Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama yang Tak Terduga
Hari itu seharusnya menjadi hari biasa bagi Aldo. Ia berjalan tergesa-gesa di koridor kampus, menenteng beberapa buku dan laptop di dalam tasnya. Skripsi yang harus ia kerjakan semakin mendekati tenggat waktu, dan meskipun sudah berusaha keras untuk menyelesaikannya, masih ada beberapa bab yang membuatnya buntu. Pikiran Aldo dipenuhi oleh data-data yang harus dianalisis dan teori yang harus ia teliti lebih dalam. Namun, takdir hari itu punya rencana lain karena sesuatu yang tidak pernah ia duga akan terjadi.
Langkah cepat Aldo terhenti sejenak di depan gedung perpustakaan. Ia menarik napas panjang dan memutuskan untuk mampir sebentar. Perpustakaan adalah tempat di mana ia biasanya menemukan ketenangan untuk berpikir, tapi hari itu, suasana perpustakaan tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa mahasiswa sedang berkumpul di pintu masuk, seolah-olah sedang menunggu sesuatu yang menarik terjadi.
Aldo menoleh sebentar ke arah mereka, lalu memutuskan untuk tetap masuk. Namun, baru beberapa langkah menuju pintu, seseorang tiba-tiba menabraknya dengan cukup keras hingga membuat buku yang dibawanya terjatuh ke lantai.
"Maaf! Maaf banget!" suara itu datang dari seorang gadis yang tampak terburu-buru, dengan tumpukan buku yang lebih banyak di tangannya.
Aldo mendongak dan mendapati dirinya berhadapan dengan seseorang yang sangat ia kenal. Gadis itu adalah Alia. Alia, ketua BEM yang begitu populer dan juga orang yang diam-diam menarik perhatian Aldo sejak pertemuan singkat mereka beberapa minggu lalu. Dalam sekejap, pikiran Aldo yang penuh dengan skripsi mendadak kosong, digantikan oleh kebingungan dan kekagetan karena bertemu Alia di saat yang begitu tak terduga.
Alia berjongkok cepat untuk membantu mengumpulkan buku-buku Aldo yang terjatuh. "Aku benar-benar nggak lihat tadi, maaf banget," katanya lagi, kali ini dengan senyum minta maaf yang membuat Aldo sedikit melonggar.
"Nggak apa-apa, nggak masalah kok," balas Aldo, mencoba terdengar tenang meskipun dadanya berdebar. Ia juga berjongkok, mengambil buku-bukunya dan merasakan sedikit kejanggalan dalam situasi itu. Siapa yang menyangka bahwa pertemuan pertama yang benar-benar langsung antara mereka terjadi dengan cara seperti ini?
Setelah semua buku terkumpul, mereka berdiri kembali. Alia masih memegang beberapa buku di tangannya, dan Aldo hanya bisa melihat gadis itu sebentar sebelum menyadari bahwa ini adalah kesempatan emas untuk memulai percakapan lebih lanjut.
"Lo sibuk banget, ya?" Aldo bertanya, mencoba terdengar biasa saja meskipun ia sangat menyadari siapa yang sedang diajaknya bicara.
Alia tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Iya, ada banyak hal yang harus gue urusin di BEM. Ditambah lagi, sekarang gue lagi kejar target buat selesain penelitian skripsi gue."
"Oh, lo juga lagi sibuk ngerjain skripsi?" Aldo merespon dengan sedikit kelegaan. "Gue juga lagi nyusun skripsi, udah masuk tahap akhir, tapi rasanya banyak yang masih ngambang."
Mata Alia tampak berbinar sedikit mendengar hal itu. "Bener banget. Skripsi itu kayak monster yang nggak habis-habis. Tiap gue kira udah beres satu bab, ternyata masih ada yang harus direvisi."
Aldo mengangguk setuju. "Gue paham banget. Gue udah revisi Bab 3 gue tiga kali, dan dosen pembimbing gue masih bilang kurang."
