Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Genderang Perang
Langit siang itu terlihat cerah, tetapi hati Naura terasa mendung.
Sejak pertama kali menjejakkan kaki di rumah megah keluarga Bimo, ia sudah menghadapi berbagai ujian.
Namun, kali ini, tantangan yang datang terasa lebih berat.
“Naura, kenalkan ini sepupuku, Nina,” ujar Bimo memperkenalkan seorang wanita muda yang baru saja tiba.
Nina memiliki wajah cantik dan tubuh ramping yang dibalut gaun mahal berwarna merah.
Senyumnya terlihat manis, tetapi sorot matanya tajam, seperti sedang menilai sesuatu.
Anehnya ia bersikap seolah baru pertama bertemu dengan Naura, padahal malam sebelumnya ia sudah merampas paksa barang pemberian Ibu Bimo.
“Naura, ya?” Nina mengulurkan tangan dengan gaya angkuh.
“Akhirnya aku bisa melihat sendiri siapa yang berhasil membuat sepupuku tergila-gila.” Nina menggenggam kasar tangan Naura, seakan sengaja menunjukkan bahwa ia mampu melakukan apapun demi memisahkan sepupunya dari Naura.
Naura paham benar. Ia bahkan merasakan nada sinis dalam ucapan Nina, tetapi ia tetap membalas dengan sopan.
“Senang bertemu denganmu, Mbak Nina,” sapa Naura.
Gadis itu menunjukkan keseimbangan emosinya. Ia tetap terlihat tenang, meski sebenarnya hatinya bergejolak.
“Senang, ya?” Nina menyeringai kecil.
“Aku harap kamu benar-benar siap masuk ke keluarga ini,” ejek Nina dengan ekspresi menyebalkan memajang tawa setengah merendahkan.
Naura hanya tersenyum samar, meski hatinya mulai tidak nyaman.
Sejak pertemuan itu, Nina tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Naura.
Entah dengan komentar-komentar sinis, tatapan meremehkan, atau bahkan tindakan yang lebih terang-terangan.
Siang itu, saat Naura duduk di ruang tamu sambil membaca buku, Nina tiba-tiba masuk dan duduk di sofa di seberangnya.
“Kamu tahu, Naura,” ujar Nina dengan nada santai tetapi penuh sindiran, “keluarga ini punya standar tinggi. Aku cuma khawatir kamu tidak bisa menyesuaikan diri. Kamu 'kan ... berasal dari desa.”
Naura merasa darahnya mendidih, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Saya akan berusaha, Mbak. Saya yakin semua orang bisa belajar.”
“Oh, tentu saja,” Nina tersenyum tipis.
“Tapi tidak semua orang punya kemampuan untuk benar-benar menjadi bagian dari keluarga seperti ini.”
Naura ingin membalas, tetapi ia tahu itu hanya akan memperburuk suasana.
Jadi, ia memilih diam dan beranjak dari sofa, mencari udara segar di taman.
Namun, Nina tidak berhenti di situ. Ketika mereka berkumpul untuk makan malam, ia kembali melontarkan komentar yang membuat Naura merasa kecil.
“Mas Bimo, aku benar-benar heran,” kata Nina dengan nada bercanda tetapi menusuk.
“Kamu kan bisa memilih wanita mana saja. Kenapa memilih yang ... sederhana seperti ini?”
Bimo langsung memasang wajah tidak senang sambil melemparkan tatapan matanya yang tajam.
“Cukup, Nina. Jangan bicara seperti itu.”
“Aku hanya bercanda, Mas,” ujar Nina dengan senyum palsu.
“Tapi aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak salah langkah.” Lagi, ia berusaha mempertegas ucapnya yang dibalut kata canda.
Naura merasa pipinya panas, tetapi ia mencoba menahan air matanya yang bahkan embun di pelupuk mata itu nyaris jatuh dan membanjiri pipinya.
Gadis itu hanya beranjak dari tempat duduknya.
"Aku permisi," pamitnya meninggalkan meja makan.
Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Nina. Itu sebabnya ia memilih menangis sendirian di dalam kamar mandi.
Malam itu, setelah makan malam, Naura memutuskan untuk berbicara dengan Bimo.
Mereka duduk berdua di balkon kamar, angin malam yang sejuk tidak mampu meredakan kegelisahan di hati Naura.
