NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 2

"Cine, kenapa buah delimanya retak semua?" Suara Ibu terdengar dari balik pintu kamarku yang tertutup.

Posisi nyamanku dengan duduk bersandar di tembok, juga kaki kiri di atas lutut kanan. Nikmat mana lagi yang mampu melebihi ini. Ditambah kasur empuk yang baru saja dibelikan bapak beberapa minggu yang lalu karena kasur lamaku telah rusak.

Aku mengeluh pelan. Lantas ke luar dari posisi nikmat ini untuk pergi ke dapur demi menjelaskan kepada ibu perihal insiden semalam.

"Semalam aku ketemu Yoru di bunga sedap malam." Aku menjawab.

"Oh, jadi ini ulah anak nakal itu?"

Entah mengapa, aku menggeleng cepat seolah membantah jika ibu sepenuhnya menyalahkan Yoru. Ya, walaupun tentunya itu tidak terlepas dari perbuatan Yoru. Tapi, mengingat nasibnya semalam yang membuat wajah datarnya meringis kesakitan itu membuatku tidak tega.

Tujuh buah delima itu dicuci oleh ibu. Jumlah awalnya yang diberikan oleh bibi adalah sembilan. Namun, dua di antaranya telah aku berikan kepada Yoru. Lebih tepatnya, satunya ia ambil karena terjatuh dan retak.

"Tapi dia nggak mukul-mukul kamu, 'kan?" tanya ibu.

"Nggak, Bu. Dia cuma minta delima. Katanya dia laper."

"Laper kok minta delima. Mana kenyang. Pantes aja tubuhnya begitu kurus."

Napasku berembus perlahan. Suasana hatiku kembali tak karuan. Aku tahu, Yoru memang sangat terkenal oleh masyarakat sekitar karena kenakalannya. Aku bertemu dengannya sejak SD. Sebab pada saat itu ia pertama kali pindah ke desa tempatku berada. Sekali pun aku belum pernah melihat rumahnya, atau pun siapa keluarganya.

Sewaktu SD, Yoru seringkali membuatku menangis. Tepatnya hampir setiap orang. Tak peduli jika ia perempuan, laki-laki, atau bahkan yang tubuhnya jauh lebih besar dibanding dirinya. Mencari masalah dan memancing keributan. Itulah kebiasaan Yoru sejak dulu.

Namun, sejak masuk SMP. Aku tidak terlalu sering lagi bertemu dengannya. Ya, lebih tepatnya tidak se-sering waktu SD ketika kami satu sekolah. Sejak itu pula ia tak pernah membuatku menangis lagi. Lebih tepatnya tak punya kesempatan untuk menggangguku. Sebab sekolah kami berbeda, aku akan menghindar jika tak sengaja bertemu, dan lain-lain. Padahal, semalam seharusnya menjadi kesempatannya untuk menggangguku. Ya, sebenarnya ia memang tetap menggangguku semalam. Akan tetapi, tidak sampai membuatku menangis. Bahkan, Yoru terlihat sedikit berbeda. Entah karena kami sekolah di tempat yang berbeda atau karena sebab lain.

"Terus, kenapa delimanya bisa retak?" tanya ibu lagi yang masih penasaran.

"Setelah aku kasih delima, Yoru mau minjam pisau. Tapi aku nggak bawa. Dia malah ngikutin. Katanya mau minjem di rumah. Ya, aku nggak mau dong. Masa mau minjem pisau doang harus ikut ke rumah. Jadi, aku lari deh sampai delima-delima ini jatuh," jelasku.

Ibu mengangguk tanda mengerti. Lantas kembali fokus dengan tujuh buah delima itu yang kini sedang ia masukkan ke kulkas. Percakapan kami pun selesai. Tentu saja karena rasa penasarannya telah sirna. Hanya menyisakan senyap. Apa-apaan itu.

❀❀❀

Cuaca terik tampak menyilaukan. Sebab terangnya mentari, juga terangnya luka seseorang yang melintas di depanku. Yoru.

Minimarket langganan ibu tempatku berpijak saat ini. Di mana aku sedang pusing-pusingnya mencari sesuatu yang dititip ibu. Seketika ada yang membuat teralihkan sebab kemunculan lelaki nakal itu. Aku ingat betul bahwa semalam ia tak mendapatkan luka di bagian itu. Mata kirinya bengkak berwarna keunguan. Juga dagunya memiliki warna yang sama dengan bengkak pada mata kirinya. Tak cukup sampai di sana. Ia juga berjalan pincang. Sesak mengendap sesaat.

Artinya, apakah Yoru mendapatkan pukulan lain tanpa sepengetahuanku? Siapa yang melakukannya? Apakah pria paruh baya itu? Bukankah aku sudah menjelaskan bahwa Yoru tak menyakitiku? Kenapa ia tetap dipukul?

