Dalam kehidupan sebelumnya, Xin Yi tidak pernah mengerti. Mengapa Gu Rui, yang disebut sebagai Putri satu-satunya keluarga Gu, selalu membidiknya.
Selalu merebut apa yang jadi miliknya, dan berusaha mengalahkan nya disetiap hal yang ia lakukan.
Tidak sampai suatu hari, Xin Yi menemukan catatan lama ibunya.
Dia akhirnya mengerti, bahwa yang sebenarnya anak kandung Tuan Gu adalah dirinya...
" Xin Yi, matilah dengan tenang dan bawa rahasia itu terkubur bersama tubuhmu. "
Gu Rui membunuhnya dengan kejam, merusak reputasinya, mencuri karya miliknya, dan memfitnah nya sebagai putri palsu yang hanya ingin menipu harta ayahnya.
....
" Tunggu, jadi maksudnya aku adalah Xin Yi itu sekarang.. "
Xi Yi, seorang pemenang penghargaan aktris terbaik selama lima tahun berturut-turut.
Harus kehilangan nyawanya akibat ditikam sampai mati oleh fans fanatiknya.
Dia kemudian terlahir kembali sebagai Xin Yi didunia yang lain.
Dia adalah seorang aktris, mampukah dia berubah menjadi Xin Yi Idol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Lagu yang menyatukan Hati
Di sisi lain, suasana di ruang latihan Gu Rui jauh dari tawa dan kebahagiaan. Ruangan itu dipenuhi keheningan yang berat, hanya diselingi suara gesekan spidol di papan tulis. Gu Rui berdiri di depan papan yang penuh coretan ide—judul lagu, konsep tarian, hingga sketsa kostum. Namun, tidak satu pun dari itu yang terasa benar baginya.
Dia menghela napas panjang, tangan kanan meremas rambutnya dengan frustrasi. "Lagu ini terlalu cepat... Tidak, terlalu lambat. Kalau aku salah pilih, mereka bisa kelelahan atau malah tertidur."
Salah satu anggota timnya memberanikan diri berbicara. "Gu Rui, bagaimana kalau kita coba lagu ini dulu?"
Namun, Gu Rui hanya menggeleng tegas. "Tidak! Apa kalian tidak paham? Kalau aku salah langkah, mereka bisa terkena serangan jantung!"
Timnya saling pandang, tak tahu harus berkata apa lagi. Ketegangan memenuhi udara.
Di tengah kekalutan itu, ponselnya bergetar di meja. Nama "Ayah" muncul di layar. Gu Rui memandangnya sejenak sebelum mengangkat panggilan itu.
"Rui, apa kau sibuk?" suara tenang ayahnya terdengar dari seberang.
Gu Rui menghela napas panjang. "Tidak terlalu, Ayah. Tapi aku sedang stres."
"Kenapa? Apa kau menghadapi masalah besar?"
"Aku harus tampil di panti jompo, Ayah," jawab Gu Rui, suaranya terdengar lesu. "Aku tidak tahu lagu apa yang cocok. Kalau aku salah pilih, mereka mungkin akan... kau tahu, kena serangan jantung."
Di seberang, ayahnya tertawa kecil. "Rui, kau terlalu berlebihan. Kau tahu, orang seusia mereka tidak selemah itu. Kau hanya perlu memahami apa yang mereka sukai."
Gu Rui terdiam sejenak, lalu menjawab. "Tapi aku tidak tahu apa yang mereka sukai. Aku bahkan tidak pernah berbicara dengan orang tua seusia mereka."
"Rui, kau lupa siapa yang sedang berbicara denganmu sekarang? Aku juga tidak muda lagi. Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang aku suka?"
Gu Rui tersenyum kecil, meski masih ragu. "Jadi... menurut Ayah, aku harus bagaimana?"
"Orang-orang seusia kami tidak butuh sesuatu yang rumit," kata ayahnya dengan nada bijak. "Kami hanya ingin merasa diingat, dihargai, dan mungkin sedikit bernostalgia. Cari lagu yang membawa mereka kembali ke masa muda, sesuatu yang membuat mereka merasa hidup kembali."
Kata-kata itu membuat Gu Rui tertegun. Dalam kesibukannya memikirkan segala kemungkinan buruk, dia melupakan hal paling sederhana—membuat mereka bahagia.
"Ayah, kau benar," katanya dengan nada lebih ringan. "Terima kasih."
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Rui," lanjut ayahnya. "Kau selalu punya cara untuk membuat sesuatu berhasil. Ayah percaya padamu."
Setelah menutup telepon, Gu Rui berdiri diam beberapa saat, memikirkan kata-kata ayahnya. Perlahan, dia tersenyum kecil, merasa beban di pundaknya mulai berkurang.