Mereka berdua tertawa kecil, merasa terhubung oleh nasib yang sama sebagai pejuang skripsi. Aldo sedikit terkejut dengan betapa mudahnya pembicaraan ini mengalir. Ternyata, Alia tak hanya ketua BEM yang sibuk dan populer, tapi juga seorang mahasiswa biasa yang menghadapi masalah yang sama dengan mahasiswa lain. Kecemasan Aldo sebelumnya tentang Alia yang ‘terlalu jauh untuk digapai’ mulai memudar sedikit demi sedikit.
"Kalau gitu, lo lagi mau nyari referensi di perpustakaan?" tanya Aldo, mencoba melanjutkan percakapan.
"Iya," jawab Alia sambil mengangkat tumpukan bukunya sedikit. "Gue butuh referensi buat beberapa bab terakhir di skripsi gue, dan ternyata buku-buku yang gue cari nggak ada di online library."
"Ah, klasik banget," Aldo menimpali dengan nada bercanda. "Teknologi canggih, tapi masih kalah sama buku fisik."
Alia tertawa mendengar itu. "Iya, bener banget. Gue nggak ngerti kenapa buku yang penting-penting justru nggak ada di versi digital."
Keduanya tertawa ringan sebelum suasana menjadi sedikit hening. Di saat-saat seperti ini, Aldo merasa harus mengambil langkah berikutnya. Ini kesempatan yang terlalu baik untuk dilewatkan. Tapi, apa yang seharusnya ia katakan? Mengajak Alia untuk minum kopi? Terlalu cepat. Atau mungkin menawarkan bantuan soal skripsi?
"Gimana kalau... kita saling bantu soal skripsi?" Aldo akhirnya memberanikan diri. "Maksud gue, lo bisa bantuin gue, dan mungkin gue juga bisa bantuin lo cari referensi atau diskusi materi."
Alia tampak sedikit terkejut mendengar tawaran itu, tapi kemudian senyumnya kembali mengembang. "Wah, itu ide bagus. Skripsi memang lebih enak dikerjain kalau ada temen diskusi. Kadang gue buntu sendiri kalau terlalu lama di depan laptop."
Aldo merasa dadanya menghangat mendengar jawaban itu. "Oke, kalau gitu kapan-kapan kita bisa janjian buat ngerjain bareng. Mungkin minggu ini kalau lo ada waktu?"
"Deal!" jawab Alia dengan antusias. "Gue bakal hubungin lo kalau gue ada waktu luang."
Setelah percakapan itu, mereka berpisah dengan senyuman. Alia melanjutkan pencariannya di perpustakaan, sementara Aldo berdiri sejenak di luar pintu, meresapi apa yang baru saja terjadi. Semua terjadi begitu cepat, namun juga terasa alami. Siapa sangka, pertemuan tak terduga ini justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar dan sebuah kesempatan yang selama ini Aldo pikir akan sulit tercapai.
Ketika Aldo berjalan keluar dari perpustakaan, ia menyadari satu hal: taruhan itu, yang awalnya hanya bercanda dengan teman-temannya, kini mulai kehilangan maknanya. Pertemuan dengan Alia tidak lagi soal membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia bisa mendekati gadis paling terkenal di kampus. Ini lebih dari itu. Kini, Aldo benar-benar ingin mengenal Alia sebagai pribadi, bukan hanya sebagai ‘target’ dari taruhan bodohnya.
Malam harinya, Aldo tidak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Alia. Pikirannya berlarian, menganalisis setiap detail dari percakapan mereka. Ia merasa lega sekaligus gugup, mengingat bahwa mereka sudah sepakat untuk bertemu lagi dan bekerja sama menyelesaikan skripsi.
Namun, di balik semua itu, ada perasaan lain yang mulai muncul di hati Aldo. Taruhan yang ia buat dengan teman-temannya adalah bahwa ia harus bisa mendekati Alia dalam waktu sebulan tapi sekarang terasa seperti beban moral. Bagaimana jika Alia tahu tentang taruhan itu? Bagaimana perasaannya jika ia tahu bahwa Aldo awalnya mendekati dirinya hanya karena sebuah permainan konyol?
Aldo menghela napas panjang, lalu merebahkan diri di kasurnya. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus memutuskan apa yang sebenarnya ia inginkan dari semua ini. Dan yang terpenting, ia harus jujur dengan dirinya sendiri, dan mungkin, dengan Alia juga.
