Melisa, seorang gadis biasa yang sedang mencari pekerjaan, tiba-tiba terjebak dalam tubuh seorang wanita jahat yang telah menelantarkan anaknya.
Saat Melisa mulai menerima keadaan dan bertransformasi menjadi ibu yang baik, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan bahaya. Monster dan makhluk jahat mengancam keselamatannya dan putranya, membuatnya harus terus berjuang untuk hidup mereka. Tantangan lainnya adalah menghindari ayah kandung putranya, yang merupakan musuh bebuyutan dari tubuh asli Melisa.
Dapatkah Melisa mengungkap misteri yang mengelilinginya dan melindungi dirinya serta putranya dari bahaya?
Temukan jawabannya dalam novel ini, yang penuh dengan misteri, romansa, dan komedi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aif04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat
Suasana canggung begitu terasa di antara dua orang itu. Sejak pria itu mendorongnya, Melisa benar-benar merasa malas untuk berbicara dengan Ian. Sehingga hanya suara kayu yang terbakar oleh api terdengar cukup jelas.
"Kita akan pergi lagi, jadi bersiaplah. Jika kali ini kau pingsan lagi, maka aku akan meninggalkanmu," Ian tampak begitu serius dengan ucapannya kali ini.
"Hmm," hanya itu jawaban dari Melisa.
Dengan perlahan, mereka berjalan keluar goa, dan tampaknya gadis itu baru saja mengingat sesuatu saat melihat langit gelap di malam itu.
"Sudah berapa jam kita pergi? Bagaimana kita keluar? Aku tidak bisa terlalu lama di sini, ada seseorang yang pasti sangat menungguku," ujarnya saat mengingat Kevin yang telah begitu lama ia tinggal. Saat ini, putranya itu pasti menangis.
"Huh, ini adalah dimensi dalam cermin, jadi berhari-hari di sini hanya beberapa menit di luar," jelas Ian dengan menatap jalan yang begitu gelap.
"Benarkah? Jika begitu, syukurlah..." Melisa benar-benar bisa bernafas lega kali ini.
Melisa tidak ingin bertanya apapun pada pria itu karena di ingatannya, tubuh ini memang ada yang dinamakan ruang dimensi dan perselisihan waktu dengan dunia nyata memang sangat jauh. Sehingga banyak orang yang menjual ruang dimensi dengan harga sebuah pulau untuk ruang dimensi yang begitu kecil.
Tapi melihat tempat ini yang begitu luas, sudah pasti jika dijual maka bisa membuat dirinya kaya tujuh turunan.
'Jika menjual cermin itu pasti aku bisa hidup bahagia, bahkan masa depan Kevin dan juga cucuku akan sangat tercukupi,' pikir Melisa, sudut bibirnya tanpa terasa tertarik ke atas saat membayangkan uang yang akan ia dapatkan.
Disisi lain Ian melirik pada wanita yang saat ini tersenyum mencurigakan.
"Jangan berpikir untuk menjual ruang dimensi ini, setelah keluar dari cermin ini maka aku akan menyerahkannya pada kekaisaran," ujar Ian seakan-akan dapat membaca pikirannya.
"Si-siapa juga yang berpikiran seperti itu," gugupnya, rasanya seperti kepergok melakukan sesuatu yang begitu tidak bermoral.
"Tentu saja kau," Ian menatap yakin pada wanita itu.
"Tidak, aku tidak pernah berpikir seperti itu," elak Melisa, ia bahkan menaikkan nada bicaranya karena merasa gugup.
Sejujurnya, Melisa sedikit kesal. Kenapa pula benda sebagus ini harus diserahkan pada kekaisaran? Toh cermin ini masih milik tabib Li yang saat ini masih belum bisa ia temukan.
"Berhenti!" perintah pria itu membuat Melisa menghentikan langkah kakinya tepat di belakang pria itu.
Sehingga ia hanya bisa melihat punggung tegap milik Ian tanpa mengetahui apa yang ada di depan.
"Kenapa?" wanita itu mencoba berjinjit untuk bisa melihat apa yang terjadi di depan.
