Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3.
Fadila baru selesai makan malam seorang diri saat ponselnya berbunyi. Panggilan video daei Dwi dan Sinta.
Fadila langsung menuju kamarnya lalu mengangkat panggilan telpon itu.
"Halo, calon janda." Dwi tersenyum menatap Fadila yang cemberut.
Sedangkan Dwi dan Sinta sudah tertawa.
"Bagaimana dengan yang aku minta tolong pada kalian?" Tanya Fadila.
"Semua selesai, kamu tinggal katakan rencananya. Kami akan segera eksekusi secepatnya." Semangat Sinta.
"Aku berencana untu jual rumah sama mobil atas namaku. Juga tiga apartemen yang atas nama Febri, aku harus bisa membalikkan nama kepemilikannya atas namaku," ucap Fadila.
"Trus, mau kamu apakan apartemennya kalau sudah jadi milik kamu?" Dwi penasaran di angguki Sinta.
"Mau aku jual semuanya. Aku mau cari tempat baru dan mulai semuanya lagi. Aku mau mulai usahaku sendiri." Fadila mengepalkan satu tangannya tanda ia siap maju.
"Ini Fadila sahabat kami yang dulu selalu siap maju apapun kondisinya. Fadila yang selalu semangat dan pantang menyerah." Sinta menatap Fadila berbinar senang.
"Kami pasti bantu kamu untuk bisa jadi pengusaha yang sukses. Kami siap jadi asisten pendamping sampai kamu berjaya." Dwi tak kalah senangnya dari Sinta.
"Tapi siapa pengacara yang harus ku pakai untuk membantu? Aku butuh pengacara untuk memuluskan semua urusan surat-surat itu." Bingung Fadila.
"Oh masalah itu, tenang aja. Nanti aku bicarakan sama papiku, supaya kita bisa pakai pengacara keluargaku." Usul Sinta di acungi jempol oleh Dwi.
"Cerdas," puji Fadila dan Dwi bersamaan.
"Kalau gitu sekalian nanti aku tunjukin surat-surat lain yang harus di tanda tangani sama Febri. Biar di cek lagi sama pak Pengacara itu."
"Surat apa?" Tanya Dwi di angguki Sinta.
"Nanti juga kalian tahu, yang pasti besok kalian harus temenin aku jual semua perhiasan sama rumah ini."
"Beres, besok kami datang tepat waktu," ucap Dwi dan Sinta bersamaan.
Percakapan ketiganya berakhir setelah jam menunjukkan pukul 11 malam.
Fadila berebahkan tubuhnya di kasur seorang diri. Kasur yang biasanya di tempati bersama sang suami, kini hanya tinggal dirinya sendirian.
Fadila yakin kalau saat ini suami dan ibu mertuanya sedang sibuk mempersiapkan pernikahan. Wanita itu juga yakin kalau kedua orang itu tidak akan kembali selama beberapa hari kedepan.
Terlebih lagi suaminya yang pasti akan pergi berbulan madu.
Pagi hari ...
Fadila bangun cepat pagi ini dan langsung mengemasi pakiaannya. Karena pakaian yang di miliki Fadila tidak banyak, jadi satu kopee besar sudah cukup untuk memuat semua pakaian wanita itu.
Satu tas selempang yang agak besar milik Fadila berisi perhiasan dan surat-surat penting.
Setelah semua selesai, wanita itu turun dari lantai atas membawa sendiri koper dan tas selempangnya.
"Nona, mau kemana?" Tanya bibi yang bekerja di sana.
"Aku mau ke luar kota sama temen," sahut Fadila.
Setelah meletakkan kopernya di ruang keluarga, Fadila menuju meja makan untuk sarapan.
"Non, temennya dateng." Bibi memberi tahu Fadila.
"Minta mereka tunggu di ruang keluarga dulu, Bi."
"Baik, Non."
Fadila mempercepat makannya dan segera mendekati temannya yang ternyata sedang di tanya oleh bibi.
"Kalau saya boleh tahu, kemana Non mau pergi? Kenapa Nona Fadila membawa koper besar?" Kening Fadila mengkerut mendengar pertanyaan itu.
"Apa urusannya dengan kamu, Bi? Bukannya tadi aku sudah bilang akan pergi ke undangan teman di luar kota." Sentak Fadila pada wanita tua itu.
Bibi kaget mendengar suara Fadila berada di belakangnya.
"Eh, maaf Non. Saya hanya ingin tahu saja." Wanita tua itu menunduk takut.
"Kamu di pekerjakan di sini untuk bersih-bersih, bukan untuk mengurusi masalah pribadi orang lain." Tegas Fadila pada pekerjanya.
"Maafkan saya, Non."
"Ya sudah, pergi ke belakang sana."
Bibi langsung pergi kebelakang menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak menyangka kalau istri tuannya bisa bersikap tegas dan berwibawa.