Dia berbalik menghadap timnya, suaranya lebih tegas. "Baiklah, kita mulai dari awal. Cari lagu-lagu yang populer di masa muda mereka, sesuatu yang bisa membuat mereka tersenyum dan bernyanyi bersama."
Melihat perubahan sikap Gu Rui, timnya pun merasa lega. Mereka mulai bekerja lagi, kali ini dengan semangat baru.
Gu Rui menghela napas panjang, tatapannya melunak. Dalam hati, dia bersyukur memiliki ayah yang selalu tahu cara membimbingnya, bahkan dari kejauhan.
***
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Para peserta bersiap di lokasi masing-masing, antusiasme bercampur gugup terasa di udara. Setiap tim tahu, ini bukan hanya tentang tampil baik, tapi juga tentang bagaimana mereka bisa menyentuh hati audiens di tempat-tempat yang berbeda.
***
Di Kantor Pemadam Kebakaran
Tim yang tampil di kantor pemadam kebakaran memasuki aula dengan penuh percaya diri. Mereka mengenakan kostum panggung yang keren dan membawa energi maksimal. Para petugas pemadam kebakaran duduk rapi di kursi, sebagian besar memasang wajah serius, membuat suasana terasa tegang.
Musik mulai mengalun, dan para peserta mulai menari dan bernyanyi. Tepuk tangan perlahan terdengar dari penonton, suasana mulai mencair. Namun, di tengah-tengah bagian chorus, suara sirene kebakaran tiba-tiba berbunyi, memekakkan telinga semua orang.
Salah satu peserta terhenti di tengah gerakan tariannya, wajahnya berubah panik. "Apakah kami terlalu memukau sampai alarm berbunyi?" katanya dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Petugas yang duduk di barisan depan tertawa terbahak-bahak, sementara seorang komandan berdiri dan menjawab dengan senyum lebar, "Alarm kami memang sensitif terhadap hal yang panas. Sepertinya kalian terlalu membara!"
Seluruh ruangan pecah dalam tawa. Peserta yang semula gugup akhirnya bisa melanjutkan penampilan mereka dengan lebih santai. Setelah itu, beberapa petugas bahkan mengajak mereka berfoto bersama dengan alat pemadam kebakaran sebagai latar belakang, menciptakan kenangan yang tidak terlupakan.
***
Di Pasar Tradisional
Sementara itu, di pasar tradisional, tim lain menghadapi tantangan yang sama sekali berbeda. Mereka tiba dengan kostum panggung yang mencolok, menarik perhatian semua orang di pasar.
Seorang ibu-ibu yang sedang memegang kantong belanjaan besar memandangi salah satu peserta dan berkata, "Nak, kau kelihatan kuat. Tolong bawakan ini ke mobil, ya?"
Peserta itu terdiam sesaat, bingung harus menjawab apa. Akhirnya dia tersenyum canggung dan berkata, "Eh, baik, Bibi. Tapi jangan lupa beri kami tepuk tangan nanti, ya!"
Ibu itu tertawa sambil menepuk pundaknya. "Tentu saja! Kalau kau bantu bawa belanjaanku, aku akan jadi penggemar nomor satu kalian!"
Adegan itu menarik perhatian para pedagang lain. Salah satu peserta lain yang sedang memegang mikrofon bahkan tidak luput dari permintaan. Seorang bibi menunjuk keranjang besar di sudut dan berkata, "Kau bisa nyanyi nanti, Nak. Sekarang bantu dorong keranjang itu dulu!"
Seluruh tim akhirnya sibuk membantu para ibu dan bibi membawa barang belanjaan mereka. Meski awalnya merasa canggung, mereka tidak bisa menahan tawa melihat situasi ini.
Ketika akhirnya mereka memulai penampilan, para ibu dan bibi yang sebelumnya mereka bantu duduk di barisan depan dengan wajah cerah. Mereka bertepuk tangan dengan semangat, bahkan ada yang mengajak cucunya menari mengikuti irama lagu.
"Mereka tidak hanya bisa menyanyi, tapi juga kuat membantu belanja. Bagus sekali anak-anak ini!" salah satu ibu berseru, membuat suasana semakin hangat.
Di balik layar, produser yang merekam semua kejadian ini tidak bisa menahan senyumnya. "Ini benar-benar konten emas. Momen spontan seperti ini akan membuat penonton di rumah tertawa sekaligus terharu," katanya sambil memberi isyarat kepada kru untuk merekam lebih banyak reaksi audiens.
Hari itu, setiap tim membawa cerita unik yang penuh warna. Mereka tidak hanya menunjukkan bakat mereka, tetapi juga menciptakan hubungan yang hangat dengan audiens. Dan di antara tawa dan tepuk tangan, mereka belajar bahwa terkadang, momen kecil yang tidak direncanakan justru menjadi kenangan yang paling berharga.