"Ikuti aku!" perintah Ian lalu menarik wanita itu ke sebuah pohon yang begitu besar.
"Akh," Melisa sedikit terkejut saat Ian menariknya.
Dia tampaknya sedang mengajak Melisa untuk bersembunyi.
"Diamlah dan jangan banyak bergerak," ujar pria itu yang saat ini berada di hadapan Melisa dengan jarak yang hanya beberapa centimeter saja.
Melisa yang saat ini bersandar di pohon itu hanya bisa meneguk ludah kasar. Setelah sekian lama bersama Ian, ia baru menyadari bahwa pria itu memiliki rahang yang tegas dan cukup tampan, hanya saja rambut klimisnya sedikit menambah kesan aneh.
"Jangan menatap seperti itu, aku bukan makanan," Ian berkata dengan terus melihat kedepan.
Padahal ia sedang mengintai di balik pohon, tapi ia menyadari jika Melisa tengah menatap lapar padanya.
"Si-siapa juga yang menatapmu?" Melisa berusaha untuk tidak menunjukkan rasa malunya. Wajahnya sedikit memerah karena hal tersebut.
Pria itu tidak mengatakan apapun lagi, tapi beberapa menit ia tiba-tiba saja menatap ke arah Melisa yang sedari tadi menatap wajahnya.
"Deg." Entah mengapa jantung Melisa seakan mau berhenti saat mereka bersitatap dalam jarak yang begitu dekat.
Tangan pria itu diangkat tepat di depan wajah Melisa.
'Apa dia akan memukulku karena terus menatapnya?' rasa takut mulai menghinggapi pemikiran wanita itu.
"Tak," sebuah sentilan ringan dapat Melisa rasakan di dahinya.
"Aukh," Rintihnya.
"Berhenti berpikiran yang tidak masuk akal," tegur Ian lalu kembali mengalihkan pandangannya kedepannya.
Sedangkan di tempat lain, tampak Kevin tengah berjalan-jalan bersama seorang kesatria yang diminta Melisa untuk menjaganya.
"Apa kau mau beli permen ini?" tanya kesatria itu dengan menunjuk permen kapas yang tampak manis.
"Bolehkah, paman?" tanya Kevin.
"Tentu saja," jawab kesatria itu dengan tersenyum.
"Ini, ambilah..." ujarnya lagi dengan memberikan satu tangkai permen pada Kevin.
"Apakah enak?" tanya kesatria itu.
"Hmm, ini sangat enak, Kevin suka. Terimakasih, paman," ujarnya dengan sesekali menikmati permen kapas yang terasa begitu manis di lidahnya.
Tapi ketika sedang asik memakan permen tersebut, matanya justru menangkap seseorang yang ia kenali.
"Itu paman Raymond?" gumamnya saat melihat Raymond tengah berjalan di pasar dengan cukup terburu-buru.
Kevin tampaknya sangat penasaran dengan kehadiran Raymond di pasar. Tanpa mengatakan apapun, Ia langsung menarik tangan kesatria itu dan berlari ke arah Raymond.
"Ada apa?" tanya kesatria itu saat melihat Kevin yang menariknya ke dalam sebuah kerumunan penjual buah.
"Tidak apa-apa, paman, tadi Kevin hanya merasa melihat teman ibu," jawabnya, mata merahnya masih terus menelusuri semua orang tapi ia tidak bisa menemukan Raymond.
"Ternyata begitu," pria itu hanya menganggukkan kepalanya.
"Jika begitu, ayo kita berkeliling pasar lagi," ajaknya saat melihat Kevin yang tampak diam tanpa mengatakan apapun.
"Iya, paman, ayo..." jawab Kevin dengan tersenyum, tapi di dalam hatinya, ia masih penasaran dengan Raymond yang tadi dilihatnya.
'Aneh sekali, kenapa paman Raymond memiliki ekspresi yang jauh berbeda dari biasanya? Apa dia sedang marah?' pikir Kevin dengan rasa penasaran yang semakin besar. Sesekali ia masih melihat ke belakang memastikan apa mungkin Raymond ada di belakang. Tapi seperti sebelumnya pria itu tidak bisa ia temukan.