Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa yang Mukul?!
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Punyamu tidak akan tertukar menjadi punya yang lain.—...
...♡˖꒰ᵕ༚ᵕ⑅꒱...
Arjuna terbatuk usai lepas dari amarah Dikta yang sementara.
Lingga merasa kelas menjadi tidak harmoni karena menyaksikan kericuhan gara-gara kehadiran Arjuna.
"Mentang-mentang juara satu umum, perkataan lo seolah-olah kelas IPA Dua ini rendahan dibandingkan IPA Satu? Kalau ini kandang b*bi, lo berarti jadi b*bi juga karena sudah masuk ke sini!" tantang Lingga yang duduk malas di bangkunya sambil memegangi lengan kirinya yang mengenakan gips.
"Lo nggak usah ikut campur! Sembuhin dulu tangan lo yang cacat!" cerca Arjuna melotot pada Lingga.
"Cu-pu!" sindir Lingga sengaja membesarkan api di hati Arjuna. (Culun punya)
Arjuna membatin tidak ikhlas disebut cupu. Gue pastikan pulang sekolah nanti lo bersujud di kaki gue, Lingga!
Kata-kata Lingga yang sedikit itu berhasil menyayat hati kecil Arjuna. Dia sangat trauma dengan kata 'Cupu' tersebut—kata yang ingin Arjuna musnahkan dari mayapada fana ini. Karena hal ini, Arjuna berniat memukul Lingga. Namun, belum sampai Arjuna menggapai sehelai rambut Lingga, badan Dikta menjadi pelindung agar Arjuna tidak menganggu Lingga yang sedang tidak bisa bertarung.
"Hahah!" tawa Arjuna disertai emosi. "Gue bingung sama lo," cercanya pada Dikta. "Lo kemarin udah mukul Lingga, kok sekarang malah sok melindungi dia? Biarin gue bikin cacat tangannya satu lagi!"
"Gue memang punya problem sama dia," jawab Dikta mendorong Arjuna agar menjauh, "tapi Lingga tetap sahabat gue!"
Hati Lingga terenyuh mendengar itu, hampir buntu napasnya karena hadir kedamaian dengan kejut.
Puri diam-diam tersenyum karena hal tersebut. Matanya berair sembari mengusap bahu Lingga.
"Cie, sahabat!" bisik Puri pada pacarnya itu—bahwa Lingga tidak pernah dibuang oleh Dikta.
"Sahabat?" ulang Arjuna penat, lalu menggeleng. "Masih percaya dengan kata-kata itu? Sahabat di dunia ini nggak ada, yang ada hanyalah saingan seumur hidup."
"Ada, kok!" serobot Puri, "Gue, Dikta, sama Lingga tetep sahabatan langgeng sampai sekarang! Lo aja yang nggak punya sahabat. Huuu! Iri 'kan lo!"
"Gue nggak pernah iri sama sampah!" jawab Arjuna sombong.
"Keluar," usir Dikta halus.
Saila yang berada di belakang Dikta pun mengulangi perkataan itu dengan ekspresi menyebalkan, "JUNA, KE-LU-AR!"
Arjuna meradang lagi. "SAILA! KAMU ITU PUNYA AKU, ATAU PUNYA DIKTA, SIH?!" kesal Arjuna melihat ekspresi menyebalkan Saila.
"PUNYA DIKTA! PUNYA DIKTA!! PUNYA DIKTA!!!" jawab Saila bersembunyi di balik badan Dikta yang hampir pingsan mendengar perkataan itu.
Punya Dikta.
Murid-murid lainnya sampai menggaungkan sorak-sorai, "HIDUP, MANIK-MANIK!!!"
Lingga menatap kaget pada Puri, "Sejak kapan Dikta sama Saila pacaran???"
"Ih! Mana tahu gue! Kan baru sekelas hari ini! Nggak mungkin mereka pacaran! Gue nggak setuju karena Saila nyebelin!" sebal Puri menangkis hal itu.
Kesalahan besar Arjuna memberikan pertanyaan seperti itu kepada Saila di posisi begini. Malu Arjuna tak terbendung. Dia merasa sangat dibuang, bahkan Saila tega berkata begitu di hadapan warga 12 IPA 2. Baiklah, Saila sudah berani menantangnya, maka harus menerima risiko nanti.
Dikta tersenyum ringan dan berkata, "Dengar sendiri, kan? Saila nggak mau sama lo. Dia tetap di sini sama gue dan akan bahagia sama anak-anak IPA Dua."
Arjuna makin terpancing mencurahkan antipatinya pada Dikta, "Lo berubah banyak ya, Ta. Makin suram masa depan lo kayaknya. Mungkin cuma nenek lo yang nggak berubah."
”Maksud lo?” tanya Dikta dengan rahang mengeras.