“Mas, aku tidak bisa terus seperti ini,” ujar Naura pelan.
“Maksud kamu apa?” Bimo menoleh dengan alis terangkat.
“Aku tidak nyaman di sini. Mbak Nina ... dia selalu membuatku merasa tidak diterima,” suara Naura mulai bergetar.
“Aku merasa seperti orang asing yang kehadirannya tak diinginkan di rumah ini.”
Bimo menarik napas panjang, lalu meraih tangan Naura.
“Naura, aku tahu Nina memang sulit. Dia selalu merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Tapi aku mohon, jangan biarkan dia membuatmu mundur. Kamu adalah pilihanku.”
“Tapi, Mas, aku tidak tahan,” ujar Naura sambil menahan air matanya.
“Setiap hari, aku merasa dihina. Aku tidak ingin tinggal di sini lebih lama.”
“Aku janji, aku akan bicara dengan Nina. Aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu lagi.” Bimo menggenggam tangan Naura lebih erat.
Namun, di dalam hatinya, Naura tetap merasa bimbang.
Ia tahu Bimo mencintainya, tetapi apakah itu cukup untuk membuatnya bertahan di lingkungan yang begitu penuh tekanan?
Keesokan harinya, saat Naura sedang berjalan di taman, Nina kembali mendekatinya. Kali ini, wanita itu tidak lagi berbasa-basi.
“Kamu tahu, Naura,” ujar Nina dengan nada tajam, “aku tidak percaya kamu benar-benar mencintai Bimo. Kamu hanya memanfaatkannya, kan? Menggunakan wajah polosmu untuk mendapatkan semua ini.”
Naura terkejut mendengar tuduhan itu.
Wajah sinis itu terus menatap tajam tanpa mau melepaskan pergerakan Naura, bahkan meski sedetikpun. Menjengkelkan memang.
“Tidak, Mbak Nina. Saya mencintai Mas Bimo. Saya tidak pernah punya niat seperti itu,” kilah Naura membela diri.
“Oh, ya?” Nina mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Naura.
“Lihat saja nanti. Kamu tidak akan bertahan lama di sini. Orang seperti kamu tidak pernah pantas berada di dunia kami!” ancamnya.
Dan. Sepanjang pertemuannya dengan Naura gadis itu terus menunjukkan sikap sinis tanpa senyuman sedikitpun.
Seolah sengaja menunjukkan sikap bahwa ia benar-benar tak suka dengan keberadaan dan posisi Naura sebagai istri Bimo.
Naura merasa tubuhnya gemetar. Ia ingin melawan, tetapi kata-kata Nina membuatnya merasa begitu kecil dan tidak berdaya.
Saat Nina pergi, Naura duduk di bangku taman, menahan tangis yang akhirnya tumpah.
Hatinya terasa begitu sesak. Dadanya sesak. Isi kepalanya riuh. Penuh gejolak.
Ia mencintai Bimo, tetapi ia tidak tahu apakah ia bisa terus menghadapi semua ini.
Malam itu, Naura kembali mengungkapkan keinginannya untuk pulang.
Namun, kali ini, ia mengatakannya dengan tegas.
“Mas, aku tidak bisa lagi tinggal di sini,” ujar Naura dengan suara bergetar. “Aku ingin pulang.”
Bimo terlihat terkejut. “Naura, jangan seperti ini. Aku sudah bilang, aku akan melindungimu.”
“Tapi, Mas, aku merasa tidak punya tempat di sini,” ujar Naura sambil menahan air matanya.
“Aku tidak ingin terus-terusan merasa seperti ini,” imbuhnya diiringi isakan tertahan.
Bimo terdiam sejenak, lalu mendekati Naura dan memeluknya erat.
“Aku mohon, Naura. Beri aku sedikit waktu. Aku akan mengurus semuanya. Aku akan memastikan Nina berhenti mengganggumu.”
Naura tidak langsung menjawab. Ia merasa terombang-ambing antara cintanya kepada Bimo dan keinginannya untuk melindungi dirinya sendiri dari rasa sakit.
Di luar kamar mereka, Nina berdiri diam di koridor, mendengar percakapan mereka dengan senyum puas di wajahnya. Baginya, ini baru permulaan.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan