Melisa tiba-tiba harus mengalami insiden buruk membuat dirinya kehilangan nyawa. Ia pikir hidupnya akan berakhir di sana tapi siapa sangka ia justru bangun dalam sebuah ruangan yang sangat kumuh.
"Ibu...ibu hiks bangun Bu hiks aku janji tidak akan menggangu ibu lagi hiks ibu..." Tangis anak kecil yang ada di sisi ranjang.
"Siapa ibumu ?" Tanya Melisa dengan bingung.
"Ibu hiks anda sudah sadar hiks..."
"Ha ? siapa yang kamu panggil ibu ?" Bingungnya.
"Ma-maaf hiks aku benar-benar minta maaf jika ibu maksudnya nyonya tidak ingin di panggil seperti itu lagi." Ujar Anak laki-laki lalu bersujud di atas lantai kayu.
"Apa yang sebenarnya terjadi ?" Bingungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aif04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat
Sementara Ian hanya diam, ia benar-benar tidak bermaksud untuk membuat Melisa sampai terjatuh begitu. Niatnya hanya ingin agar gadis itu tidak terlalu menempel padanya.
...****************...
Suasana canggung begitu terasa diantara dua orang itu. Sejak pria itu mendorongnya Melisa benar-benar merasa jengkel dengan lelaki itu.
"Kita akan pergi lagi jadi bersiaplah, jika kali ini kau pingsan lagi maka aku akan meninggalkanmu." Ian tampak begitu serius dengan ucapannya kali ini.
"Hmm." Hanya itu jawaban dari Melisa. Denga perlahan mereka berjalan keluar goa, dan tampaknya gadis itu baru saja mengingat sesuatu saat melihat langit gelap di malam itu.
"Sudah berapa jam kita pergi ? Bagaimana kita keluar ?aku tidak bisa terlalu lama disini ada seseorang yang pasti sangat menungguku." Ujarnya saat mengingat Kevin yang telah begitu lama ia tinggal. Saat ini putranya itu pasti akan menangis.
"Huh, ini adalah dimensi dalam cermin jadi berhari-hari disini hanya beberapa menit di luar."
"Benarkah ? jika begitu syukurlah..." Melisa benar-benar bisa bernafas lega kali ini. Melisa tidak ingin bertanya apapun pada pria itu karena di ingatan tubuh ini memang ada yang dinamakan ruang dimensi dan perselisihan waktu dengan dunia nyata memang sangat jauh. Sehingga banyak orang yang menjual ruang dimensi dengan harga sebuah pulau untuk ruang dimensi yang begitu kecil. Tapi melihat tempat ini yang begitu luas sudah pasti jika di jual maka bisa membuat dirinya kaya tujuh turunan.
'Jika menjual cermin itu pasti aku bisa hidup bahagia, bahkan masa depan Kevin dan juga cucuku akan sangat tercukupi.' Pikirnya. Jika mengenai uang maka otaknya benar-benar bekerja dengan sangat baik.
"Jangan berpikir untuk menjual ruang dimensi ini, setelah keluar dari cermin ini maka aku akan menyerahkannya pada kekaisaran." Ujar Ian seakan-akan dapat membaca pikirannya.
"Si-siapa juga yang berpikiran seperti itu."
"Tentu saja kau."
"Tidak aku tidak pernah berpikir seperti itu." Elaknya. Sejujurnya Melisa sedikit kesal, kenapa pula benda sebagus ini harus diserahkan pada kekaisaran. Toh cermin ini masih milik tabib Li yang saat ini masih belum bisa ia temukan.
"Berhenti." Perintah pria itu membuat Melisa menghentikan langkah kakinya tepat di belakang pria itu. Sehingga ia hanya bisa melihat punggung tegap milik Ian tanpa mengetahui apa yang ada di depan.
"Kenapa ?"
"Ikut aku !" Ujarnya lalu menarik wanita itu ke sebuah pohon yang begitu besar. Pria itu tampaknya sedang mengajak Melisa untuk bersembunyi.
"Diamlah dan jangan banyak bergerak." Ujar pria itu yang saat ini berada di hadapan Melisa dengan jarak yang hanya beberapa centimeter saja. Melisa yang saat ini bersandar di pohon itu hanya bisa meneguk ludah kasar. Setelah sekian lama bersama pria ini ia baru menyadari bahwa Ian memiliki rahang yang tegas dan cukup tampan hanya saja rambut klimis pria itu sedikit menambah kesan aneh.
"Jangan menatap seperti itu aku bukan makanan."Ujar pria tersebut. Padahal ia sedang mengintai di balik pohon tapi ia menyadari jika melisa tengah menatap lapar padanya.
"Si-siapa juga yang menatapmu ?"
Pria itu tidak mengatakan apapun lagi tapi beberapa menit ia tiba-tiba saja menatap ke arah Melisa yang sedari tadi menatap wajahnya.
"Deg." Entah mengapa jantung Melisa seakan mau berhenti saat mereka bersitatap dalam jarak yang begitu dekat.
Tangan pria itu di angkat tepat di depan wajah Melisa.
'Apa dia akan memukulku karena terus menatapnya.' Pikir gadis itu.
"Tak." Sebuah sentilan ringan dapat Melisa rasakan di dahinya.
"Aukh."
"Berhenti berpikiran yang tidak masuk akal." Ujar pria itu lalu kembali mengalihkan pandanganya ke arah balik pohon itu.
*
*
*
Sedangkan di tempat lain tampak Kevin tengah berjalan-jalan bersama seorang kesatria yang diminta Melisa untuk menjaganya.
"Apa kau mau beli permen ini ?"Tanya kesatria itu dengan menunjuk permen kapas yang tampan manis.
"Bolehkah paman ?"Tanya Kevin.
"Tentu saja."
"Ini ambilah..." Ujarnya lagi dengan memberikan satu tangkai permen pada Kevin.
"Apakah enak ?" Tanya kesatria itu.
"Hmm ini sangat enak, Kevin suka. Terimakasih paman." Ujarnya dengan penuh kebahagiaan.
Tapi ketika sedang asik memakan permen tersebut matanya justru menangkap seseorang yang ia kenali.
"Itu paman Raymond ?"Gumamnya saat melihat Raymond tengah berjalan di pasar dengan cukup terburu-buru.
"Ada apa ?"Tanya kesatria itu saat melihat Kevin yang tiba-tiba menjadi diam.
"Tidak apa-apa paman, tadi Kevin hanya merasa melihat teman ibu." Jawabnya.
"Ternyata begitu."
"Jika begitu ayo kita berkeliling pasar lagi." Ajaknya.
"Iya paman ayo..."
'Aneh sekali kenapa paman Raymond memiliki ekspresi yang jauh berbeda dari biasa ? Apa dia sedang marah ?' Pikir Kevin.
lanjut kak tetap semangat /Determined/