Arjuna menyeringai dan menebak dirinya sudah berhasil menghancurkan hati Dikta. "Ta-ta," bisik Arjuna meniru suara gagu nenek memanggil Dikta, lalu ia mentertawai raut Dikta yang teraniaya.
Ingin Dikta meninju wajah Arjuna sampai hancur, tapi suara abangnya dari lubuk hati seolah menahan Dikta agar bersabar dan tidak meniru Dirham yang berkelahi di sekolah karena bisunya nenek.
"Dikta, abang berantemnya cuma sedikit, lho. Masa sebagai adek ..., lo lebih ganas dari abang? Ah, iya. Lupa kalau Dikta ini takdirnya lebih nakal, ya. Hehe. Sesekali reda dulu amarahnya. Nenek nggak akan marah dicaci karena untuk apa marah dengan hal spesial itu? Jangan bikin nenek pusing berlebihan."
Dikta melemaskan bogemannya yang hampir melayang pada Arjuna. Lagipula, Dikta merasa khawatir dengan nenek yang capek bolak-balik ke sekolah terus gara-gara kasus dirinya, mungkin cukup sampai masalah dengan Lingga kemarin
"Lo malah nggak berubah sama sekali, Jun," timpal Dikta. "Tetap menjadi orang nomor satu yang butuh belas kasih. Gimana kalau ... belas kasih malaikat gue buat lo hilang seketika? Lo penasaran nggak, lihat iblis di kepala gue beraksi?"
Saila sejak tadi keheranan atas pembicaraan Dikta dan Arjuna, seolah sudah saling mengenal lama. Saila berkeinginan mencari tahu ada apa sebenarnya dengan masa lalu mereka.
Arjuna mematung dengan tatapan nanar usai mendengar ungkapan meresahkan dari seorang Dikta. Pernyataan Dikta seolah menjadi tombak yang menusuk sensor otaknya, fokusnya buyar.
Arjuna berkehendak untuk enyah dari 12 IPA 2 dan membiarkan Saila menjadi bagian keluarga itu. Namun, saat Arjuna mulai berjalan menjauh, terasa sesuatu memukuli pantatnya.
Pukh! 💥
"ADOH!!!" kaget Arjuna spontan.
Berikutnya, Arjuna terdiam di dekat pintu sehingga membuat anak-anak IPA 2 menatap heran.
"SIAPA YANG MUKUL PANTAT GUE BARUSAN?!" geram Arjuna memutar kembali badannya dan ingin menghajar pelaku—mukanya sangat merah malu.
Semuanya terperangah dan tertawa melihat Arjuna yang heboh sendiri memegang bagian bokong. Para saksi sekelas tidak ada yang melihat seseorang memukuli Arjuna.
"LO, KAN?!" tunjuk Arjuna pada Dikta.
"Eh, Bajing! Gue udah diem di sini daritadi, malah nuduh gue! Apa untungnya gue nepok pantat lo?!" kesal Dikta tak terima dituduh yang bukan-bukan meski sedang mengulum tawa juga.
Arjuna sampai gelagapan diiringi rasa ngeri. Jelas-jelas tadi ada yang memukuli bagian pantatnya, masih terasa pedas tepukan dahsyat itu.
Kelas yang seram! batin Arjuna was-was.
Saat Arjuna sudah menjauh dari kelas 12 IPA 2, dia bertemu dengan seorang murid laki-laki 12 IPS 5 yang mengenakan jaket kulit bertuliskan 💀SKULL. Mereka saling bertatapan sepintas, lalu berpapasan berlainan arah.
Dikta membuang beberapa bungkus snack ke kotak sampah di depan kelasnya. Pandangannya menajam ketika sosok garong berjaket Skull itu mendatanginya.
"Wey, Dikta. Pakabar, Bro?!" sapanya sok asik berniat menepuk lengan Dikta.
Hanya dengan sedikit lirikan garang, Dikta berhasil membuat sosok itu tidak berani menyentuhnya.
"Santai, Ta. Kok marah mulu? Udah kek penjahat 'ya muka gue bagi lo?" kekehnya mundur selangkah. "Kosong, nih, kelas lo. Boleh main gue."
"Mau gue tulis nama lo di kantor? BRUNO GWANG, PENJAHAT DUA BELAS IPS LIMA, MENGGILA DI DEPAN KELAS DUA BELAS IPA DUA. Atau pulang ini kita duel. Iya?" ancam Dikta menghadang pintu kelas menggunakan badannya yang tinggi.
"Napsuan amat lo mau duel. Eh!" kaget cowok bernama Bruno itu saat melihat sosok Saila di dalam kelas. "Calon bini gue 'kok di kelas lo, Ta?!"
"Punya gue, jangan ganggu!" tekan Dikta yang menendang kotak sampah ke arah Bruno.
"Hah?! Saila punya lo?" kaget Bruno mendengarnya.
Bersambung ... 👑