Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana selanjutnya
Happy reading guys :)
•••
Rabu, 15 Oktober 2025.
Warna hitam pada langit perlahan-lahan berubah menjadi jingga, matahari mulai naik dengan memancarkan cahaya hangatnya, membuat kabut tipis yang terbentuk karena suhu udara dingin menghilang entah ke mana.
Di dalam dapur sebuah rumah, kini terlihat Galen dan Vanessa sedang sibuk dengan peralatan masak di tangan masing-masing. Mereka berdua dengan telaten menumis, merebus, dan menggoreng berbagai macam jenis masakan untuk sarapan.
Aroma wangi dari masakan yang dibuat oleh kakak dan adik itu menyebar hingga keluar rumah, membuat setiap orang merasa lapar saat menciumnya.
Selama tiga puluh menit, Galen dan Vanessa berkutat pada masakan mereka. Sampai pada akhirnya, semua masakan telah matang.
Galen dan Vanessa saling pandang, tersenyum tipis, lalu memindahkan semua masakan ke atas meja makan.
“Cape, Dek?” tanya Galen, melihat Vanessa mengelap keringat di dahi.
Vanessa dengan cepat menggelengkan kepala, menoleh ke arah sang kakak seraya menunjukkan sebuah senyuman manis. “Nggak, kok, Kak. Adek gak cape, cuma sedikit gerah aja.”
Galen mengusap lembut puncak kepala sang adik. “Hmm, gitu. Ya, udah, kamu mandi, gih, biar seger badannya.”
Vanessa mengangguk, berjinjit, memberikan sebuah ciuman di pipi kanan sang kakak. Ia lalu berjalan keluar dari ruangan dapur, meninggalkan Galen yang sedang tersenyum seraya menatap ke arahnya.
Setelah kepergian Vanessa, Galen duduk di salah satu kursi, mengambil handphone dari atas meja makan, membalas beberapa chat yang telah dikirimkan oleh sang tunangan.
Cowok itu tersenyum tipis, membaca beberapa balasan chat dari sang tunangan yang menurutnya sangat lucu.
Galen mengetikkan sesuatu pada keypad handphone. Namun, saat sedang asyik mengetik, suara dering handphone-nya berbunyi, menampilkan nama ‘my chubby’ pada layar.
Galen dengan cepat mengangkat panggilan telepon dari sang tunangan, lalu menempelkan handphone di telinga kanan.
“Selamat pagi, Sayang,” sapa Livy, suara terdengar sangat bersemangat.
“Pagi juga. Kenapa tiba-tiba nelpon? Aku baru aja mau bales chat kamu, loh,” tanya Galen, bersandar pada sandaran kursi.
Mendengar pertanyaan dari Galen, membuat Livy sontak tertawa kecil. “Maaf. Vc, yuk. Aku mau lihat hasil masakan kamu sama Vanessa.”
“Ngapain? Kamu, kan, udah sering lihat hasil masakanku sama Vanessa, malah udah pernah nyobain juga lagi,” ujar Galen, sedikit bingung dengan permintaan sang tunangan.
“Ya, emang, sih. Tapi, aku sekarang mau lihat aja, gak boleh, ya?” Suara Livy berubah menjadi lemas.
Mendengar suara sang tunangan yang berubah menjadi lemas, membuat Galen menggelengkan kepala pelan. “Boleh, kok, Sayang. Bentar, ya.”
“Yeay! Makasih, Sayang.” Suara Livy kembali berubah menjadi semangat.
“Iya, sama-sama.” Galen melihat layar handphone, memindahkan panggilan telepon ke video call, mengubah kamera belakang, lalu mengarahkannya ke berbagai jenis makanan yang telah ia dan Vanessa masak. “Ini lihat. Sama aja, loh, masakannya kayak yang bisanya.”
Melihat banyaknya makanan di atas meja, membuat mata Livy berbinar-binar. “Wah, banyak banget, Yang. Pasti enak semua rasanya.”
“Kamu mau? Kalo mau nanti aku bawain buat kamu,” tanya dan tawar Galen, seraya melihat wajah lucu milik sang tunangan.
Mendapatkan tawaran dari Galen, membuat Livy dengan cepat langsung mengangguk. “Mau banget.”
“Mau aku bawain yang mana?”
Livy melihat satu per satu masakan di atas meja, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa bingung harus memilih banyaknya masakan enak itu. “Mau semuanya boleh gak?”
Galen menggaruk hidung dan memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. “Ya, udah, nanti aku bawain semuanya buat kamu.”
Livy mengepalkan kedua tangan, mengangkatnya dengan semangat. “Yeay! Makasih, ya, Sayang.”
“Iya, sama-sama, Cantik,” jawab Galen, disertai kekehan saat melihat tingkah sang tunangan, “By the way, kamu kayak orang lagi ngidam tau, kalo lagi kayak gini.”
