak mengusik tidur sang istri.
...****************...