***
Di bawah langit cerah yang memayungi taman panti jompo, suasana awalnya dipenuhi tawa dan nyanyian. Tim Gu Rui berhasil membawa semangat masa muda ke tengah para lansia. Lagu-lagu yang mereka pilih membuat semua orang tersenyum, bahkan ada yang menari perlahan meski tubuh sudah tak sekuat dulu.
Namun, suasana berubah ketika seorang kakek tua, yang terkenal pemarah di panti itu, berdiri dari kursinya. Dengan suara berat, dia meminta lagu tertentu. "Anak-anak, nyanyikan lagu ini. Lagu ini membawa kenangan yang penting bagi kami yang sudah tua."
Gu Rui terpaku. Lagu itu tidak ada dalam daftar mereka, dan dia sama sekali tidak mengenalnya. Panik, dia memandang anggota timnya, tetapi tidak ada yang bereaksi. Semua terdiam. Kakek itu mendengus, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Anak muda zaman sekarang. Apa kalian tidak tahu apa-apa tentang masa lalu?"
Di pojok taman, Xin Yi yang sejak tadi duduk diam memperhatikan situasi ini. Lagu itu terdengar familiar. Saat dia bersama ayahnya, dia sering mendengar lagu ini diputar di rumah. Ayahnya pernah berkata bahwa ini adalah lagu favorit ibunya. Belakangan, dan dia juga menyukainya. Dia juga sering mendengar lagu ini diputar oleh Huo Qian di apartemennya.
Melihat kakek tua itu tampak begitu kecewa, Xin Yi tak bisa tinggal diam. Dengan langkah tenang, dia mendekati produser dan meminjam mikrofon. "Kakek, biarkan saya mencobanya," katanya dengan suara lembut namun penuh keyakinan.
Ketika nada pertama terdengar, taman itu mendadak sunyi. Suara Xin Yi mengalun, lembut dan penuh perasaan. Lirik lagu itu menceritakan cinta yang mendalam, tentang kehilangan yang tak tergantikan, dan tentang kerinduan yang tak pernah padam.
Setiap kata yang dia nyanyikan terasa seperti menyentuh hati. Xin Yi menyanyikannya dengan penghayatan yang begitu kuat, seolah dia memahami setiap makna dalam lagu itu. Suaranya yang jernih membawa para lansia kembali ke masa muda mereka. Beberapa mulai meneteskan air mata, sementara yang lain tersenyum haru.
Kakek tua itu terpaku di tempatnya. Matanya yang biasanya penuh ketegasan kini berkaca-kaca. Lagu itu membawanya kembali pada kenangan bersama istrinya, cinta sejatinya yang telah lama pergi. Ketika lagu berakhir, dia berdiri perlahan dan bertepuk tangan dengan penuh semangat.
"Luar biasa, gadis kecil. Kau menyanyikannya seperti kau hidup di dalam lagu itu. Siapa namamu?" tanya kakek itu, suaranya bergetar.
"Xin Yi, Kakek," jawabnya sambil membungkuk sopan. "Saya sering mendengar lagu ini saat kecil. Ayah saya selalu memutarnya di rumah. Katanya, ini adalah lagu kesukaan ibu saya."
Kakek itu tersenyum lebar, wajahnya yang biasanya keras terlihat hangat. "Ibumu pasti wanita yang hebat. Dan kau, gadis kecil, kau memiliki bakat yang luar biasa. Aku jarang terkesan, tapi hari ini kau membuatku merasa muda kembali."
Dari kejauhan, seorang pria berdiri diam, menyaksikan semuanya dengan senyum samar. Huo Qian, yang datang ke panti untuk mengunjungi kakeknya, tak menyangka akan melihat Xin Yi di sini. Melihat gadis itu bernyanyi dengan begitu indah, dia merasa bangga.
Saat acara selesai, Huo Qian mendekati kakeknya yang masih tersenyum puas. "Kakek, kau terlihat bahagia. Apa yang terjadi?"
Kakek itu menoleh dengan tatapan penuh arti. "Cucu, gadis itu… dia sangat luar biasa. Aku pikir, dia cocok untukmu."
Huo Qian tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Xin Yi yang sedang berbicara dengan produser. "Kakek, aku setuju. Tapi dia bukan gadis yang mudah ditaklukkan."
Kakek itu tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Gadis seperti dia pantas diperjuangkan."
Huo Qian hanya tersenyum, tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa Xin Yi memang istimewa. Gadis itu, dengan segala keteguhan dan kelembutannya, telah berhasil menyentuh hati banyak orang, termasuk dirinya.
Duh siapa itu kak, apa bakal ada penguntit dirumah xin yi?