"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedai Lian
Hujan turun dalam tetesan-tetesan halus yang hampir tidak terlihat, seperti tirai sutra yang memisahkan dunia menjadi lapisan-lapisan kabur. Mei berdiri di beranda pagoda, kedua Cermin masih bergetar lembut di tangannya, menciptakan dengung yang berpadu dengan suara rintik air. Di hadapannya, lima Naga masih melayang dalam formasi yang seolah mengikuti irama rahasia, sementara di belakangnya, dua kelompok yang telah berseteru selama lima ratus tahun kini berdiri dalam keheningan yang sarat makna.
"Kunci untuk mengakhiri siklus," Mei mengulang kata-kata Liu Xian, suaranya nyaris berbisik. Matanya terpaku pada pantulan-pantulan dirinya yang tak terhitung dalam kedua Cermin—ribuan kemungkinan yang berkilau seperti tetesan hujan dalam cahaya senja. "Tapi bagaimana?"
Tidak ada yang menjawab. Bahkan Naga Emas—ibunya—hanya mendengung dalam nada rendah yang ambigu. Mei menyadari bahwa mungkin inilah pertama kalinya dalam lima ratus tahun terakhir di mana tidak ada satu pun pihak yang tahu pasti apa yang harus dilakukan.
"Mungkin," Master Song akhirnya berkata, sisik-sisiknya yang redup berkilau redup dalam cahaya senja, "jawabannya ada dalam pertanyaan yang belum kau tanyakan."
Mei mengernyit. Selalu saja teka-teki. Selalu saja jawaban yang bukan jawaban. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Master Song berbicara—seolah dia sendiri sedang mencoba memahami kata-katanya.
"Kedai teh," Mei tiba-tiba berkata, matanya melebar saat sesuatu terlintas dalam pikirannya. "Dalam pantulan Cermin... aku melihat diriku menuang teh, dan naga-naga terbang bebas di luar. Tapi itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa ada kedai teh biasa di dunia di mana naga terbang bebas?"
"Kecuali," Wei An menyahut, matanya yang retak memantulkan bayangan yang berubah-ubah, "jika itu bukan kedai teh biasa."
Mei berbalik untuk menatapnya, tapi perhatiannya teralihkan oleh gerakan di sudut matanya. Salah satu dari para Pengembara—seorang wanita tua dengan rambut seputih salju—melangkah maju. Tubuhnya yang setengah transparan berkilau dengan sisik perak yang identik dengan Naga Perak di atas.
"Aku ingat," wanita itu berkata, suaranya seperti gemerisik daun kering, "ada sebuah tempat... sebelum semua ini dimulai. Sebuah kedai teh di persimpangan antara dunia manusia dan dunia naga."
"Persimpangan antara dunia?" Mei bertanya, tapi sebelum ada yang bisa menjawab, kedua Cermin di tangannya tiba-tiba berdenyut kuat. Dalam pantulan mereka, Mei melihat sesuatu yang membuat nafasnya tercekat: Madam Lian, jauh lebih muda dari yang pernah dia lihat, menuang teh di sebuah kedai yang tampak sangat familiar.
"Kedai Lian," Mei berbisik, "itu bukan kedai teh biasa, bukan?"
Madam Lian—yang sekarang—tersenyum tipis. Ada kesedihan dalam senyumnya, tapi juga sesuatu yang lain... sesuatu seperti harapan. "Kedai itu sudah ada jauh sebelum aku lahir," dia berkata pelan. "Dan akan tetap ada jauh setelah aku pergi. Itu adalah tempat di mana waktu mengalir berbeda, di mana ingatan dan kenyataan berbaur seperti teh dan air."
"Tapi kenapa aku tidak pernah merasakan apa pun yang aneh di sana?" Mei bertanya. "Aku bekerja di sana selama bertahun-tahun..."
