Fany, seorang wanita cantik dan anggota mafia ternama, tergeletak sekarat dengan pisau menancap di jantungnya, dipegang oleh tunangannya, Deric.
"Kenapa, Deric?" bisik Fany, menatap dingin pada tunangannya yang mengkhianatinya.
"Maaf, Fany. Ini hanya bisnis," jawab Deric datar.
Ini adalah kehidupan ketujuhnya, dan sekali lagi, Fany mati karena pengkhianatan. Ia selalu ingat setiap kehidupannya: sahabat di kehidupan pertama, keluarga di kedua, kekasih di ketiga, suami di keempat, rekan kerja di kelima, keluarga angkat di keenam, dan kini tunangannya.
Saat kesadarannya memudar, Fany merasakan takdir mempermainkannya. Namun, ia terbangun kembali di kehidupannya yang pertama, kali ini dengan tekad baru.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku lagi," gumam Fany di depan cermin. "Kali ini, aku hanya percaya pada diriku sendiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @hartati_tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Cahaya matahari pagi menembus jendela ruang ICU, menerangi ruangan dengan sinar yang lembut dan hangat. Di dalam ruangan itu, Fany terbaring di atas ranjang, tubuhnya masih lemah namun perlahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Mesin-mesin medis yang mengawasi kondisi vitalnya berbunyi dengan ritme yang stabil, memberikan sedikit rasa tenang di tengah ketidakpastian.
Dokter yang bertanggung jawab atas perawatan Fany memasuki ruangan, diikuti oleh beberapa perawat. Mereka dengan hati-hati memeriksa kondisi Fany, memastikan bahwa semua tanda-tanda vitalnya berada dalam batas normal. Dokter memeriksa luka bekas operasi di bahu dan perut Fany, memastikan tidak ada tanda-tanda infeksi atau komplikasi.
Setelah beberapa saat, dokter menghela napas lega dan tersenyum tipis. "Keadaan Nona Fany sudah membaik," katanya kepada perawat yang mendampinginya. "Luka-lukanya mulai sembuh, dan tanda-tanda vitalnya stabil. Sekarang kita hanya perlu menunggu dia untuk sadar."
Perawat-perawat itu mengangguk, merasa lega mendengar kabar baik tersebut. Mereka segera melanjutkan tugas mereka, memastikan bahwa Fany tetap nyaman dan dalam pengawasan yang ketat. Salah satu perawat membereskan selimut di atas tubuh Fany, sementara yang lain memeriksa infus dan peralatan medis lainnya.
Di luar ruang ICU, keluarga Fany menunggu dengan cemas namun penuh harapan. Eliza, Maximilian, Regina, Alexander, Sebastian, Gabriel, dan Dominic bergantian berjaga, tidak ingin meninggalkan Fany sendirian. Ketika dokter keluar dari ruang ICU, mereka segera mendekat, menanti kabar terbaru.
"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Eliza dengan suara penuh harap.
"Keadaannya sudah membaik. Luka-lukanya sembuh dengan baik, dan tanda-tanda vitalnya stabil. Sekarang kita hanya perlu menunggu dia sadar. Ini adalah kabar baik, dan saya yakin dia akan pulih," kata Dokter tersenyum, memberikan kabar yang menenangkan.
Mendengar kabar itu, keluarga Fany merasa lega. Air mata haru mengalir di pipi Eliza, dan Maximilian memeluknya erat. Regina menggenggam tangan ibunya, merasa bersyukur bahwa keadaan Fany semakin membaik.
"Terima kasih, Dokter," kata Alexander dengan suara penuh rasa terima kasih. "Kami sangat menghargai semua usaha Anda."
"Kami akan terus memantau keadaannya. Jika ada perkembangan lebih lanjut, kami akan segera memberi tahu Anda," kata Dokter mengangguk dengan rendah hati.
Dengan perasaan yang lebih tenang, keluarga Fany kembali duduk di ruang tunggu, menanti saat Fany membuka matanya dan kembali kepada mereka. Cahaya matahari yang menerangi ruang ICU seakan menjadi simbol harapan baru, bahwa Fany akan pulih dan kembali bersama mereka.
Di dalam alam bawah sadarnya, Fany meringkuk dalam ruang gelap dan hampa. Ruang itu terasa begitu familiar, sebuah perasaan yang sudah dikenalnya selama tujuh kehidupan. Kegelapan yang menyelimuti seakan menjadi teman lamanya, sebuah tempat di mana dia selalu kembali.
