Kumpulan Kisah horor komedi, kisah nyata yang aku alami sendiri dan dari beberapa narasumber orang-orang terdekatku, semuanya aku rangkum dalam sebuah novel.
selamat membaca. Kritik dan saran silahkan tuliskan di kolom komentar. 😘😘😘😘😘😘
Lawor di mulai!!! 😈😈😈😈😈
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. The Legend Of Kuntilanak
Pada suatu malam, di desa Sumbermanjing kota malang, aku sedang berlibur bersama keluargaku. Seharusnya begitu sih. Tapi.....
Namaku Di Ajeng Ayunda Sari. Tinggal di Desa kresek, kecamatan sukun kota Malang. Pada suatu hari, ada undangan pernikahan dari kerabat ibukku di Sumbermanjing wetan.
"Kita berangkat hari Kamis depan." Kata bapakku yang bernama Raharjo Hadiningrat. Namanya saja yang ningrat, tapi kita orang melarat. Jangan menilai orang lain dari namanya ya. Okaey?
"Apa ga hari Sabtu saja, Mas?" Jawab ibukku yang bernama Di Ayu Sekar Sari. "Kamis itu hari sakral buat warga desa Sumbermanjing wetan."
Menurut kepercayaan orang-orang di sana, di Sumbermanjing wetan, setiap hari kamis dan Jumat adalah hari dimana para leluhur yang sudah meninggal akan pulang ke rumah keluarga mereka.
"Halah. Ada-ada saja, Takyol itu." Jawab bapakku.
"Takhayul maksudnya?" Bapak mangguk mangguk. "Ini bukan masalah takhayul atau gimana. Tapi ini tentang bagaimana kita menghormati kebudayaan dan kebiasaan penduduk setempat."
"Halah. Kamu ini. Kalo kita datang lebih awal, kita bisa bantu-bantu lebih banyak kan? Kamu ga kasian sama adikmu? Dia dulu paling sregep saat pernikahan kita. Lha sekarang kita harus sregep seperti dia dulu. Balas dendam, eh. Balas budi."
"Benar juga ya?" Jawab ibukku. "Dulu dia yang paling pontang-panting saat pesta pernikahan kita."
"Naah. Ngerti gitu kok. Jadi, ga usah potres lagi ya?"
"Protes maksute?"
"Lha, iyo iku. Pokoknya dieal. No komen."
Nex
Maka dari itulah, hari kamis ini sudah berada di Tebo Utara, mencari delman istimewa untuk pergi ke kota. Setelah dapat, tanpa membuang waktu lagi kami berangkat.
Perjalanan kami begitu menyenangkan, begitu menggembirakan. Melihat pemandangan kanan-kiri yang masih asri, tanpa ada bau asp kenalpot, ataupun kebiasaan dari motor resing.
Sesekali kita berpapasan dengan delman yang lain. Kadang berpapasan dengan cikar, ataupun pekerja ladang. Dan di sore harinya, kami baru sampai di tempat tujuan.
Adzan Maghrib berkumandang di kejauhan. Mendayu-dayu merdu di saat senja hari.
Langit menerima senja, namun senja meninggalkan langit tanpa berkata-kata. Itulah kata-kata yang tepat untuk hari ini. Di ufuk barat, cahaya senja masih tersisa. Sedangkan di ufuk timur, kegelapan malam telah tiba.
Kami masih harus berjalan kaki cukup jauh untuk sampai di desa Sumbermanjing, karena delman istimewa yang kami tumpangi hanya bisa mengantarkan kami sampai gerbang masuk desa Sumbermanjing wetan.
"Masih jauh?" Tanyaku ke ibukku.
"Sekitar dua kilometer meteran lagi." Jawabnya.
"Weh? Jauhnya!" Protes ku. "Delman tadi kok ga mengantarkan kita sampai tujuan sih?"
"Ada alasan tersendiri." Jawab ibukku. Tapi, saat di tanya apa alasannya, dia tidak mau menjawab. Dia mengalihkan pembicaraan kami ke masa kecilnya.
Lalu, satu jam kemudian kami benar-benar telah sampai di tujuan. Kami bukannya di sambut hangat, tapi malah di omelin sama Kakek Nenek. Tapi, nasi goreng sudah menjadi basi. Kami akhirnya di suruh istirahat di kamar utama rumah keluarga besar ibukku itu.
"Tadi, lihat pengemudi cikar yang berpapasan dengan kita?" Tanya ibukku.
"Enggak. Kenapa?" Jawab bapakku.
"Tidak, soalnya pengemudi nya tidak biasa."
"Haa?" bapakku memasang wajah oon.
"Biasanya, pengemudi cikar dokar dan sebangsanya kan laki-laki. Tadi pengemudi nya seorang wanita. Dan selain itu, wajahnya kok rasanya aku kenal. Tapi, lupa, siapa dia. Mas beb tau?"
