Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Villa Buana yang merupakan unit terbesar di Villa Lody menjadi tujuan mereka. Tempat yang bisa menampung hingga 50 orang dengan fasilitas lengkap untuk berbagai aktiitas termasuk retreat, outing perusahaan hingga acara komunitas.
Sesampainya di Villa, semua peserta gathering beristirahat hingga pukul 12 yang dilanjut dengan shalat dan makan siang. Pukul 2 siang barulah akan ada acara sambutan dari Ibu Rania selaku founder Sayap Kasih dan beberapa jajarannya yang memilih datang menggunakan mobil pribadi.
Kiana kedapatan sekamar dengan Jehan dan Stevi. Sejujurnya, mudah bagi Kiana bila ingin menggunakan kamar untuk seorang diri. Posisinya di kantor memang sama seperti Jehan dan yang lainnya. Namun, posisinya sebagai menantu Dierja akan lain cerita. Ia bisa meminta berbagai keistimewaan, meski kenyataanya Kiana lebih suka menikmati acara seperti yang lainnya.
Kiana memilih merebahkan diri di tempat tidur dengan fokusnya pada ponsel tatkala Jehan dan Stevi mengajaknya segera mengeskplore tempat mereka menginap. Panggilan telepon yang diputus Dio sepihak tentu saja mengusik hatinya.
Dicobanya menghubungi Dio kembali, namun sampai percobaan ketiga, panggilan Kiana masih diabaikan. Kiana semakin merasakan hatinya gundah. Bermusuhan dengan Dio di rumah rasanya tidak menyenangkan. Meskipun Dio selalu sedikit berkata-kata, paling tidak, jika ia tak marah, laki-laki itu masih mau memberikan Kiana senyuman.
Mendapati Dio kembali mengabaikan panggilannya yang kelima, Kiana kesal juga akhirnya. Ia memilih bangkit dan berjalan-jalan sendirian.
Melewati kolam renang di mana beberapa peserta gathering sedang sibuk berfoto ria, Kiana terus berjalan sedikit menurun menuju bagian depan Villa yang didominasi halaman luas berwarna hijau dengan beberapa penataan apik bunga-bunga. Kiana memotret beberapa sudut aestethic, mengirimkannya pada Dio sebagai kabar bahwa ia telah sampai.
Masih belum juga mendapatkan atensi suaminya, Kiana berjalan kembali. Kakinya kini sudah berada di jalanan beraspal dengan suguhan hamparan daun-daun teh. Memilih duduk di tempat yang lebih teduh, Kiana merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal, ia berkali-kali menghirup udara yang rasanya sangat berbeda dengan Jakarta.
Kiana kembali tersenyum, merasakan bahagia hanya karena sebuah udara.
"If we could live in a place like this, it would be nice."
Kiana menoleh pada arah datangnya suara yang mengganggu waktu menyendirinya. Ada Arshaan yang sudah berganti dengan celana pendek selutut. Di jarak lima meter, berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana, tersenyum cerah.
"Especially with someone we love," lanjut Arshaan dengan cengiran-nya yang sudah dihafal Kiana.
"Kalau begitu buruan nikah sana, terus tinggal di sini."
Kiana mengalihkan pandangannya kembali pada hamparan kebun teh yang anehnya tetap terasa sejuk meski ini pukul 11.30 siang. Waktu yang seperti masuk jam-jamnya neraka bocor kalau di Jakarta.
"Kamu mau?"
Arshaan sudah duduk di samping Kiana. Memiringkan kepalanya demi melihat Kiana dengan jelas. Perempuan itu menoleh dan disuguhi kembali senyum Arshaan yang selalu nampak jahil.
"Maaf ya, saya sudah bersuami."
Arshaan tertawa. "Sayang banget ya aku nggak ketemu kamu dari SMA."
"Aku juga belum tentu naksir kamu," ledek Kiana.
"Nggak apa-apa. Aku yang akan mengejar-ngejar kamu sampai kamu mau."
"You are someone like this?"
"Seperti apa?"
"Seseorang yang suka menggoda cewek-cewek, maybe?"
Arshaan nampak berpikir sebentar kemudian menggeleng.
"Bohong."
"Aku tidak sembarangan menggoda, betewe."