Tangan Livy sontak mengelus perutnya yang ramping saat mendengar perkataan dari Galen. “Iya, nih. Aku lagi ngidam banget, kayaknya anak kamu lagi meronta-ronta, deh, di dalam perut aku.”
Kekehan Galen berubah menjadi renyah, merasa sangat lucu dengan tingkah dan jawaban dari sang tunangan. “Kamu ada-ada aja, deh. Kita aja belum pernah bikin.”
Livy menghentikan elusan pada perut, merebahkan tubuh di kasur. “Ayo, bikin. Biar ada anak kamu di perut aku.”
Tawa Galen sontak terhenti, raut wajahnya berubah menjadi datar. “Nope.”
Melihat itu, Livy mengerutkan kening. “Sayang, kenapa?”
“Kita belum nikah, aku gak mau ngerusak kamu,” jawab Galen, menatap lekat wajah cantik sang tunangan.
Mendengar jawaban dari Galen, membuat Livy perlahan-lahan mulai tersenyum dengan sangat manis. Ia merasa sangat senang dan beruntung, karena telah dipertemukan dengan seorang laki-laki yang sangat menghargainya sebagai seorang perempuan.
“Makasih, ya, Sayang.”
“Makasih? Makasih untuk apa?” tanya Galen, sedikit mengerutkan keningnya.
“Makasih untuk semuanya. Oh, iya, nanti jangan lupa bawain aku masakan kamu sama Vanessa, ya, love you, Sayangku.”
Livy dengan cepat langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak, membuat Galen semakin mengerutkan kening, bingung akan perkataan yang tadi terlontar dari mulut sang tunangan.
Saat Galen sedang kebingungan, handphone miliknya bergetar, menampilkan sebuah icon foto yang dikirim oleh Livy.
Galen membuka icon foto itu, tersenyum tipis saat membaca pesan dan melihat foto sang tunangan yang sedang tersenyum manis seraya memegangi perut.
‘Semoga kita bisa cepat nikah, dan aku bisa cepat mengandung anak kamu.’
Vanessa berjalan memasuki ruangan dapur, mengerutkan kening, melihat sang kakak yang sedang tersenyum sendirian.
“Kakak, kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Vanessa, mendudukkan tubuh di hadapan Galen.
Mendengar suara Vanessa, membuat Galen sontak mengangkat kepala, masih dengan senyuman tipis yang menghiasi wajahnya.
“Eh, kamu udah selesai, Dek, mandinya?”
Vanessa mengangguk, mengambil gelas, mengisinya dengan air putih, lalu meminumnya. “Iya, Kak. Udah selesai. By the way, Kakak kenapa senyum-senyum sendiri dari tadi?”
Galen menaruh handphone di atas meja, mengambil satu piring, dan memberikannya kepada Vanessa. “Gak papa, kok, cuma pingin senyum aja.”
Vanessa kembali mengerutkan kening, menerima piring pemberian Galen. “Hmm, mencurigakan.”
Tangan kanan Galen bergerak mencubit pelan hidung Vanessa, merasa gemas dengan raut wajah yang sedang ditunjukkan oleh sang adik.
“Udah, gak usah dipikirin. Ayo, makan, sebentar lagi mau jam tujuh, loh.”
Mendapatkan cubitan dari sang kakak membuat Vanessa sedikit mengerang. Ia kemudian mengangguk, mengisi piring dengan nasi dan beberapa jenis lauk.
Setelah merasa cukup, Vanessa mengangkat tangan dan menutup mata, membaca doa, sebelum akhirnya memakan semua yang telah dirinya ambil di atas piring.
•••
“Cindy, shot,” perintah Nadine, mengangkat kedua tangan seraya memberikan kode kepada sang sahabat.
Cindy mengangguk saat menangkap kode yang diberikan oleh Nadine. Gadis itu memasang ancang-ancang untuk melakukan three point shot. Namun, saat sang lawan hendak melakukan blok, ia tersenyum, mengoper bola basket ke arah Chelsea yang sedang berdiri bebas tanpa penjagaan.
“Nice, Cin.” Chelsea menangkap bola operan Cindy, lalu langsung melakukan three point shoot yang mendarat manis di dalam ring.
Setelah Chelsea berhasil memasukkan bola basket, Cindy, Nadine, dan beberapa pemain menghampiri gadis itu, memberikan selamat, kemudian kembali ke area bertahan.
Waktu tersisa hanya tingga beberapa menit, skor sementara, 55 untuk SMA Garuda Sakti dan 53 untuk SMA Pelita.