"Maap, ga lihat. Aku tasi sedang asyik ngobrol sama Ajeng. Mungkin salah satu teman masa kecilmu. Coba di ingat ingat lagi."
Nex
Aku terbangun dari tidurku ketika jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, suasana ramai di rumahnya tanteku lah penyebabnya. Banyak rewang yang berseliweran kesana-kemari, sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri. Ada pun para bapak-bapak, mereka banyak sekali yang nongkrong di bawah terop sambil merokok dan bercanda ria.
"Lho. Ada dek Ajeng." Kata salah satu bibi yang rewang di rumahnya tanteku. "Kok belum tidur?"
"Eh, anu, maaf siapa ya?" jawabku.
"Panggil saja Bi Nem. Aku tahu nama kamu dari nenek kamu. Kok belum tidur?" Dia menanyakan pertanyaannya yang belum aku jawab.
"Oh, ya Bi Nem. Aku sudah tidur tadi, karena rame jadinya kebangun. Rame sekali ya? Beda sama di Desa Mulyorejo. Disana masih sepi."
"Iya donk. Beda, makanya suruh bapak kamu supaya pindah ke sini." Kata Bi Nem sambil senyum lebar. "Ayok ke dapur, makan soto. Enak lho."
Karena selain kebisingan ini, perutku juga salah satu penyebab utama aku terbangun. Semenjak tadi pagi aku belum makan lagi. Jadi.... "Ya Bi. Aku mau."
Dapurnya sebenarnya tidak terlalu besar. Tapi, ada sebidang tanah kosong di belakang rumah ini, dan itu di manfaatkan sebagai dapur umum darurat.
Di belakangnya sana lagi, ada hutan belantara yang terlihat sangat mengerikan di malam hari ini. Lampu petromax, dan lampu templek yang tak terhitung jumlahnya tidak mampu menembus kegelapan hutan itu.
Namun, hutan itu di batasi oleh jalan setapak yang kanan kirinya ada pagar bambu yang cukup tinggi. Dan di sepanjang jalan itu, sejauh Penglihatan ku, di setiap sepuluh meter ada obor yang di gunakan sebagai penerang jalan.
Ada pintu di salah satu ujung bidang tanah kosong yang di manfaatkan sebagai dapur umum darurat ini. Tanpa aku sadari, kakiku melangkah menuju ke arah sana. Membuka pintunya, dan melihat jalan setapak itu.
Sejauh mata memandang, hanya ada jalan setapak yang lurus di bawah keremangan cahaya obor. Api yang menari-nari menciptakan sebuah bayangan mengerikan di sepanjang jalan. Tapi, aku tidak merasakan takut atau apapun, karena merasa aman dikarenakan banyak orang yang ada di dekatku.
Di balik keramaian orang-orang yang sedang rewang, aku mendengar ada suara lonceng yang biasanya di taruh pada Delman atau sebangsanya. Suara itu dari arak kiri, aku tidak tahu itu barat timur atau mana, di sini aku buta arah.
Lambat laun, dari balik bayang-bayang yang menari-nari di jalan setapak itu, aku perlahan melihat ada delman sedang berjalan mendekat ke arahku. Suara lonceng itu benar dari delman seperti yang aku perkirakan sebelumnya.
Jaraknya masih cukup jauh, namun delman itu terlihat jelas, karena selain ada lonceng, di bagian kanan kiri bada delman ada lampu lentera nya. Dan itu cukup membantu aku untuk melihatnya.
Sekarang sudah berada beberapa meter di depanku. Sang kusir, atau pengemudi, dia adalah seorang wanita. Dia cantik, dengan gaun putihnya. Saat melewati ku, aku mencium bau melati yang sangat menyengat.
"Ajeng? Sedang apa Nak?" Bibi tadi membuyarkan lamunanku.
"Eh, Bi Nem. Ini, sedang cari angin." Jawabku.
"Sini, cepat masuk. Jangan berkeliaran di jalanan situ. Sudah malam." Wajahnya terlihat pucat, dan sangat panik saat memanggilku. Jadi, tanpa memprotes lagi, aku meninggalkan tempat ku berada sekarang. Tapi, sebelum itu, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah delman tadi.
Aneh, delman itu sudah hilang dari pandanganku, padahal jalan setapak itu cuma lurus saja sejauh mata memandang. Dan aku hanya memalingkan wajahku sebentar saja.
"Bi? Delman tadi milik siapa ya?" Tanyaku. "Bagus sekali bentuknya." Di saat itulah, Bi Nem langsung berlari ke arahku, meraih tanganku dan menarik ku masuk ke dalam rumah.
"Ayok, sudah tengah malam. Ga baik anak perempuan kluyuran di tengah hutan seperti ini." Jawabnya dengan nada suara bergetar.