Elowen, seorang wanita muda dari keluarga miskin, bekerja sebagai asisten pribadi untuk seorang model internasional terkenal. Hidupnya yang sederhana berubah drastis saat ia menarik perhatian dua pria misterius, Lucian dan Loreon. Keduanya adalah alpha dari dua kawanan serigala yang berkuasa, dan mereka langsung terobsesi dengan Elowen setelah pertama kali melihatnya. Namun, Elowen tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan menolak perhatian mereka, merasa cemas dengan intensitasnya. Lucian dan Loreon tidak menerima penolakan begitu saja. Persaingan sengit antara keduanya dimulai, masing-masing bertekad untuk memenangkan hati Elowen. Saat Elowen mencoba menjaga jarak, ia menemukan dirinya terseret ke dalam dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan, dunia yang hanya dikenal oleh mereka yang terlahir dengan takdir tertentu. Di tengah kebingungannya, Elowen bertemu dengan seorang nenek tua yang memperingatkannya, “Kehidupanmu baru saja dimulai, nak. Pergilah dari sini secepatnya, nyawamu dalam bahaya.” Perkataan itu menggema di benaknya saat ia dibawa oleh kedua pria tersebut ke dunia mereka, sebuah alam yang penuh misteri, di mana rahasia tentang jati dirinya perlahan mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Two Alpha's And Mate
Malam itu, keheningan menyelimuti kastil megah yang berdiri anggun di puncak bukit. Lilin-lilin di dalam kamar Elowen menyala redup, cahayanya menari perlahan di dinding batu yang dingin. Dari balkon, angin malam masuk tanpa permisi, membawa aroma tanah basah dan bunga liar dari hutan sekitarnya. Elowen duduk di meja rias, menatap pantulan dirinya yang tampak lelah namun masih memancarkan kecantikan. Perjalanan panjang hari itu benar-benar melelahkan, tetapi ada sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat perasaannya tidak tenang.
Dari sudut matanya, ia melihat tirai tipis balkon berkibar, seolah ada sesuatu di luar sana yang mencoba masuk. Perasaan itu semakin kuat, seperti ada mata tak kasatmata yang terus mengawasinya. Elowen meletakkan sisirnya di atas meja dengan perlahan, suaranya hampir tidak terdengar. Jantungnya berdebar lebih kencang saat ia berdiri dan berjalan mendekati pintu balkon.
Ketika ia membuka pintu, hawa dingin langsung menyelimutinya, menusuk hingga ke tulang. Balkonnya kosong, hanya ditemani bintang-bintang redup yang mengintip dari balik awan kelabu. Namun, Elowen merasa sesuatu sedang bersembunyi di balik kegelapan. Ia memandangi lantai balkon yang basah. Ada jejak samar, seperti bekas telapak kaki yang mengarah ke tepi balkon, namun jejak itu menghilang begitu saja di sana.
"Siapa di sana?" Elowen bertanya, suaranya bergetar. Tidak ada jawaban, hanya desiran angin yang terdengar seperti bisikan samar. Dengan napas tercekat, ia melangkah mundur, menutup pintu balkon dengan cepat dan menguncinya.
Namun, baru saja ia berbalik menuju tempat tidur, suara berderak keras dari arah pintu kamar membuatnya terlonjak. Pintu itu terhempas terbuka lebar, menghantam dinding dengan bunyi yang bergema di kamar besar itu. Elowen terdiam di tempat, matanya membelalak memandangi pintu yang terbuka lebar.
"Siapa?!" serunya dengan panik, suaranya menggema di ruangan yang kosong. Tidak ada seorang pun di luar. Hanya lorong gelap yang diterangi beberapa obor, yang cahayanya berkedip-kedip seperti diterpa bayangan yang bergerak.
Perlahan, Elowen mendekati pintu, rasa takut dan penasaran bercampur aduk di dalam dirinya. Saat ia melangkah ke ambang pintu, lorong di luar tampak kosong, tapi dingin. Ia memandang ke ujung lorong dan melihat sesuatu—sesosok bayangan berdiri di kejauhan, terlalu samar untuk dikenali. Ketika Elowen menyipitkan matanya untuk memastikan, bayangan itu menghilang secepat kemunculannya.
Ia menelan ludah, mengunci pintu kembali dengan tangan gemetar. Namun, saat ia berbalik, tubuhnya membeku.
Di meja rias, tempat ia sebelumnya duduk, ada sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sebuah mawar hitam segar berbaring di atas sisirnya, kelopaknya memancarkan aroma manis yang memabukkan namun aneh. Elowen tahu pasti mawar itu tidak ada di sana sebelumnya.
Tangan gemetarnya terulur untuk menyentuh bunga itu, tetapi suara bisikan halus menghentikannya. Bisikan itu datang dari arah belakang, begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusannya di lehernya.
"Kau seharusnya berada di sisiku, my mine."