Lemparan pandang Yoru mengarah ke tempatku berada. Matanya yang bengkak sebelah tak membuatnya malu untuk berkeliaran ke sana ke mari. Ya, ampun. Aku tahu dia nakal. Tapi, pantaskah ia mendapatkannya?

Dulu, Yoru memang kerap kali dipukul oleh siapa pun. Tapi, baru kali ini aku melihatnya separah itu. Lebih mirip penganiayaan. Jika saja ia temanku. Pasti sudah aku obati lukanya dan mendengar segala keluhannya.

Seseorang menghampiriku ketika aku sudah ke luar dari toko.

"Cine, kamu liburan ke mana?"

"Rumah bibi," jawabku.

Gadis bernama Niji itu manyun, "Itu sih bukan liburan. Setiap hari juga kamu selalu ke sana. Jalan kaki pula. Padahal, jaraknya 'kan lumayan jauh."

Ucapan Niji tidak kutanggapi lagi karena tiba-tiba lelaki yang semalam berurusan denganku itu menghadang langkah kami.

Raut wajah Niji langsung berubah menjadi kesal. Napasnya terdengar berat. Seperti siap memaki Yoru habis-habisan.

"Minggir!" Niji berseru galak.

Pandangan Yoru mengarah pada barang bawaanku yang baru saja aku beli di minimarket. Secepat kilat, ia langsung menyambar kantong plastik itu dan dengan mudah merebutnya. Kantong plastik itu langsung dirobeknya, membiarkan isinya berhamburan ke luar.

"Jangan!" jeritku sambil berusaha menarik kembali kantong plastik yang terlambat aku selamatkan itu.

"Kurang ajar!" seru Niji sambil mendorong Yoru dengan keras.

Walaupun kurus, namun pertahanan lelaki nakal itu kuat juga. Ia tidak terjatuh dengan dorongan sekuat tenaga oleh Niji itu.

Tak sampai di sana, aku yang hendak memungut barang-barang yang baru kubeli itu langsung diinjak olehnya. Bahkan tanganku ikut terinjak.

Aku meringis kesakitan. Meski demikian, aku masih berpikir bahwa Yoru tidak berniat untuk menginjak tanganku. Ia hanya berniat mengotori barang bawaanku.

"Cine!" seru Niji yang sekali lagi mendorong Yoru. Ditambah dengan tendangan kuat hingga makhluk menyebalkan itu terjatuh. "Udah babak belur kayak gitu, masih aja mau mengganggu. Harus kamu sampai buta dan cacat aja sekalian!"

Aku menepuk keras betis Niji karena perkataannya yang sangat tidak sopan. Aku masih dalam posisi duduk hendak berdiri.

"Nggak sopan, Niji. Nggak boleh ngomong gitu!" tegasku.

"Manusia kayak gini sih nggak perlu sopan santun, Cine. Sopan santun pun males dekat-dekat sama dia." Niji bertutur pedas.

Lelaki nakal itu terlihat nyengir lebar. Wajah babak belurnya tampak lebih menyakitkan dari jarak dekat. Aku yakin, itu pasti sangat perih. Entah bagaimana, ia masih bisa selincah itu dan tertawa seperti itu. Atau, mungkin saja itu caranya menutupi rasa sakit. Lagi-lagi aku bertanya-tanya, siapa yang melakukan itu padanya?

"Shinea jelek!" ucap Yoru mengejekku.

"Terus, kamu kira kamu ganteng? Kamu itu lebih mirip aspal daripada manusia!" ketus Niji yang lebih kepanasan.

Sekali lagi aku menepuknya dengan keras. Seraya berbisik, "Aku nggak suka denger kamu ngomong kayak gitu. Nggak sopan!" tegasku.

Gangguan terakhir dari Yoru. Pisau lipat. Seketika membuatku dan Niji mundur beberapa langkah. Kami berada di area yang sepi. Di sekitar perkebunan. Apa yang hendak Yoru lakukan? Degup jantungku dan Niji sama berisiknya. Seolah begitu. Saking tegangnya kami.

"Sekarang aku punya pisau!" ujar Yoru.

Aku teringat semalam aku ia ingin meminjam pisau.

Tanpa disangka, ia langsung berjongkok dan melubangi bahan-bahan kue yang telah aku beli dengan pisau itu. Semuanya. Tak terlewat satu pun. Ingin rasanya aku berteriak, namun urung sebab takut dengan pisau barunya yang terlihat tajam mengkilap itu.

Yoru langsung berlalu setelah itu. Meninggalkanku dan Niji yang langsung lemas. Aku menangis saat itu juga.

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!