Sebuah pengkhianatan seorang suami, dan balas dendam seorang istri tersakiti. Perselingkuhan sang suami serta cinta yang belum selesai di masa lalu datang bersamaan dalam hidup Gladis.
Balas dendam adalah jalan Gladis ambil di bandingkan perceraian. Lantas, balas dendam seperti apa yang akan di lakukan oleh Gladis? Yuk di baca langsung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gadisti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
datang ketempatku
Kediaman Pradipta.
Darren saat ini sedang tersenyum sambil menatap layar ponselnya. Duduk di kursi meja makan, bukannya menyantap sarapannya, dia malah senyam senyum sendirian sambil menatap ponsel itu membuat Saras merasa heran dengan tingkah putra satu-satunya tersebut.
Jelas heran, karena baru kali ini Saras melihat putranya senyam senyum sendirian seperti orang gila. Jika bukan putranya sudah pasti Saras akan melemparkan sendok yang saat ini sedang berada di dalam genggaman tangan kanannya.
Merasa penasaran melihat sang putra yang sedari tadi senyam senyum sendirian, akhirnya Saras pun mulai mengeluarkan suaranya. Tatapan matanya tidak pernah beralih dari wajah putranya tersebut.
"Ada apa denganmu, Darren? Mama perhatikan sedari tadi kamu hanya senyam senyum seperti orang gila. Bukannya makan sarapanmu, biar tidak kesiangan. Ini malah senyam senyum begitu. Bikin mama takut saja." Ucap Saras membuat senyuman di wajah Darren langsung menghilang seketika.
Darren lantas meletakkan ponselnya di atas meja makan, ia menatap sang mama dengan tatapan matanya yang terlihat kesal. "Siapa yang seperti orang gila, mah? Mama ini tega banget nyamain anak sendiri sama orang gila. Keterlaluan sekali." Kesal Darren seraya meraih sendok dan mulai menyendok nasi goreng buatan mama tercinta.
Memasukan satu sendok nasi goreng itu ke dalam mulutnya, sedangkan sang mama terlihat menggelengkan kepalanya.
"Darren! Nanti malam mama akan mengundang orang tua Bella untuk makan malam di rumah kita. Mama harap kamu tidak lembur atau pun kelayapan gak jelas." Ucap Saras sebelum ia memakan sarapannya.
"Lihat saja nanti, aku tidak bisa berjanji," sahut Darren dengan datar. Ia lantas memasukan kembali satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya, mengunyahnya dengan cepat, ingin segera berangkat kerja atau dia akan terus mendengar ocehan sang mama.
"Pokoknya mama tidak mau tahu. Nanti malam kamu harus pulang cepat. Tidak ada alasan kamu lembur kerja, apalagi kelayapan tidak jelas. Mama ini sudah malu sama orangtua Bella Darren. Setiap mengundang mereka makan malam, kamu selalu saja tidak ada di rumah." Saras menghela nafasnya kasar, menatap sang putra yang terlihat sama sekali tidak perduli dengan ocehannya barusan. Bahkan untuk sekedar menyahut pun, tidak. Sungguh anak kurang ajar.
"Darren! Kamu dengar mama tidak?" kesal, Saras pun mulai meninggikan volume suaranya. Para pelayan yang tidak jauh dari sana pun sedikit terkejut, lalu mereka berlalu pergi tidak ingin mendengar perdebatan antara ibu dan anak itu yang hampir setiap hari terjadi.
"Iya, mah. Aku dengar kok. Mama tidak perlu berteriak seperti itu, telinga aku tidak tuli mama." Ucap Darren seraya menyambar segelas air putih yang sudah tersedia di atas meja makan.
"Makannya kalau mama bicara itu nyahut. Bukannya diam saja seperti orang bisu. Astaga... Ngidam apa mama selama hamil kamu Darren. Kenapa kamu selalu membuat darah mama naik setiap hari? Kamu ingin mama cepet mati menyusul papamu!" Saras memijit pelipisnya yang berdenyut. Menghadapi sifat putranya yang menjengkelkan, ia butuh kekuatan yang ekstra full, atau dia akan mati berdiri dan menyusul suaminya yang sudah lebih dulu meninggalkan dirinya.
"Mah, kalau darah mama naik, ya tinggal di turunin. Gampangkan," kata Darren dengan santai kayak di pantai. Rasanya Saras ingin sekali menjewer telinga putranya itu, namun sayangnya ia tidak bisa melakukannya karena saat ini Darren sudah beranjak dari tempat duduknya dan hendak pergi.
"Aku pergi dulu ya, mah. Mama selesaikan sarapan mama. Jangan marah-marah terus, nanti mama cepet tua." Kata Darren sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan sang mama di dalam ruang makan berukuran besar itu.
Saras menghela nafasnya panjang, ia menatap kepergian putranya, lalu menggelengkan kepalanya. "Anak itu, benar-benar bikin darah tinggiku naik. Ya Tuhan, kembalikan putraku seperti dulu lagi. Selalu menurut dan tidak pernah membuat darahku naik." Batin Saras di iringi dengan helaan nafasnya.
