Menjadi ibu baru tidak lah mudah, kehamilan Yeni tidak ada masalah. Tetapi selamma kehamilan, dia terus mengalami tekanan fisik dan tekanan mental yang di sebabkan oleh mertua nya. Suami nya Ridwan selalu menuruti semua perkataan ibunya. Dia selalu mengagungkan ibunya. Dari awal sampai melahirkan dia seperti tak perduli akan istrinya. Dia selalu meminta Yeni agar bisa memahami ibunya. Yeni menuruti kemauan suaminya itu namun suatu masalah terjadi sehingga Yeni tak bisa lagi mentolerir semua campur tangan gan mertuanya.
Bagaimana akhir cerita ini? Apa yang akan yeni lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tina Mehna 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14. CTMDKK
“Coba saja kamu lihat sendiri di kamar mu. Sekalian istirahat.”
“Iya Bu, Yeni ke kamar duluan ya bu. Ibu juga istirahat.”
“Iya..”
Aku pun berdiri dan pergi ke kamar ku. Ku tutup gorden kamar ku lalu langsung membuka lemari ku itu. benar saja, ku lihat sebuah kotak berwarna merah dengan bahan bludru yang nampak mencuri perhatian ku. Ku ambil itu dan membuka nya. Benar saja, semua perhiasan ku ada di sini. Ku langsung ambil ponselku untuk menghubungi mas Ridwan.
“Mas, angkat mas..”
Namun ternyata “Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”
Setelah itu ku ulangi lagi hingga beberapa kali sampai ku menyerah untuk menelpon nya. Karena tak di respon, aku pun beralih dengan sms.
“Mas, angkat telponnya. Ku ingin bicara.” Ku tekan kirim.
Sembari menunggu, ku dengan perlahan menuju ke ranjang ku dan merebahkan tubuhku.
“Ibu benar, hampir semua bajuku ada semua di sini. Apa dia benar-benar tidak ingin tinggal bersama lagi?”
Air mataku mengalir jika memikirkan hal itu. Ku merasa sangat hancur sekarang. Orang yang sangat ku cintai telah tega menghancurkan semua cinta ku ini. Ku sengaja membungkam mulutku karena tak ingin tangisku membuat orang rumah makin khawatir padaku.
Rupanya tangisku dirasakan oleh Reza, dia tiba-tiba merasa gelisah dan ingin menangis. Aku dengan sigap mendekat ke Reza dan menepuk-nepuk kakinya agar dia tenang.
"Cup, cup, cup, sayang… Sayang…”
Di saat yang sama, ku baru menyadari bahwa kelahiran anakku belum dilaksanakan aqiqah. Selam aini Mas Ridwan tak pernah membahas itu. Dia saja jarang sekali menggendong dan bermain dengan Reza. Kasih nama saja tidak, apa dia benar-benar tak menganggap anaknya ini?
Keesokan harinya,
Pagi-pagi sekali sehabis subuh, Ku keluar dari kamarku dan berpapasan dengan adikku.
“Mba..”
“Salma, kamu mau kemana? Udah rapi begini?”
“Salma mau ke kampus mba. Ada kelas siang nanti. Tapi besok Salma pulang kok mba.”
“Maafin mba ya sudah repotin kamu begini.”
“Mba, nggak lah. Ya udah, mba sarapan gih, Salma udah masak sarapan tadi.” Dia hendak pergi keluar.
“Salma, mba mau tanya.”
“Tanya apa mba?”
“DI saat kemarin kamu bawa baju mba, itu semua sudah mas Ridwan kasih ke kamu atau kamu yang beberes baju-baju mba?”
“Mba, kan aku sudah jelasin kalau aku di suruh tunggu di depan rumah mba, Mas Ridwan tiba-tiba keluar bawa tas gede yang katanya semua baju mba sama Reza. Salma yang nggak mau ribut karena ada nenek jahat itu jadi ya udah pergi aja.”
“Apa maksud semua itu Salma?” Ku kaget mendengar pertanyaan Ibu yang masih pas berada di pintu masuk rumah dan masih memakai mukena nya.
“Ibu?” Ucapku dan Salma bersamaan.
“Apa maksudnya Ridwan memberi mu baju-baju Yeni? Apa maksudnya itu?” tanya Ibu menegaskan lagi pertanyaan nya.
Aku jadi bingung dengan jawaban ku. Salma yang tadinya tenang menjadi sedikit gugup dan beberapa kali memberi ku kode harus melakukan apa.
“Bu, tidak ada apa-apa bu. Mas Ridwan hanya membantu Yeni menyiapkan pakaian Yeni.” Ku menjawab dengan lembut agar Ibu tenang.
