Di negeri Eldoria yang terpecah antara cahaya Solaria dan kegelapan Umbrahlis, Pangeran Kael Nocturne, pewaris takhta kegelapan, hidup dalam isolasi dan kewaspadaan terhadap dunia luar. Namun, hidupnya berubah ketika ia menyelamatkan Arlina Solstice, gadis ceria dari Solaria yang tersesat di wilayahnya saat mencari kakaknya yang hilang.
Saat keduanya dipaksa bekerja sama untuk mengungkap rencana licik Lady Seraphine, penyihir yang mengancam kedamaian kedua negeri, Kael dan Arlina menemukan hubungan yang tumbuh di antara mereka, melampaui perbedaan dan ketakutan. Tetapi, cinta mereka diuji oleh ancaman kekuatan gelap.
Demi melindungi Arlina dan membangun perdamaian, Kael harus menghadapi sisi kelam dirinya sendiri, sementara Arlina berjuang untuk menjadi cahaya yang menyinari kehidupan sang pangeran kegelapan. Di tengah konflik, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menyatukan dua dunia yang berlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PASTI SUKSES, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 PERTEMUAN
Hutan Abyssal, perbatasan antara Solaria yang bercahaya dan Umbrahlis yang penuh kegelapan, berdiri megah dengan pepohonan tinggi yang memeluk bayangan pekat. Arlina Solstice, gadis Solaria dengan rambut sewarna madu yang diikat asal-asalan, menatap jalanan gelap di depannya dengan tekad bulat.
"Aku harus menemukannya," gumamnya pelan sambil menggenggam erat liontin yang diberikan kakaknya, Aelric, sebelum ia menghilang tiga minggu lalu.
Arlina tahu ia melanggar aturan Solaria. Hutan Abyssal adalah tempat terlarang, rumah bagi makhluk magis yang hanya hidup dalam bayangan. Tapi ia tidak peduli. Kakaknya satu-satunya keluarganya, dan ia tidak akan duduk diam sementara Aelric bisa saja dalam bahaya.
Angin dingin menggerayangi kulitnya saat ia melangkah lebih dalam ke dalam hutan. Ranting-ranting berderak di bawah kakinya, memecah kesunyian yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Tenang, Arlina. Ini hanya pohon," ia berbisik pada dirinya sendiri, meski tangannya gemetar.
Tiba-tiba, semak di sebelahnya bergerak. Arlina membeku.
“Siapa di sana?” tanyanya, mencoba terdengar tegas.
Tidak ada jawaban, hanya suara gemerisik yang semakin dekat. Ia melangkah mundur, tetapi kakinya terantuk akar pohon, membuatnya jatuh ke tanah. Sebelum sempat bangkit, makhluk besar dengan mata merah menyala keluar dari bayang-bayang.
Makhluk itu memiliki tubuh menyerupai serigala, tetapi dengan tanduk tajam dan cakar sebesar belati. Arlina tertegun, tubuhnya kaku.
"Jangan bergerak," gumamnya pelan, tetapi rasa takutnya membuat nafasnya tercekat.
Makhluk itu melangkah maju, menggeram dengan taring tajam yang berkilau di bawah sinar bulan.
“Apa yang kau lakukan di sini, gadis Solaria?” suara rendah dan dingin memecah ketegangan.
Arlina menoleh cepat. Di sana, berdiri seorang pria dengan jubah hitam berkilauan seperti langit malam, dengan mata keperakan yang memancarkan kekuatan dingin. Tangan pria itu menggenggam pedang berwarna obsidian yang memancarkan aura menakutkan.
“Si-siapakah Anda?” Arlina tergagap, tatapannya berpindah antara pria itu dan makhluk yang kini berhenti mendekat.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju, pedangnya bersinar saat ia mengarahkannya pada makhluk itu.
“Pergi, sebelum aku memusnahkanmu.”
Makhluk itu menggeram, tetapi tidak berani melawan. Dengan satu loncatan besar, ia kembali ke dalam bayang-bayang hutan.
Arlina menghela nafas lega, tetapi sebelum ia sempat berdiri, pria itu sudah berada di hadapannya.
“Kenapa seorang gadis lemah sepertimu ada di sini? Hutan Abyssal bukan tempat bermain,” katanya dingin, menatapnya dari atas dengan sorot tajam.
Arlina menggigit bibirnya, merasa harga dirinya terluka. “Aku tidak lemah! Aku mencari kakakku. Ia menghilang di sini.”
Pria itu mengangkat alis. “Kakakmu? Dan kau berpikir kau bisa menemukannya sendirian di hutan ini?”
Arlina berdiri, meski lututnya masih gemetar. “Aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak mencarinya, siapa yang akan melakukannya?”
Pria itu memperhatikannya sejenak, lalu mendesah pelan. “Gadis bodoh.”
“Jangan panggil aku bodoh!” Arlina memprotes dengan wajah memerah.
Pria itu mengabaikan kemarahan kecilnya dan berbalik. “Kembali ke tempat asalmu. Hutan ini bukan untukmu.”
“Aku tidak akan pergi tanpa kakakku!” Arlina mengejarnya, tetapi pria itu berjalan dengan cepat.
Pria itu berhenti tiba-tiba, membuat Arlina hampir menabraknya. Ia menatapnya dengan mata dingin yang membuatnya terdiam.
“Kalau begitu, kau akan mati di sini. Hutan ini tidak akan mengampuni orang lemah.”
“Tunggu!” Arlina mengangkat tangannya. “Setidaknya… bantu aku. Kau jelas tahu tentang tempat ini.”
Pria itu mengangkat alis, tampak ragu. “Kenapa aku harus membantumu?”
“Karena aku tidak akan pergi sampai aku menemukan Aelric!” Arlina menjawab dengan tegas.
Untuk pertama kalinya, pria itu terlihat terkejut. “Aelric?”
Arlina mengangguk. “Kakakku, Aelric Solstice. Kau mengenalnya?”
Pria itu tidak menjawab, tetapi ada perubahan kecil dalam ekspresinya. Akhirnya, ia mendesah. “Namaku Kael Nocturne. Aku pangeran Umbrahlis. Jika kau ingin mencari kakakmu, kau harus patuh pada perintahku.”
Arlina melongo. “Pangeran… kegelapan?”
Kael mendengus. “Kau menyebutku apa pun yang kau mau. Sekarang, kalau kau tidak ingin diserang makhluk lain, ikuti aku.”
Arlina ragu sejenak, tetapi ia tahu tidak ada pilihan lain. “Baiklah. Tapi kalau kau berusaha mencelakaiku…”
“Aku tidak punya waktu untuk bermain-main,” potong Kael. “Jangan terlalu percaya diri.”
---
Mereka berjalan dalam diam, kecuali suara langkah kaki Arlina yang sering tersandung akar pohon. Kael meliriknya beberapa kali dengan ekspresi tidak sabar.
“Kau benar-benar tidak cocok berada di sini,” gumamnya.
“Terima kasih atas kritiknya,” balas Arlina sarkastis.
Kael berhenti dan menoleh, membuat Arlina hampir menabraknya lagi. “Kalau kau tidak bisa menjaga mulutmu, aku bisa meninggalkanmu di sini.”
Arlina menggigit bibirnya, menahan protes. “Aku hanya ingin menemukan Aelric. Itu saja.”
Kael memperhatikannya dengan tatapan yang sulit ditebak. Akhirnya, ia berbalik. “Kalau begitu, diam dan ikuti aku.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian, suara gemerisik kembali terdengar. Kael berhenti dan mengangkat tangan, memberi isyarat pada Arlina untuk diam.
“Apa itu?” Arlina berbisik.
Kael tidak menjawab. Ia mengangkat pedangnya, dan bayangan besar muncul dari kegelapan. Kali ini, makhluk itu jauh lebih besar daripada yang pertama, dengan tubuh bersisik dan taring yang memancarkan cahaya hijau beracun.
“Diam di belakangku,” perintah Kael dengan nada tegas.
“Tapi—”
“Diam!”
Arlina mundur beberapa langkah, menahan nafas saat Kael maju dengan percaya diri. Dengan gerakan cepat, ia melompat dan mengayunkan pedangnya, memotong makhluk itu dengan presisi yang mematikan. Darah hijau memercik ke tanah, dan makhluk itu menghilang dalam asap.
Kael menurunkan pedangnya, tetapi napasnya masih stabil. Ia menoleh pada Arlina yang menatapnya dengan mulut ternganga.
“Apakah kau selalu seberani ini, atau hanya bodoh?” tanyanya dingin.
Arlina mengerjap. “Aku… tidak tahu apa yang harus kukatakan.”
Kael mendengus. “Teruslah di belakangku. Aku tidak ingin membuang tenaga lagi.”
---
Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah celah besar yang dipenuhi bayangan pekat.
“Kita sudah dekat,” kata Kael.
“Dekat dengan apa?” tanya Arlina.
Kael menoleh dengan tatapan serius. “Dengan jawaban yang kau cari. Tapi aku memperingatkanmu, mungkin kau tidak akan menyukainya.”
Arlina menggenggam liontinnya erat-erat, menahan rasa takut yang mulai menggerogoti dirinya. Ia tahu risikonya, tetapi ia tidak akan mundur.
“Tidak peduli apa pun itu, aku harus tahu.”
Kael mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke dalam kegelapan, sementara Arlina mengikutinya dengan hati yang dipenuhi ketegangan dan harapan.
Kael berhenti di depan sebuah pohon besar dengan akar menjalar ke mana-mana. Bayangan pekat berkumpul di sekitarnya, memancarkan aura magis yang berat. Ia meletakkan tangannya di batang pohon itu.
“Ini tempat terakhir yang dicatat penjaga perbatasan,” kata Kael pelan, menoleh pada Arlina. “Kau yakin ingin tahu apa yang ada di sini?”
Arlina melangkah maju. “Tentu saja! Jika itu membawaku pada Aelric, aku harus tahu!”
Kael menatapnya lama. “Kebenaran mungkin lebih menyakitkan daripada bayanganmu.”
“Aku lebih takut kehilangan kakakku daripada kebenaran itu,” balas Arlina tegas.
Kael mengangguk kecil, lalu mengangkat pedangnya. Ia menggores batang pohon dengan simbol aneh, dan perlahan sebuah pintu berbentuk cahaya terbuka di hadapan mereka.
“Masuklah,” katanya.
Arlina ragu sejenak. “Apa kau tidak ikut?”
Kael mendesah. “Aku penjaga pintu ini. Kalau kau mau hidup, aku harus tetap di sini.”
“Tapi—”
“Percaya padaku,” potong Kael tegas. “Aku akan melindungimu dari sini.”
Arlina menggenggam liontinnya erat. “Baik. Jangan biarkan apa pun menyerangku.”
Kael tersenyum samar. “Aku tidak akan membiarkanmu mati.”