Semua cintanya sudah habis untuk Leo. Pria tampan yang menjadi pujaan banyak wanita. Bagi Reca tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dalam hidupnya kecuali Leo. Namun bagi Leo, Reca terlalu biasa dibanding dengan teman-teman yang ditemui di luar rumah.
"Kamu hoby kan ngumpulin cermin? Ngaca! Tata rambutmu, pakaianmu, sendalmu. Aku malu," ucap Leo yang berhasil membuat Reca menganga beberapa saat.
Leo yang dicintai dan dibanggakan ternyata malu memilikinya. Sejak saat itu, Reca berjanji akan bersikap seperti cermin.
"Akan aku balas semua ucapanmu, Mas." bisik Reca sambil mengepalkan tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Rusmiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetangga Julid
Leo memang tidak pernah ingkar janji. Saat Reca bangun, ia sudah berada dalam dekapan suaminya. Sejenak ia memandangi wajah tampan suaminya. Laki-laki yang bukan saudara dan hanya mengenalnya beberapa tahun lalu itu berjuang mati-matian untuknya.
"Maafin aku ya Mas. Aku udah jadi beban buat kamu," lirih Reca.
"Gak," jawab Leo dengan suara yang berat.
"Eh, Mas udah bangun?" tanya Reca malu.
Leo tersenyum dan segera memeluk Reca yang tersipu. Sebelum Reca bangun, ternyata Leo sudah bangun lebih awal. Ia melakukan hal yang sama. Ia memandangi wajah Reca yang terlelap. Leo mengutuk dirinya jika tidak bisa membahagiakan istrinya. Wanita dalam dekapannya itu adalah remaja yang berani mengorbankan masa mudanya untuk dirinya.
Kasihan kamu sayang. Di saat yang lain bermain, kuliah, bekerja, kamu justru menghabiskan waktumu untuk mengurusku. Mas janji gak akan bikin kamu sedih lagi.
Leo mengungkapkan apa yang dirasakannya dalam hati. Sehingga ia tidak mengganggu tidur istrinya. Saat Reca menggeliat, Leo segera memejamkan matanya sebelum Reca terbangun.
Dengan perasaan yang sama-sama bahagia, Reca dan Leo menghabiskan pagi ini dengan semangat. Bahkan Leo meminta dibekalkan cemilan untuk menemaninya bekerja. Ya, hari ini Leo akan jarang turun ke lapangan. Ia akan menghabiskan waktunya di ruangan untuk melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai di rumah.
"Masih berapa berkas yang belum selesai, Mas?" tanya Reca sambil menyiapkan cemilan.
"Cuma dua lagi. Nanti juga beres," jawab Leo.
"Semangat ya Mas," ucap Reca sambil menyerahkan cemilannya.
Dengan senyuman dan kecupan singkat di dahi Reca, Leo sudah menjawab ucapan istrinya itu. Ia segera membawa semua barangnya ke dalam mobil dan bergegas pergi. Senyum dan lambaian tangan Reca mengantarkan Leo berangkat penuh cinta dan semangat.
Sayangnya, mood bagus Reca lumayan berantakan saat melihat tetangga julidnya menghampiri. Seperti biasa, ocehan demi ocehan mulai keluar dari mulutnya. Kok bisa sih beli mobil dulu tapi rumahnya ngontrak? Ketika mencoba jujur bahwa mobil yang dibawa suaminya adalah mobil kantor, julidnya semakin menjadi.
Wah ada yang naik jabatan nih. Nyogok berapa kok bisa cepet banget sih? Tipsnya dong biar bisa disayang bos. Apa jangan-jangan bosnya masih muda ya? Atau tante-tante kesepian? Pak Leo kan ganteng ya.
Rentetan kalimat yang membuat Reca segera pamit dan menutup pintu rapat-rapat. Ia segera pergi ke kamar dan menangis. Sakit rasanya mendengar ucapan tetangga julidnya itu. Ia menumpahkan semua kekesalannya pada tumpukan bantal. Berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan sesak di dadanya.
Baru saja Reca meyakinkan dirinya tentang Leo. Namun seketika pikirannya menjadi tak karuan. Benarkah Mba Ara yang memberikan mobil pada suaminya? Apakah Mba Ara benar-benar depresi atau hanya pura-pura agar diperhatikan suaminya? Ah, Reca mengacak rambutnya dengan kasar.
Setelah puas menangis, Reca beranjak dari ranjangnya. Berjalan menuju cermin. Menatap dirinya dari pantulan benda yang berada di hadapannya itu. Matanya sembab, hidungnya merah, rambutnya berantakan. Helaan napas panjang dan berat membuat Reca mengakhiri kegelisahannya pagi ini.
"Bangkit Reca. Jangan dengarkan apa yang tidak harus dengar. Biarkan tetangga julidmu semakin panas dengan kesuksesanmu."