“Tidak. Tadi Ibu dengar bukan seperti itu. Tadi Ibu sudah mendengar semuanya loh. Yeni, Jangan berbohong. Ibu tak pernah mengajarkan mu berbohong. Salma, kamu juga. Coba jelaskan Salma. Yeni. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa Ridwan mengusir kamu dari rumah kamu sendiri?” Ku lihat Ibu yang nampak membelalakkan matanya pertanda kekesalan.
“Bu…” Ku ingin menenangkan Ibu namun dia tak menyuruhku untuk berbicara.
“Kamu jangan bicara Yen. Biarkan Salma bicara.” Tegas Ibu lagi.
“Ibu..”
“Salma? Jawab jujur! Cepat!”
“Bu.. Anu.. itu.. Emmm..”
“Cepat..”
”Iya bu, mas Ridwan memang mengusir mba Yeni.”
“Apa! Mengusir? Yeni? Kamu benar-benar diusir? Kenapa? Kenapa?” Ibu melihatku dengan kaget, mencengkram lengan ku dengan khawatir.
Melihat itu, ku tak bisa menyangkalnya lagi. Aku berkata jujur pada Ibu. Mendengar ku berkata jujur, ia pun menangis dan memelukku.
“Ya Allah Yeni … Yang sabar ya nak. Tega sekali Ridwan sama kamu, huhuhu”
Di peluk Ibu, aku juga menangis. Adikku pun ikutan menangis hingga Bapakku yang baru pulang dari masjid pun masuk kedalam bingung melihat kami.
“Loh, loh loh.. pada kenapa ini?”
Ku hanya melihat bapak kebingungan namun aku tak bisa menjelaskan lagi pada bapak. Air mataku yang sudah terlanjut mengalir, membuat lidah ku tak mampu berucap lagi.
Namun tiba-tiba, Ibu merintih dengan perlahan dan membuatku melepaskan pelukan ku.
“Ibu kenapa… Huhuhu”
“Bu… kenapa?”
“Sakit..” jawab Ibu sambil merintih.
“Loh, Bu? Kenapa bu?” Bapak ikut panik juga.
“Aaaa..” rintih lagi Ibu yang akhirnya lemas.
“BU.. bu…”
“Salma, panggil ambulance.”
“Iya mba..”
Bapak membopong Ibu ke kursi dulu lalu aku mencoba menyadarkan Ibu dengan memijat kening nya.
“Sudah di mana ambulance nya ?” tanya bapak yang masih kelihatan sangat cemas.
“Bentar lagi pak.”
Dengan samar-samar, ku mendengar suara sirine ambulance yang makin lama semakin dekat. Hingga di depan rumah persis, para petugas ambulan masuk kedalam rumahku lalu memeriksa lebih dulu Ibuku.
“Pak, Bu ibu.. Ibu ini harus segera ditangani dokter. Kita akan bawa ke rumah sakit Harima sekarang. Dalam ambulan hanya cukup untuk 2 orang lagi, silahkan ikut kami.” Ucap petugas itu.
“Yeni. Kamu di sini saja. Jaga anak kamu. Percaya dan berdoa untuk Ibu.” Ucap Bapak padaku.
“Iya pak.”
Mereka bersama menggotong Ibu dan di pindahkan nya ke ranjang dalam ambulan. Di sisi lain para tetangga yang rasa penasarannya sangat besar pun menonton di sekeliling rumah ku. seolah-olah ini adalah sebuah tontonan.
Setelah pintu mobil ambulan di tutup, supir menyalakan lagi sirine ambulan nya lalu mobil pun berjalan.
Aku sebenarnya sangat khawatir keadaan Ibu, Kalau dalam keadaan seperti ini, ku tak akan pernah fokus melakukan semua hal. Ku melihat mobil ambulan ku hingga tak terlihat lagi. Setelah itu, para tetangga pun mulai berdekatan.
“Yeni… yang sabar ya yen.. Percayalah Ibu kamu nggak akan kenapa-kenapa.” Ucap Bu eem samping rumah ku.
“Iya bu, aamiin..”
“Sudah-sudah jangan menangis. Ayo masuk dulu ke rumah kamu. Tek temenin.”
“Makasih bu..”
Bu Eem merangkulku dan kami akan masuk kedalam rumah. Namun para Ibu-ibu yang lain yang masih kepo malah ngikut di belakang ku.
“Eh bu ibu.. tolong jangan ke dalam semua. Sudahlah cukup saya saya yang kedalam. Lagian takut bangunin anaknya Yeni kan? tolong pengertiannya bu ibu..”
“Ya, ya sudah..” Ucap salah satu ibu-ibu.
Kami pun berjalan masuk kedalam rumahku. Bu Eem langsung mendudukan ku di ruang tamu lalu dia berjalan sendiri kearah dapur. Sekembalinya dia dari dapur membawa segelas air.
Bersambung …