Fany merenung dalam kesunyian, pikirannya melayang jauh. "Apa sekarang, di kehidupan kedelapan ini, aku mati lebih cepat dari perkiraan?" pikirnya dengan kelelahan yang mendalam. Setiap kali siklus kehidupannya berakhir, rasa lelah semakin menumpuk. Seolah-olah dia tidak pernah diperbolehkan untuk mati dengan tenang, selalu terjebak dalam lingkaran yang tak berkesudahan.
Kegelapan yang menyelimutinya kini bukanlah hal yang menakutkan. Sebaliknya, Fany merasa kegelapan ini adalah teman sejatinya, satu-satunya tempat di mana dia merasa aman. Di sini, jauh dari cahaya dunia luar dan dari orang-orang yang menyakitinya, dia menemukan kedamaian sementara.
"Kenapa harus terus begini?" batinnya, meskipun tahu tak akan ada jawaban yang datang. Setiap kali dia mati, dia selalu terbangun kembali dalam kehidupan yang baru, namun penderitaan yang sama terus mengikutinya.
Dalam kegelapan ini, dia meringkuk lebih erat, mencoba mencari kenyamanan dalam kehampaan. Di sini, tidak ada yang bisa menyakitinya. Tidak ada rasa sakit, tidak ada kekecewaan, hanya keheningan yang tenang.
Namun, meskipun kegelapan ini menenangkan, Fany tahu bahwa ini bukanlah akhir. Di sudut hatinya, ada dorongan untuk kembali, untuk bangkit dan melanjutkan pertarungan. Karena meskipun kegelapan ini adalah tempat di mana dia merasa aman, hidup tetaplah sebuah panggilan yang harus dia jawab, berulang kali.
Dan begitu, dalam keheningan yang penuh perasaan, Fany menunggu. Menunggu waktu di mana dia harus bangkit kembali, menghadap dunia yang penuh dengan cahaya dan bayang-bayang, siap untuk menghadapi apapun yang menantinya di kehidupan kedelapan ini.
Di dalam kegelapan yang menyelimutinya, Fany samar-samar mendengar suara yang menyebut namanya. Awalnya, suara itu terdengar jauh, seperti bisikan lembut di tengah keheningan. Namun, seiring waktu, suara itu semakin jelas, seolah-olah seseorang berusaha keras untuk menjangkau dirinya dari dunia luar.
"Fany, apa yang akan kamu lakukan setelah sadar? Apakah kamu akan senang dengan hadiah yang kami siapkan? Apa makanan kesukaanmu? Apa yang kamu suka, Fany?"
Suara-suara tersebut mulai terdengar lebih pelan, namun lambat laun semakin jelas dan nyaring, mengusir sebagian dari kegelapan yang melingkupinya. Setiap pertanyaan yang diucapkan membawa perasaan hangat, seakan ada orang-orang di luar sana yang benar-benar peduli padanya.
Dengan perlahan, Fany mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada dorongan lembut di dalam dirinya, sebuah keinginan untuk menjawab panggilan tersebut. Perlahan-lahan, dia membuka kelopak matanya. Cahaya yang masuk membuatnya sedikit silau, namun dia mencoba menyesuaikan diri.
Saat pandangannya mulai jelas, Fany melihat wajah-wajah yang asing dan penuh kekhawatiran, namun sekarang tampak lega. Eliza, Maximilian, Regina, Alexander, Sebastian, Gabriel, dan Dominic berdiri di sekitar tempat tidurnya. Mereka semua menatapnya dengan campuran rasa cemas dan harapan.
"Fany, kamu sudah sadar," kata Eliza dengan suara bergetar, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Kami sangat khawatir."
Fany mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya menjadi gelap. Serangan, tembakan, rasa sakit yang luar biasa... semua itu sekarang terasa seperti mimpi buruk yang perlahan-lahan memudar. Dia merasakan tangan Regina menggenggam tangannya dengan lembut, memberikan dukungan yang hangat.
Maximilian tersenyum dengan lega. "Kami di sini untukmu, Fany. Kamu aman sekarang. Kami akan selalu menjagamu."
Fany menatap dengan bingung ke arah Eliza, Maximilian, Regina, Alexander, Sebastian, Gabriel, dan Dominic. Wajah-wajah mereka tampak penuh kekhawatiran dan harapan, tetapi bagi Fany, mereka adalah orang asing. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalanya. Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan di sini? Mengapa mereka tampak begitu peduli padanya?
Fany mencoba berbicara, namun suaranya terdengar serak dan lemah. "Siapa kalian? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik.
Regina melangkah maju, menggenggam tangan Fany dengan lembut. "Fany, ini kami. Keluargamu. Aku Regina, Mamamu, ini papa mu Alexander. Ini nenekmu Eliza, kakekmu Maximilian, dan ini kakak-kakakmu, Sebastian, Gabriel, dan Dominic."