Nadine sebagai kapten dari team Basket SMA Bima Sakti kembali memberikan kode tangan, membuat semua pemain mengangguk, dan dengan segera menjaga area-area yang sedari tadi sering digunakan oleh SMA Pelita untuk mencetak point.
“Dengan begini, udah dipastikan kalau SMA Garuda Sakti yang akan masuk final,” ujar Nadine, tersenyum penuh kemenangan ke arah seorang gadis yang merupakan kapten dari team Basket SMA Pelita.
Melihat senyuman Nadine, membuat gadis itu berdecih, mengamati sekitar, mencari celah agar team-nya dapat membalas three point shoot yang tadi telah dilakukan oleh Chelsea.
Gadis itu terus mencari. Namun, tidak menemukan sedikit celah pun dari pertahanan Garuda Sakti.
“Kalau terus gini, kami bisa kalah. Mau gak mau, gue harus nyoba buat ngelakuin three point shoot,” gumam gadis itu, lalu meminta bola dari salah satu rekan se-team-nya.
Setelah mendapatkan bola, gadis itu langsung melakukan ancang-ancang, walaupun keraguan memenuhi pikiran dan hatinya, tetapi mau tidak mau dirinya harus melakukan tembakan ini.
Melihat sang lawan yang ingin melakukan three point shoot, membuat Nadine melebarkan mata, dengan cepat langsung berusaha mengeblok tembakan dari sang lawan. Namun, Nadine telat, bola telah melambung menuju ring dari team-nya.
“Sial, sejak kapan dia bisa three point shoot,” gumam Nadine, mengikuti bola tembakan sang lawan.
Detak jantung Nadine seketika bertambah menjadi cepat, berharap bola basket itu tidak masuk ke dalam ring.
Bola basket tembakan dari ketua SMA Pelita membentur ring, membuat Nadine sontak berteriak, berlari, dan melompat. Ia mengambil bola rebound, lalu dengan cepat melakukan dribble ke area pertahanan lawan.
Sesampainya di area pertahanan lawan, Nadine langsung melakukan tembakan. Ia berteriak saat bola masuk ke dalam ring bertepatan dengan waktu pertandingan yang telah selesai.
“Nice shoot, Nadine,” teriak Cindy dan Chelsea secara bersamaan, berlari mendekati Nadine, dan memeluk tubuh sahabat mereka itu.
Nadine tersenyum, melihat kedua sahabatnya secara bergantian. “Kita menang?”
Cindy dan Chelsea mengangguk sebagai jawaban, masih terus memeluk tubuh Nadine.
Nadine mengalihkan pandangan ke arah gadis yang menjadi kapten dari SMA Pelita, tersenyum penuh kemenangan, lalu menepuk pelan tangan kedua sahabatnya.
“Udah lepasin. Ayo, balik,” ajak Nadine.”
Mendengar ajakan Nadine, membuat Cindy dan Chelsea sontak melepaskan pelukan mereka. Ketiga gadis itu lalu berjalan beriringan menuju bangku cadangan yang menjadi tempat berkumpul team basket SMA Bima Sakti.
Nadine mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku, mengelap keringat menggunakan handuk, kemudian mengambil botol air minum dari dalam tas.
Nadine bersandar pada sandaran bangku, membuka botol air minum miliknya. Namun, saat dirinya ingin meminum air dari dalam botol, handphone miliknya tiba-tiba saja berbunyi, membuat Nadine dengan cepat mengambil benda pipih itu dari dalam tas.
“Kakak,” gumam Nadine, melihat nama sang kakak pada layar handphone. “Halo, Kak.”
“Halo, Dek. Gimana pertandingan lu? Lu selesai?”
Nadine kembali mengelap keringat yang masih terus keluar dari dahi. “Baru aja selesai, Kak. Sekolah kita menang.”
“Wih, congrats, ya.”
Mendapatkan ucapan selamat dari sang kakak, membuat Nadine tersenyum tipis. “Thanks, Kak. Oh, iya, ada apa lu tiba-tiba nelpon?”
“Lu lupa? Gue minggu lalu, kan, udah bilang mau ngasih tau rencana selanjutnya setelah lu selesai tanding.”
Nadine menepuk pelan dahinya. “Ah, iya, sorry, gue lupa, Kak. Jadi, gimana rencananya.”
Gadis yang menjabat sebagai kakak Nadine mulai menjelaskan rencana yang telah dirinya susun dan pikirkan kepada sang adik. Ia menjelaskan secara detail, agar sang adik dapat memahaminya dengan sangat baik.
Sepanjang penjelasan sang kakak, Nadine terus-terusan menunjukkan sebuah senyuman penuh kemenangan. Bahkan, ia sudah dapat membayangkan bagaimana tersiksanya kedua orang yang saat ini sedang menjadi musuhnya hanya dengan mendengar rencana dari sang kakak.
To be continued :)