***
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, Evan terlihat menghela nafasnya kasar, ia menatap ponselnya yang sedari tadi berbunyi, menampilkan sebuah nama wanita yang tak lain adalah Amelia. Sedari tadi wanita itu terus saja menghubungi Evan, bahkan mengirimkan Evan beberapa pesan, namun Evan sama sekali belum membalasnya. Jangankan membalas, membacanya saja belum.
Hari ini Evan benar-benar di sibukkan dengan pekerjaannya. Ia harus memeriksa beberapa dokumen penting, sebelum ia menyerahkan dokumen itu pada sang bos.
Evan mulai meraih benda pipih itu, lalu menggeser tombol berwarna hijau. Menempelkan benda pipih tersebut pada telinganya.
"Mas, kenapa kamu tidak membalas pesan dariku? Apa kamu tidak tahu, kalau aku sangat mengkhawatirkanmu. Dari pagi pesanku tidak kamu balas, telpon dariku pun kamu baru menjawabnya. Apakah kamu mau menjauhiku?" Kata Amelia terdengar marah. Marah karena pesan-pesannya sama sekali tidak mendapat balasan dari suami orang itu.
Evan kembali menghembuskan nafasnya kasar, ia memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut.
"Aku sangat sibuk Amelia. Mengertilah," sahut Evan dengan lembut. Ia sebenarnya merasa sangat kesal karena Amelia terus saja mengiriminya pesan dan melakukan panggilan. Padahal seharusnya Amelia tahu bahwa saat itu, Evan masih sibuk mengerjakan pekerjaannya. Seharusnya wanita itu bersabar, dan menunggu setelah jam dua belas siang. Karena pada saat pukul dua belas siang, para karyawan perusahaan mana pun akan menghentikan pekerjaannya untuk sekedar beristirahat atau pun mengisi perutnya.
"Baiklah, aku mengerti untuk hal itu. Tapi, tadi pagi? Kenapa kamu tidak membalas pesanku, mas?" tanya Amelia masih terdengar marah.
"Ada istriku, Amelia. Aku tidak mungkin membalas pesanmu di hadapan istriku." Ucap Evan di iringi dengan helaan nafasnya. Tadi pagi memang posisi Evan sedang bersama istrinya, ia tidak mungkin membalas pesan dari Amelia secara terang-terangan, atau istrinya akan curiga. Ya meskipun saat ini istrinya memang sudah menaruh curiga, tetapi Evan tidak mengetahuinya. Jadi, Evan masih merasa aman sentosa.
"Alesan kamu, mas. Apa tidak bisa kamu membalas pesanku saat kamu tiba di perusahaan tempatmu bekerja? Atau kamu memang sengaja ingin menjauh.... "
"Sayang, jangan berpikiran negatif dulu, sungguh aku tidak ada maksud untuk menjauhimu. Jadi, jangan marah lagi, ok." Ucap Evan memotong ucapan Amelia. Nada bicaranya begitu lembut dan halus, membuat kemarahan dalam diri Amelia sedikit mereda.
"Hmmm baiklah, aku percaya sama kamu, mas. Tapi, aku mau malam ini kamu datang ke tempatku, mas. Aku sangat merindukanmu." Kata Amelia dengan nada bicaranya yang manja.
"Tapi, sayang.... "
"Kalau kamu tidak mau menemui aku, terpaksa aku harus pergi ke tempatmu. Biarkan saja istrimu tahu tentang hubungan kita, aku sama sekali tidak perduli." Ancam Amelia membuat Evan terkejut sampai bola matanya hampir lepas dari tempatnya.
Ia tidak mungkin membiarkan Amelia datang ke rumahnya, atau rumah tangganya dengan Gladis akan berantakan. Evan tidak mau itu terjadi.
"Sayang, jangan becanda. Itu tidak lucu."
"Aku serius, mas. Kalau malam ini kamu tidak datang.... "
"Baiklah, mas akan datang ke tempatmu. Tapi, ingat jangan pernah datang ke rumahku, mengerti." Ucap Evan memotong ucapan Amelia.
Mendengar hal itu tentu saja membuat Amelia bahagia, ia akan menggunakan kesempatan malam ini untuk tidur dengan suami orang itu. Persetan dengan dosa, toh dia sudah melakukan banyak dosa di dunia ini. Yang terpenting bagi Amelia adalah hasrat yang selama ini ia pendam harus segera tersalurkan.
"Aku tunggu kamu, mas. Awas saja kalau gak datang. Aku pasti akan mendatangi rumahmu. Kamu pasti tidak mau kan kalau istrimu tahu, bahwa suaminya telah berselingkuh di belakangnya. Dia pasti akan sangat sakit hati." Kata Amelia sebelum ia memutuskan sambungannya secara sepihak.
makasih Thor🙏💪