Untuk saat ini, Aldo memutuskan untuk menikmati momen-momen kecil yang terjadi, tanpa terlalu terbebani oleh taruhan tersebut. Ia merasa bahwa pertemuannya dengan Alia lebih berharga dari sekadar permainan egois. Jika ada sesuatu yang lebih besar dari taruhan itu, mungkin perasaannya terhadap Alia sedang tumbuh karena bukan sebagai ‘hadiah’ dari taruhan, melainkan sebagai sesuatu yang nyata dan tulus.
Hari-hari berikutnya, Aldo dan Alia mulai lebih sering bertemu, bukan hanya di rapat-rapat BEM atau acara kampus, tetapi juga di perpustakaan, seperti yang mereka sepakati. Mereka saling bertukar ide tentang skripsi, berdiskusi tentang referensi, dan bahkan sesekali menghabiskan waktu di kafe kampus untuk sekadar minum kopi dan ngobrol ringan. Aldo merasa semakin nyaman berada di dekat Alia, dan yang mengejutkan, Alia pun tampak menikmati kebersamaan mereka.
Dalam setiap percakapan mereka, Aldo selalu berusaha untuk tidak memikirkan taruhan itu. Kini, ia hanya ingin fokus pada hubungan mereka yang mulai berkembang. Ada sesuatu yang spesial dalam cara mereka berinteraksi, dan Aldo merasa bahwa perlahan-lahan, ia dan Alia mulai saling memahami.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Aldo. Taruhan yang ia buat dengan teman-temannya masih seperti bayangan gelap yang terus mengintai di sudut pikirannya. Setiap kali ia bercanda dengan Alia, setiap kali mereka tertawa bersama, Aldo merasa seperti ada kebohongan yang terus menghantuinya.
Ia tahu bahwa semakin lama ia menyembunyikan kebenaran tentang taruhan tersebut, semakin sulit bagi dirinya untuk jujur pada Alia. Tetapi, pada saat yang sama, Aldo tidak ingin merusak hubungan yang baru saja mereka bangun. Ia takut bahwa jika Alia tahu, semua hal baik yang sudah mereka lalui akan hancur begitu saja.
Sore itu, setelah mereka selesai bertemu di perpustakaan, Aldo memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri di taman kampus. Ia butuh waktu untuk berpikir jernih. Udara segar dan suara dedaunan yang bergesekan dihembus angin sedikit banyak membantunya meredakan kegelisahan. Namun, pikiran tentang taruhan itu tak mau pergi begitu saja.
Aldo memikirkan berbagai kemungkinan. Apakah ia harus terus menjalani ini tanpa memberitahu Alia? Atau, seharusnya ia segera jujur dan menerima konsekuensinya, apapun itu? Rasa takut menghantuinya, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa kejujuran adalah satu-satunya cara untuk bisa menjalani hubungan ini dengan benar.
Keesokan harinya, Aldo berusaha mengalihkan pikirannya dengan fokus pada skripsi. Namun, di saat yang bersamaan, Alia mengiriminya pesan singkat.
"Aldo, lagi sibuk nggak? Gue nemu referensi bagus buat Bab 4, mungkin lo bisa pake juga buat skripsi lo."
Aldo tersenyum kecil saat membaca pesan itu. Setidaknya, hubungan mereka tetap berjalan lancar. Tapi, pesan itu juga mengingatkannya bahwa semakin dekat mereka, semakin sulit baginya untuk terus menyembunyikan kebenaran.
"Gue nggak terlalu sibuk kok. Kapan kita bisa ketemu lagi buat diskusi?" Aldo membalas cepat.
"Besok sore di kafe biasa, gimana? Gue ada waktu luang setelah meeting BEM."
Aldo setuju, meskipun di dalam hati ia merasa gugup. Ia memutuskan bahwa mungkin sudah waktunya untuk mengatakan yang sebenarnya, meski belum tahu bagaimana Alia akan bereaksi.
Esok sorenya, Aldo tiba di kafe kampus lebih awal dari yang ia rencanakan. Ia memilih meja di sudut, memesan kopi, dan menunggu Alia datang. Perasaan gugup tak bisa ia sembunyikan. Tangannya sedikit gemetar, dan pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario tentang apa yang mungkin terjadi setelah ia jujur kepada Alia.