Setelah bibi pergi, Fadila langsung menyeret kopernya bersama kedua temannya keluar rumah.
Mobil milik Dwi melaju meninggalkan rumah mewah milik Fadila.
"Kurang ajar banget tuh orang tadi, asisten rumah tangga saja sudah merasa diri nyonya." Gerutu Sinta.
"Kalau itu pekerja di rumahku, sudah ku pecat tanpa pesangon," geram Dwi pula.
"Aku yakin nya sih, bibi tadi pasti mata-mata Febri atau ibu mertuaku." Sinta dan Dwi mengangguk setuju dengan ucapan Fadila.
"Sudah pasti itu, kalau gak mana mungkin dia berani kurang ajar begitu." Suntuk Dwi kala mengingat pekerja di rumah Fadila.
"Kita mau kemana dulu nih?" Tanya Sinta menatap Fadila yang duduk di kursi belakang.
"Kita jual perhiasan dulu, habis itu temenin aku cari tempat tinggal yang sesuai." Fadila melihat kedua temannya di depan.
"Rumah sama mobilnya gak sekalian di jual?" Tanya Dwi heran.
"Ntar aja, cari rumah sewa untukku dulu, besok baru kita jual rumah sama mobilnya," kata Fadila.
"Sekalian saja, Fa. Nanti kita jual di perusahaan proferti kenalan aku. Nanti kita minta waktu dua hari sama mereka, kalau mobil kita gadaikan saja." Sinta memberi saran pada yang lainnya.
"Ok lah, kita selesaikan sekarang saja," putus Fadila.
Mereka menuju sebuah toko perhiasan yanh ada di salah satu mall besar di kota.
"Permisi, Mbak. Saya mau menjual perhiasan," ucap Fadila.
"Baik, Mbak. Boleh saya lihat barangnya dan juga surat-suratnya?" Pinta si penjaga toko.
Fadila membuka tas selempang lusuhnya dan mengeluarkan kotak perhiasannya.
Sebentar ya, Mbak. Saya akan memeriksa perhiasannya lebih dulu, sekaligus menyiapkan uangnya." Fadila mengangguk seraya tersenyum kecil.
Sinta yang melihat betapa mudahnya Fadila menjual perhiasannya langsung bertanya.
"Kok gampang banget sih kamu jualnya?"
"Karena dulu belinya juga di sini, dan sejak ibu mertua tinggal di rumah kami. Aku gak di ijinin pakai satupun perhiasanku," jelas Fadila.
"Pantas masih kelihatan baru begitu," sahut Dwi di angguki Fadila dan Sinta.
Beberapa saat kemudian, pegawai toko muncul dan memanggil Fadila. Dwi dan Sinta mengikuti teman mereka masuk ke dalam.
"Ini uangnya, Mbak. Karena perhiasan milik Mbak masih bagus dan tidak ada kecacatan, kami membayarnya dengan harga yang beda sedikit dengan harga awal." Pegawai toko menjelaskan.
"Gak masalah, Mbak." Fadila tersenyum pada wanita di depannya.
Setelah menghitung jumlah uangnya dan semua prosesnya selesai. Ketiga sahabat itu pergi meninggalkan toko perhiasan.
"Fa, kamu tinggal di rumah aku aja, ya? Aku sepeian di rumah sendirian." Dwi menatap Fadila.
"Yang lain pada kemana memangnya?" Tanya Sinta.
"Papa sama mama tinggal di rumah dinas, kalau abangku jangan di tanya lagi. Sudah pasti dia sibuk tugas ke sana sini." Dwi menghembuskan napasnya lelah.
Ternyata memiliki keluarga yang berpangkat membuatnya sering kesepian. Waktu yang di miliki untuk bisa kumpul bersama juga tidak banyak.
"Aku ikut dong, masa Fadila doang. Aku juga kesepian di rumah," gerutu Sinta.
"Ya sudah, kita tinggal bareng saja di rumahku. Nanti aku kasih tahu papa sama mamaku, kalau kita sekarang tinggal bersama." Dwi mengangkat satu tangannya tanda bersorak.
Sontak saja Fadila dan Dwi juga mengangkat tangan mereka ikut bersorak tanpa suara. Karena sedang di tempat umum, tak mungkin mereka bersorak senang. Yang ada malah akan jadi bahan tontonan.
"Tas kamu kok kucel gini sih, Fa? Memangnya gak ada tas lain?" Sinta menatap Fadila heran.
Biasnaya temannya ini membawa tas selempang kecil. Tapi sekarang membawa tas selempang lumayan besar dan biasa saja.
"Namanya juga bawa barang berharga, Ta. Untuk jaga-jaga harus bawa tas jelek, kan gak akan ada orang yang nyangka kalau tas jelek ini isinya milyaran." Fadila tersenyum kecil menatap Sinta.
"Iya juga, ya." Kompak Sinta dan Dwi.
Mereka terus bercanda di dalam mobil yang melaju menuju tempat selanjutnya.