"Dan kenapa bersikap begitu sama aku?"
"Karena suka aja."
Kiana mendengus, memilih kembali sibuk dengan ponselnya memotret hamparan kebun teh.
"Kia."
Kiana menoleh dan mendapati dirinya sedang dipotret oleh laki-laki itu.
"Heh, sembarangan. Muka aku pasti kelihatan jelek banget barusan."
Kiana merengut. Ia berusaha meraih ponsel Arshaan namun laki-laki itu mengangkatnya tinggi hingga membuat Kiana kesulitan.
"Oke, oke. Kita lihat hasilnya."
Arshaan mendekatkan ponselnya hingga mereka berdua dapat melihatnya. Pada foto Kiana yang memasang ekspresi bengong dan terkejut.
Jarak mereka yang fokus pada satu ponsel ternyata benar-benar dekat. Membuat Arshaan bisa leluasa melirik pada Kiana. Pada bulu matanya yang lentik dan panjang. Atau anak-anak rambutnya yang terlihat lucu. Juga setitik tahi lalat kecil di dekat bibir Kiana.
"Tuh kan, jelek."
Arshaan lumayan terkejut. Ia berusaha menguasai dirinya kembali agar tak tertangkap basah sedang memperhatikan perempuan itu.
"Cantik gini kok."
"Mana ada. Lihat tuh, mata aku kaya orang beler."
Arshaan tertawa. "Beler?" ulang Arshaan sembari tertawa lepas. "Itu bahasa apa sih?"
"Ya itu mata akunya difoto begitu. Hapus dong," rengek Kiana.
"Nggak boleh, ini bagus ko."
"Arshaan ih."
"Ini tuh cantik Kia."
"Siniin hapenya ih, biar aku hapus."
Arshaan terus tertawa seraya tangannya menjauhkan ponsel dari Kiana yang mencoba merebut. Arshaan bahkan segera bangkit dan berlari kecil meninggalkan Kiana yang bersungut-sungut sambil mengejar.
Cukup lama mereka berlarian kecil, hingga Kiana akhirnya menyerah. Ia diam tak melanjutkan aksinya hingga memicu rasa penasaran Arshaan. Dia yang sudah 10 meter jauhnya di depan Kiana itu memilih kembali dan mendekat.
"Kia, are you okay?"
Kiana sedang mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Mata memicing pada Arshaan, wajahnya merengut, kesal karena Arshaan terus menjahilinya.
"I'm not fine, foto tadi jelek bangen Arshaan."
Arshaan terkekeh geli melihat Kiana yang sedang merajuk demikian. Baginya, ekspresi Kiana yang seperti ini bisa membawa rasa senang tersendiri. Menjadikan rasa ingin melakukan kesalahan itu jadi lebih besar. Lebih kuat. Lebih menggebu-gebu.
Meskipun ia belum memutuskan untuk melakukannya atau tidak.
"Okay, I give up. Silakan hapus fotonya and let me get a better picture of you."
Arshaan menyerahkan ponselnya pada Kiana yang disambut dengan senyum semringah perempuan itu. Ia segera menghapus foto tersebut dan mengembalikan ponsel Arshaan.
"But ... aku nggak mau difoto lagi tuh."
Kiana mengejek Arshaan dan segera berlalu meninggalkan laki-laki itu; setengah berlari. Menyisakan Arshaan dan senyumannya yang melebar.
Arshaan bukan laki-laki innocent yang baru jatuh cinta.
Arshaan seorang pro.
Buaya rawa.
Tapi Arshaan pandai membedakan mana hanya keinginan, hasrat atau perasaan berdebar sesungguhnya.
"Apa yang kamu lakukan itu hanya demi membuat saya marah, 'kan?"
Arshaan menoleh. Di belakangnya, sebuah Range Rover putih bertengger sempurna. Ada sosok Dionata Dierja yang masih berpakaian kantor lengkap berdiri tegak. Pandangannya yang tajam serta jemarinya yang mengepal membuat Arshaan paham satu hal.
Laki-laki ini melihat apa yang terjadi barusan.
Melihat ia dan Kiana bercengkerama, lantas Dionata ... hah?
Cemburu?
^^^
KLIK LIKE-NYA YAAA
bagus banget recommended