"Karena kau adalah bagian dari tempat itu," Liu Xian menjawab. "Seperti ikan yang tidak menyadari air di sekitarnya. Tapi tidakkah kau pernah bertanya-tanya kenapa kau bisa merasakan kenangan dalam teh yang kau seduh? Kenapa pelanggan yang datang selalu tampak menemukan apa yang mereka cari, meski mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka cari?"
Mei terdiam, mengingat semua hal kecil yang selama ini dia anggap normal: bagaimana waktu seolah bergerak lebih lambat di dalam kedai, bagaimana aroma teh seolah membawa potongan-potongan cerita yang berbeda setiap harinya, bagaimana pelanggan sering kali pergi dengan ekspresi seolah mereka baru saja terbangun dari mimpi yang dalam.
"Kedai itu," si cendekiawan tua berkata lembut, "adalah tempat pertama di mana manusia dan naga belajar untuk hidup berdampingan. Jauh sebelum ada ritual, jauh sebelum ada Penjaga atau Pengembara. Hanya ada teh, cerita, dan pemahaman."
Naga Jade mendengung pelan, menciptakan gelombang udara yang membuat daun-daun di sekitar pagoda menari. Dalam gerakan itu, Mei melihat sekilas bayangan masa lalu: naga-naga yang duduk seperti tamu biasa di kedai teh, menikmati minuman mereka dari cangkir yang tampak terlalu kecil dalam cakar mereka yang besar.
"Tapi kemudian ketakutan mulai merayap," Master Song melanjutkan. "Orang-orang mulai takut pada kekuatan yang tidak mereka pahami. Para penguasa mulai khawatir akan kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Dan..."
"Dan ritual-ritual itu diciptakan," Mei menyelesaikan kalimatnya. "Untuk mengikat dan mengontrol."
"Ya," Wei An mengangguk. "Tapi dalam usaha untuk mengontrol kekuatan naga, kami justru menciptakan ketidakseimbangan yang lebih besar. Waktu sendiri mulai retak, seperti cermin yang dijatuhkan."
Mei menatap kedua Cermin di tangannya, memahami untuk pertama kalinya bahwa retakan di permukaannya mungkin bukan hanya dekorasi atau kerusakan biasa. Mereka adalah jejak dari waktu yang pecah, dari keseimbangan yang hilang.
"Jadi," dia berkata perlahan, "untuk memperbaiki semuanya... kita harus kembali ke awal? Ke tempat di mana semuanya dimulai?"
"Bukan kembali," Liu Xian mengkoreksi, "tapi menciptakan kembali. Dan kau, Mei, dengan darah manusia dan naga yang mengalir dalam nadimu, dengan kemampuanmu untuk melihat kebenaran dalam tetesan teh... kau mungkin satu-satunya yang bisa melakukannya."
Hujan di luar mulai turun lebih deras, tapi tetap terasa lembut—seperti air mata yang jatuh dari langit yang lelah menyimpan rahasia terlalu lama. Mei memejamkan mata, mencoba merasakan semua energi yang berputar di sekitarnya: dengung para naga, getaran Cermin, bisikan waktu yang retak, dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang familiar.
Aroma teh.
Ketika dia membuka mata, pandangannya tertuju pada cangkir teh yang entah bagaimana masih utuh di tengah semua kekacauan—cangkir yang dia tinggalkan di kedai Lian sebelum semua ini dimulai. Uap masih mengepul dari permukaannya, seolah waktu tidak pernah menyentuhnya.
Dan dalam uap itu, Mei melihat sekilas bayangan yang berbeda dari semua yang telah dia lihat sebelumnya: bukan masa lalu atau masa depan, tapi sesuatu di antaranya. Sebuah momen yang menunggu untuk tercipta.
Tapi ketika dia mengulurkan tangan untuk meraih cangkir itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Salah satu sisik di tangan Naga Lazuli tiba-tiba lepas, jatuh berputar-putar seperti daun di musim gugur. Dan ketika sisik itu menyentuh permukaan teh dalam cangkir...
Dunia mulai bergetar.
