Kinara Wirasti seorang wanita berusia 55 tahun, bertemu dengan kekasihnya di masa lalu yang bernama Anggara Tirta pria seumuran dengannya. Ternyata Anggara adalah mertua dari anaknya. Bagaimana kisah cinta mereka? Akankah bersatu di usia senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Penganggu
Anggara berjanji akan pasang badan jika ada yang menghina kekasihnya, kali ini ia tidak akan menyiakan kesempatan untuk menjaga Kinara seutuhnya. Kegagalan yang dulu semakin membuatnya semangat dan belajar memperbaiki kesalahannya.
"Nara, berpikirlah positif. Jangan suka mendengarkan kata orang, mulai sekarang pikirkan juga kebahagiaanmu." Anggara menggenggam tangan Kinara.
"Iya, Mas. Aku khawatir soal restu dari anak-anak kita dan ibumu." Kinara mengungkapkan juga.
Anggara tersenyum tipis, ia menaruh tangan Kinara di dadanya. "Percayalah kita akan terus bersama dalam keadaan apapun, dengan restu maupun tanpa restu."
Mereka hanya bisa berharap, semesta bisa menyatukan cinta mereka yang tumbuh sejak lama.
"Mas, aku harus pulang. Terima kasih tasnya." Kinara bangkit dari duduknya.
Namun, Anggara menarik tangan Kinara. Ia belum rela kekasihnya pergi, rasa rindunya masih begitu dalam.
"Anggara!"
Terdengar suara Miranda dari luar rumah, membuat Anggara dan Kinara panik. Mereka bersembunyi di ruang kerja Anggara, dan membiarkan Miranda masuk mencari mereka.
Kinara merasakan jantungnya berdegup kencang, kalau sampai ketahuan ia datang ke rumah Anggara anaknya pasti malu.
"Mas, gimana ini?" bisik Kinara.
"Kamu tenang saja! Aku sudah menyuruh Bik Siti menemui Miranda." Anggara memainkan ponselnya.
"Bik Siti tadi pergi," ujar Kinara.
Bik Siti hanya pergi ke rumah belakang yang dikhususkan untuk orang kepercayaannya, ketika menginap di rumah Anggara.
Miranda tampak marah, kepada Bik Siti. Ia menebak kalau Anggara ada di rumah, walaupun Bik Siti sudah mengatakan pergi.
"Nyonya Miranda, saya hanya di rumah sendiri. Tuan pergi ke kantor." Bik Siti berusaha berbohong.
"Pembantu macam apa kamu! Cepat katakan saja, bersembunyi dimana Anggara? Berani-beraninya membuat Niko marah denganku!" Marah Miranda.
Miranda berani menarik rambut Bik Siti, agar membuatnya membuka mulut. "Aku tanya sekali lagi! Mana Tuan kamu yang sok berkuasa?"
"Ampun, Nyonya. Tuan pergi ... " Bik Siti berusaha menahan rasa sakit yang ditimbulkan dari tarikan rambutnya.
"Disini Anggara membayar mu mahal! Jangan berbohong!" Miranda mendorong Bik Siti hingga jatuh ke sofa.
Tanpa mempunyai rasa malu, wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamar Anggara yang tidak terkunci. Mengetahui tindakan Miranda yang sudah keterlaluan, Bik Siti memanggil satpam.
Anggara yang tidak sabar, langsung keluar dari ruang kerjanya. Ia menarik kasar tangan Miranda hingga terjatuh ke lantai.
"Anggara, berani kamu kasar sama perempuan! Pantas saja tidak laku menikah." Ucapan Miranda membuat amarah Anggara semakin meningkat.
Hampir saja Anggara memukul Miranda, beruntung satpam segera datang dan membawa Miranda keluar dari rumahnya.
"Lepaskan!" teriak Miranda.
"Jangan melawan, Nyonya!" bentak satpam.
Anggara berjalan mengikuti sampai di depan rumah, ia memastikan kalau sudah aman.
"Awas saja kamu, Anggara!" Miranda menatap benci ke arah Anggara.
"Niko dari kecil aku didik untuk menjadi laki-laki yang mandiri, bukan mental pengemis seperti kamu! Dasar wanita matre!" Anggara mengepalkan tangannya.
"Mandiri kamu bilang? Usia dia masih terlalu muda untuk mempunyai tanggung jawab besar! Aku akan mengambil kembali hak asuh!" Miranda berkata dengan tegas Anggara terdiam seketika, ia merasa tidak mempunyai hak asuh atas Niko. Bagaimanapun Miranda lebih berhak, niat Anggara memang bukan memiliki. Ia hanya membantu membiayai dan mencukupi keperluan Niko.