Begitulah kira-kira tekadnya saat lelah dengan tangisannya. Ia segera meraih handuk dan mandi. Mengguyur semua tubuhnya. Berharap semua rasa penat dapat terbuang dengan aliran air yang membasahi tubuhnya.
"Ca, Ca," teriakan suara yang tidak asing membuat Reca segera menyelesaikan mandinya.
"Apa sih, Res?" tanya Reca panik.
Masih menggunakan handuk, Reca sedikit membuka pintu dan melihat temannya itu dari celah pintu. Saat melihat Reca membuka pintu, Resi segera mendorong dan menutup kembali pintu rumah sahabatnya itu.
"Menurut kamu Danang suka gak ya sama aku? Soalnya waktu aku ulang tahun, dia ngucapin loh. Dia juga ngasih kado sama aku. Eh sekarang dia ngajak makan-makan," ucap Resi dengan wajah yang sangat ceria.
Reca tidak langsung merespon. Rasanya campur aduk. Senang melihat Resi yang nampak bahagia, namun mendengar nama Danang rasanya sedikit berbeda. Sudah cukup lama ia tidak bertemu dengan Danang. Padahal Reca sering keluar rumah sekedar ke warung atau menjemur pakaian.
"Ca," panggil Resi yang membuyarkan lamunan Reca.
"Ah iya Res," ucap Reca.
"Iya apa?" tanya Resi antusias.
"Menurutku dia suka sama kamu," jawaban Reca.
Mendengar jawaban sahabatnya, Resi berteriak kegirangan.
"Ya udah kalau gitu nanti sore kamu siap-siap ya! Berangkatnya sekalian sama Danang aja ya," ucap Resi.
"Hah? Gimana?" tanya Reca bingung.
"Danang maunya kita makan-makan bareng. Kayak waktu di cafe itu. Waktu kamu ditinggalin sama suami kamu sendirian itu loh," jawab Resi.
Reca mengerucutkan bibirnya dengan jawaban Resi. Kenapa tiba-tiba ia mengingatkan kejadian yang membuatnya kesal itu. Lagi pula mereka yang kencan kenapa Reca harus terlibat?
"Gak mau. Nanti aku jadi nyamuk," tolak Reca.
"Eh gak dong. Kan ada Dini juga. Udah aku ajak kok. Dia oke katanya. Lagian aku juga mau kamu sama Dini jadi saksi pas Danang menyatakan cintanya," ucap Resi penuh semangat.
Hah? Haruskan Reca benar-benar menjadi saksi kisah bahagia mereka? Saksi akan laki-laki yang pernah ia sukai menyatakan cinta pada sahabatnya sendiri? Tapi jika tidak hadir bertapa pengecutnya Reca. Seharusnya hidup bahagia bersama Leo tidak akan membuatnya terpengaruh dengan apapun yang terjadi pada Danang.
"Aku izin dulu sama Mas Leo ya!" ucap Reca.
"Biar diizinin, kamu ajak Mas Leo juga deh. Dini pasti gak keberatan kok," ucap Resi.
Ajak Mas Leo? Sepertinya ide bagus. Reca juga sekalian menunjukkan pada Danang bahwa ia sudah bahagia dengan suaminya. Ah, bukan menunjukkan pada Danang. Sebenarnya ia hanya ingin meyakinkan perasaannya jika hatinya sudah menjadi milik Leo sepenuhnya.
"Aku berangkat kuliah dulu ya! Jangan lupa nanti datang. Di cafe biasa," ucap Resi.
Setelah memeluk Reca, Resi segera pamit. Reca bisa melihat dengan jelas kebahagiaan Resi pagi ini. Cermin kecil yang tergeletak di atas kursi diraihnya. Ditatapnya benda kecil itu.
Hey, aku sudah bahagia sama Mas Leo, kan? Danang itu hanya bayangan masa lalu yang tidak harus mempengaruhi hidupku, kan?
Ah, Reca membuang muka saat merasa gagal. Nyatanya setiap kali nama Danang disebut, hatinya sedikit berdebar.
Mas Leo, maafin aku ya! Aku mencintai Mas. Aku tidak akan berpaling dari kamu, Mas. Aku mencintaimu.
Batin Reca terus meyakinkan dirinya. Ia sangat takut jika seandainya aps yang dirasakannya juga dirasakan oleh Leo. Mungkin kekhawatirannya pada Leo dan Mas Ara karena perasaan yang aneh saat mendengar nama Danang.
Reca bisa menekan perasaannya hingga kagum dan suka itu tidak tumbuh menjadi sebuah perselingkuhan. Tapi Mba Ara dan suaminya? Reca tidak tahu apakah mereka bisa menekan perasaan itu atau justru menikmatinya?
maaf ya
semangat