Getaran itu berbeda dari apa pun yang pernah Mei rasakan sebelumnya—bukan seperti gempa yang menggerakan tanah, tapi seperti realitas itu sendiri yang bergetar. Udara di sekitar mereka menjadi lebih padat, seolah waktu mulai memadat seperti madu yang mengkristal. Di dalam cangkir teh, sisik Naga Lazuli berputar perlahan, menciptakan riak-riak yang bergerak melawan arah jarum jam.
"Jangan sentuh cangkirnya!" Wei An berteriak, tapi suaranya terdengar jauh dan terdistorsi, seperti melewati lapisan-lapisan air. Mei melihat retakan di matanya melebar, membentuk pola yang identik dengan riak di permukaan teh.
Naga Emas—ibunya—tiba-tiba bergerak maju, tubuhnya yang setengah transparan sekarang berdenyut dengan cahaya yang lebih kuat. Dia membuka mulutnya, dan untuk pertama kalinya, Mei mendengar suara yang bukan hanya dengung: "Waktu... membuka..."
Para Pengembara mulai bergerak gelisah, tubuh mereka yang transparan berkedip-kedip seperti lilin di tengah angin. Liu Xian mencoba melangkah maju tapi kakinya seolah tertahan oleh udara yang semakin padat. "Ini tidak seharusnya terjadi," dia berbisik, matanya yang keemasan melebar dalam ketakutan. "Tidak sekarang. Tidak seperti ini."
Madam Lian, yang selama ini selalu tampak tenang dan terkendali, tiba-tiba mengeluarkan suara tertahan. Mei berpaling ke arahnya dan melihat sisik-sisik di lehernya mulai rontok satu per satu, jatuh ke lantai pagoda dengan dentingan halus seperti hujan es. "Siklus..." dia berkata dengan suara bergetar, "...tidak hanya waktu yang berulang, tapi juga transformasi."
Di atas mereka, empat naga lainnya mulai bergerak dalam pola yang semakin cepat, sisik-sisik mereka berguguran seperti meteor di langit senja. Setiap sisik yang jatuh tidak menyentuh tanah, tapi menghilang ke dalam udara yang memadat, meninggalkan jejak cahaya yang bertahan selama beberapa detik sebelum memudar.
"Transformasi?" Mei bertanya, suaranya nyaris tenggelam dalam dengung yang semakin keras dari kedua Cermin di tangannya. Dia merasakan tanda naga di pergelangan tangannya mulai berdenyut dalam irama yang sama dengan riak di permukaan teh.
Master Song melangkah maju dengan gerakan yang tampak menyakitkan, seolah setiap langkah membutuhkan tenaga yang luar biasa. "Ada... ada sesuatu yang tidak kami ceritakan padamu tentang ritual kedua," dia berkata terputus-putus. "Tentang mengapa kami memilih untuk terikat dalam siklus waktu."
Si cendekiawan tua, yang kini tampak lebih solid dari sebelumnya, mengangguk perlahan. "Ritual kedua bukan hanya tentang mengikat kami ke dalam waktu," dia menjelaskan, matanya terpaku pada sisik Naga Lazuli yang masih berputar dalam cangkir teh. "Tapi juga tentang menyegel sesuatu. Sesuatu yang bahkan para naga takut untuk sebutkan namanya."
Mei merasakan dingin yang familiar merayap di tulang belakangnya—dingin yang sama yang dia rasakan setiap kali cerita lama tentang naga dibacakan padanya semasa kecil. Tapi kali ini berbeda. Kali ini dingin itu membawa aroma yang dia kenal—aroma teh hitam Madam Lian yang konon bisa menyembuhkan patah hati.
"Dan sekarang," Wei An berbisik, matanya yang retak memantulkan bayangan yang semakin kacau, "segel itu mulai melemah. Bukan karena kau gagal, Mei... tapi karena kau berhasil. Karena kau adalah jembatan yang sempurna—terlalu sempurna."