Ketika ayah kandung Niko meninggal, orang yang paling terpukul adalah Anggara. Melihat Niko yang masih kecil, dan ibunya selalu berbuat seenaknya sendiri. Miranda juga pernah menyatakan perasaannya kepada Anggara, itulah yang membuat Anggara membenci ibu kandung Niko.
"Miranda, dari dulu kamu masih egois!" Anggara merasa kesal.
"Aku ingin membuat Oma, Niko, kita semua bahagia. Tetapi, kamu sama sekali tidak mendukung dan memilih wanita lain," ungkap Miranda.
Menurut Miranda menikah dengan Anggara, akan membuat keluarga mereka bahagia. Namun, kenyataannya dia tidak menarik di mata Anggara. Bukan karena kecantikan, tetapi sikapnya sendiri.
"Pergi dari sini!" Anggara mengusir Miranda.
"Lepaskan! Aku bisa jalan sendiri," kata Miranda ketika ada satpam yang menarik tangannya.
Miranda berjalan menuju mobilnya dengan langkah yang cepat, ia sudah tidak sabar mengadukan Anggara ke Oma Salma. Kebiasaannya dari dulu, selalu mengadu dan membuat keributan antar keluarga.
Anggara kembali masuk ke dalam rumah, ternyata Kinara sedang membantu Bik Siti memasak di dapur. Rencananya, mereka akan memasak makanan kesukaan Anggara.
"Bik, maafkan wanita sialan tadi. Apa ada yang luka?" Anggara merasa tidak enak dengan asisten rumah tangganya, karena sudah memintanya untuk menghadapi Miranda.
"Tidak Tuan, rasanya saya ingin membalas. Tetapi, takut membuat keributan." Bik Siti tersenyum tipis.
"Orang seperti Miranda tidak perlu ditakuti, Bik. Lain kali balas saja kalau dia melakukan kekerasan seperti tadi," ujar Anggara lalu berjalan ke arah Kinara.
Bau masakan Kinara begitu menusuk hidung, aromanya membuat perut terasa lapar.
"Mas, kenapa tidak berdamai saja dengan Miranda? Kasihan Niko." Kinara merasa heran.
"Berdamai? Untuk apa? Miranda tidak bisa diajak hidup dengan damai, dari dulu selalu bikin huru hara," jelas Anggara.
Hal yang paling menyakitkan, ketika Miranda menyatakan cinta dalam keadaan suaminya masih hidup. Bukannya membuat Anggara semakin tertarik, tetapi justru sebaliknya.
Niko juga sudah mengetahui kebenarannya, walaupun dulu masih kecil ingatnya sangat tajam. Apa yang diperbuat oleh ibunya kadang menyakiti hatinya.
Kinara kemudian menyuruh Anggara untuk makan lebih dulu, kebetulan masakannya sudah matang. Tak lupa ia membagi untuk orang yang tinggal di rumah belakang.
"Temani aku makan, Nara," pinta Anggara.
"Aku sudah kenyang, sebaiknya aku pulang. Sebelum Niko dan Angel datang ke rumah," tolak. Kinara lembut.
"Kamu mau pulang sendiri?" Anggara menaruh sendoknya kembali.
"Iya, Mas. Aku gak papa kok," balas Kinara, berusaha tersenyum. Dalam hatinya berharap Anggara mengantarkannya, sehingga bisa berdua.
Anggara berdiri dari duduknya, ia meminta Kinara untuk menunggu sebentar karena harus mengambil kunci mobil di dalam kamarnya.
"Mas, makan saja dulu. Aku akan menemanimu," ucap Kinara, merasa tidak enak.
Kinara tersenyum ketika melihat Anggara makan dengan lahap, ia merasa masakannya tidak sia-sia.
"Nara, makanlah." Anggara menyodorkan sendok ke mulut Kinara.
Dengan rasa malu, Kinara membuka mulutnya pelan-pelan. Ia mengeluarkan makanannya ke telapak tangan, lalu meminta izin ke toilet.
"Mas, kenapa rasanya menjadi seperti ini?" Kinara menatap keheranan.
"Ini enak sekali, Sayang." Anggara melanjutkan makannya.
Kinara merebut piring yang ada di depan Anggara, ia merasa bersalah sudah membuat masakan yang menurutnya tidak enak.
"Aku akan membuatkan lagi untukmu, Mas." Kinara membawa makanan itu ke dapur.
Kinara membuka kulkas, dan mengambil beberapa bahan masakan. Ia memulai memotong sayuran, sedangkan Anggara tersenyum dari balik pintu.
"Nyonya, kenapa masak lagi?" tanya Bik Siti yang kebetulan baru kembali dari rumah belakang.
Makin tua, makin jadi🤣
setuju kalian menikah saja
jamgan hiraukan angel
semoga segera dapat donor darah yg cocok dan bisa selamat
ayo semangat kejar kinara🥰
semoga kamu dapat restu anggara.. semangat