Tak lama kemudian, Alia tiba, seperti biasa dengan senyum cerahnya. Ia membawa beberapa buku dan segera duduk di hadapan Aldo. "Sorry telat sedikit, tadi ada urusan dadakan," katanya sambil menaruh buku-bukunya di atas meja.
"Nggak apa-apa, gue juga baru dateng," jawab Aldo sambil mencoba tersenyum.
Mereka mulai membahas tentang skripsi masing-masing, saling bertukar informasi tentang referensi dan teori yang mereka gunakan. Percakapan berjalan lancar seperti biasa, tapi Aldo merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tahu bahwa tidak bisa terus seperti ini. Setiap detik terasa semakin berat, dan akhirnya Aldo memberanikan diri.
"Alia, ada sesuatu yang gue pengen omongin ke lo," kata Aldo tiba-tiba, memotong percakapan tentang skripsi mereka.
Alia menatapnya dengan penasaran. "Apa? Lo kelihatan serius banget."
Aldo menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Sebenernya, ada sesuatu yang harus lo tau. Gue udah mikirin ini lama, dan gue nggak bisa terus menyembunyikannya dari lo."
Alia tampak bingung, tapi ia tetap mendengarkan dengan penuh perhatian. "Maksud lo apa, Aldo?"
Dengan suara yang pelan, tapi tegas, Aldo mulai menceritakan tentang taruhan yang ia buat dengan teman-temannya. Ia menceritakan bagaimana awalnya mereka bertaruh bahwa ia bisa mendekati Alia dalam waktu sebulan, dan bagaimana itu semua dimulai hanya sebagai permainan egois. Namun, ia juga menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, perasaannya berubah. Ia tidak lagi peduli tentang taruhan itu, dan yang terpenting baginya sekarang adalah mengenal Alia lebih jauh dan dengan tulus.
Setelah ia selesai berbicara, suasana menjadi hening. Alia duduk diam, tidak langsung merespons. Wajahnya sulit ditebak, dan Aldo merasa cemas menunggu reaksi apa yang akan keluar dari gadis itu.
"Jadi..." Alia akhirnya berbicara, suaranya pelan namun tegas. "Lo awalnya cuma dekati gue karena taruhan?"
Aldo mengangguk pelan, merasa malu. "Iya, tapi itu dulu, Alia. Sekarang gue beneran tulus. Gue nggak peduli lagi sama taruhannya, yang penting buat gue sekarang adalah lo."
Alia menunduk sejenak, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. "Gue hargai lo udah jujur, Aldo," katanya setelah beberapa saat. "Tapi gue juga perlu waktu buat mikir. Taruhan itu... gimana pun juga, bikin gue kecewa. Gue nggak tau harus bilang apa sekarang."
Aldo mengangguk, memahami kebingungan yang dirasakan Alia. "Gue ngerti. Gue cuma minta lo kasih gue kesempatan untuk buktiin bahwa perasaan gue ini nggak main-main."
Alia menghela napas panjang. "Gue nggak janji, Aldo. Tapi gue bakal mikirin semuanya. Untuk sekarang, gue butuh waktu."
Dengan itu, Alia berdiri dan pergi, meninggalkan Aldo yang masih duduk di meja kafe, merasa campur aduk antara lega karena sudah jujur, dan cemas karena ia mungkin baru saja kehilangan kesempatan terpenting dalam hidupnya.
Hari-hari setelah itu, Aldo tidak mendengar kabar dari Alia. Mereka tidak lagi bertemu di perpustakaan, dan Alia juga tidak membalas pesan-pesannya. Aldo tahu bahwa ia harus memberinya ruang, tetapi tetap saja, setiap hari terasa berat tanpa kehadiran Alia. Semua hal yang mereka bicarakan, semua tawa dan momen kecil bersama, kini terasa begitu jauh.
Aldo hanya bisa berharap bahwa Alia pada akhirnya akan mengerti dan memberinya kesempatan kedua. Dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia bertekad untuk memperbaiki semuanya, tanpa taruhan, tanpa kebohongan tapi hanya ketulusan.