Elowen tersentak mundur, matanya melebar, tetapi saat ia berbalik, tidak ada siapa pun di sana. Ruangan itu kosong, hanya lilin-lilin yang perlahan mulai meredup. Ia terhuyung mundur, jantungnya berdetak keras, namun ketika ia kembali menoleh ke meja rias, mawar itu telah menghilang, seolah tidak pernah ada di sana.
Malam menyelimuti kastil dengan keheningan yang mencekam. Lilin-lilin di kamar Elowen bergetar lemah, seolah ketakutan pada sesuatu yang tidak kasat mata. Angin dingin dari arah balkon menerobos masuk, mengangkat tirai dengan gerakan yang nyaris menyerupai tangan.
Elowen meletakkan sisirnya dengan gerakan perlahan di atas meja rias, matanya sesekali melirik ke pintu yang sedikit terbuka. Ada sesuatu yang tidak beres malam ini, perasaan itu merambat di punggungnya seperti sengatan es. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menghalau hawa dingin yang terasa tidak biasa.
"Elowen..." Sebuah suara—begitu samar, seperti bisikan—berhembus dari arah pintu. Napasnya tertahan, ia memutar kepala dengan gerakan kaku.
"Valerie? Loreon?" panggil Elowen dengan suara serak, mencoba terdengar tegar meski nada ketakutan menyusup di ujungnya. Tidak ada jawaban, hanya gema suaranya yang kembali.
Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu. Jantungnya berdetak keras, memukul-mukul tulang rusuknya. Pintu itu tidak tertutup rapat, tetapi goyah seolah ada sesuatu di sisi lain yang menahannya. Ketika Elowen mengulurkan tangan untuk menutupnya, bayangan gelap muncul di lantai, membentuk siluet sosok tinggi yang berdiri tepat di belakangnya.
Elowen membeku. Tubuhnya terasa seperti batu, dingin dan berat. Perlahan, ia menoleh ke belakang, namun tidak ada apa-apa di sana—hanya ruangan kosong dan tirai yang melambai. Tapi bayangan itu masih ada di lantai, bergerak seiring hembusan angin, meski tidak ada yang bisa melemparkan bayangan itu.
Ia tersentak mundur, berusaha melangkah ke arah pintu, tetapi pintu itu tiba-tiba tertutup dengan suara keras, seperti dihantam oleh kekuatan yang tidak terlihat. Elowen terperangkap.
"Siapa di sana?! Tunjukkan dirimu!" serunya, suaranya bergetar. Tidak ada jawaban. Hanya embusan angin yang terasa semakin dingin, seperti menyelimuti kulitnya dengan es tipis.
Saat ia berbalik, sepasang tangan kuat melingkar di pinggangnya dari belakang, menariknya dengan paksa. Elowen memekik, tetapi sebuah tangan menutup mulutnya sebelum ia sempat berteriak lebih keras. Tubuhnya terkunci, tidak bisa bergerak.
"Lepaskan aku!" jeritnya tertahan di balik tangan itu, suaranya teredam tetapi penuh ketakutan. Ia memberontak, memukuli tangan yang mencengkeramnya, tetapi cengkeraman itu seperti baja, tidak tergoyahkan.
"Elowen, diamlah... aku tidak akan menyakitimu," bisik sebuah suara yang dalam dan dingin di dekat telinganya. Napas panas sosok itu terasa kontras dengan hawa dingin di ruangan itu. Ia tahu suara itu—sangat tahu.
"Lucian?!" napasnya tercekat, matanya membelalak ketika ia akhirnya berhasil memutar kepalanya sedikit untuk melihat. Wajah yang tersenyum dengan mata olive yang menusuk menatapnya dari dekat, bibirnya melengkung dengan kejam.
"Kau tidak seharusnya berada di sini..." Lucian berkata dengan nada rendah, hampir terdengar seperti gumaman. "Tapi aku senang kau datang. Kau akan tahu tempatmu yang sebenarnya..."
Dengan kekuatan besar, ia mengarahkan tubuh Elowen ke depan, membuatnya menatap kaca meja rias. Mata mereka bertemu di pantulan cermin—matanya yang penuh ketakutan dan tatapan Lucian yang mengintimidasi namun penuh obsesi.
"Lepaskan aku! Valerie! Loreon!" teriak Elowen, berharap seseorang mendengar. Tetapi ruangan itu tetap senyap, seolah seluruh kastil telah menjadi milik Lucian semata.
Lucian mendekatkan bibirnya ke telinga Elowen, membisikkan kata-kata yang membuat bulu kuduknya meremang. "Kau seharusnya berada di sisiku... my mine."
Lalu, secepat bayangan gelap yang datang, Lucian menghilang, meninggalkan Elowen yang terjatuh di lantai dengan napas terengah-engah. Pintu kamar terbuka kembali, tetapi kini hanya memperlihatkan lorong yang kosong, tanpa tanda-tanda sosok misterius itu.
oh iya mampir juga yuk dikarya baruku, judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