Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Jejak Penjelajah V1
Satrio akhirnya tiba kembali di tendanya, napasnya sedikit tersengal setelah melewati rintangan hutan yang menantang. Matahari mulai merangkak lebih tinggi, membuat udara di sekitar terasa lebih hangat. Tenda kecilnya masih terletak di tempat yang sama, tenang dan tak tersentuh. Ia segera meletakkan botol air yang baru diisinya di tepi tenda, lalu menarik resleting dari pintu tenda.
Tanpa buang waktu, Satrio merogoh kantong dalam ransel dan mengeluarkan perlengkapan masaknya—sebuah kompor kecil portabel dan panci kecil untuk merebus air.
Ia menuangkan air sungai yang tadi diambilnya ke dalam panci, meletakkannya di atas api, lalu meraih sebungkus mi instan dari ransel. Hanya sebentar lagi air akan mendidih. Kesederhanaan ini memberinya rasa tenang di tengah hutan yang menyimpan misteri.
Namun, pikirannya kembali ke batu-batu di sungai tadi. Ukiran kuno dan jejak kaki raksasa itu masih menghantui benaknya. Dengan perasaan mendesak, Satrio mengambil ponselnya dan langsung mencari nama Gilang di daftar kontak. Ia tahu temannya itu, dengan keahliannya dalam teks kuno, pasti akan tertarik mendengar temuan ini.
Telepon tersambung, dan tak lama kemudian terdengar suara Gilang di ujung sana. "Akhirnya, apa ada info terbaru?"
Satrio tersenyum tipis, meski Gilang tak bisa melihatnya. “Tentu saja. Aku berhasil menemukan sesuatu, kau pasti tidak percaya dengan temuanku,” katanya sedikit basa-basi. Suaranya terdengar lebih cepat dari biasanya, terpengaruh oleh antusiasme dan rasa penasaran. "Di tengah sungai, aku menemukan batu besar dengan ukiran teks kuno. Dan bukan cuma itu, ada juga jejak kaki raksasa di batu lainnya."
"Serius?" Gilang terdengar terkejut, nadanya berubah lebih serius. “Ukiran teks kuno?”
Satrio memandangi panci yang mulai beruap, air di dalamnya mendidih perlahan. “Aku belum yakin sepenuhnya, tapi ukirannya jelas buatan tangan manusia. Aku sudah mengambil beberapa foto, dan telah kukirim ke E-Mail-mu."
Gilang terdiam sejenak, seperti sedang mencerna informasi itu. “Kalau benar begitu, kita harus segera melakukan penelitian lebih lanjut."
Satrio terdiam, pandangannya menerawang ke arah hutan. "Aku belum yakin, terpenting sekarang, aku butuh info tentang teks yang ada di batu itu secepatnya." jawabnya pelan, nada suaranya berubah lebih serius. "Tapi aku rasa ini adalah petunjuk penting. Mungkin Ayahku juga menemukan hal yang serupa di sini."
"Baiklah, setelah ini aku akan mempelajari fotomu itu. Aku akan berusaha secepat mungkin mengirim hasilnya padamu."
"Terima kasih, Gi."
Terdengar suara bisikan dari api yang mulai berkurang, mengingatkannya bahwa mi instan di depannya sudah siap. Satrio menutup telepon dengan harapan Gilang bisa secepatnya membaca teks itu.
Sambil mengaduk mi dalam panci, ia tak bisa menahan rasa gelisah yang memuncak di dadanya. Rahasia di Gunung Niuts bertambah dekat untuk terungkap, dan insting Satrio terasa semakin kuat berkat temuan batu misterius ini.
Satrio menyesap kuah mi instan terakhirnya, rasa hangat dan asin mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi oleh rasa penasaran dan ketegangan. Setelah meletakkan panci kosong di samping tenda, pikirannya kembali terfokus pada langkah berikutnya. Ia masih harus memastikan apakah temuan di sungai itu sesuai dengan perkiraan sebelumnya—bahwa mungkin di sini pernah ada sebuah suku atau peradaban yang hidup tersembunyi di tengah hutan Gunung Niuts.
Merasa belum cukup, lengannya kembali mengambil ponsel sekali lagi, kali ini Satrio menghubungi Rio. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya Rio menjawab dengan suara ramahnya. "Syukurlah... Gimana kondisi di sana?"
Satrio langsung to the point, "Aku baru saja menemukan sesuatu yang besar, di sini. Batu-batu dengan ukiran kuno dan jejak kaki manusia—tapi ukurannya tidak wajar. Aku pikir mungkin ini ada hubungannya dengan peradaban lama."
Rio terdengar lebih waspada. “Yakin? Di mana tepatnya?”
"Aku menemukan batu itu di badan sungai yang mengalir dari selatan ke timur."
"Wow!" terndengar Rio berseru, "baru berapa hari.. Oh, bukan. Baru beberapa jam saja sudah menemukan sesuatu di sana."
"Kabar baik, kan? Tapi aku butuh bantuanmu untuk memastikan lagi, apakah tempat ini memenuhi kriteria untuk jadi tempat tinggal sebuah suku berkembang?”
Rio terdiam sejenak, mungkin sedang memeriksa data di ponselnya. "Sepanjang rute yang aku berikan, aku sudah cek peta topografi dan beberapa data dari satelit. Kalau kita bicara soal tempat tinggal, ada beberapa titik yang kelihatan memiliki potensial tinggi. Satu di sisi utara lembah, dekat dengan sungai yang lebih besar, dan satu lagi di lereng Gunung Niuts. Apa kau bisa mengirim titik koordinasi lokasimu sekarang? Siapa tahu itu tidak jauh dari tempatmu."
Satrio mengangguk sambil mendengarkan, meski Rio tak bisa melihatnya. "Kalau begitu, jika ada suku yang tinggal di sini, mungkin mereka memilih tempat yang dekat dengan sumber air. Sungai yang kutemukan tadi memang tidak begitu besar, tapi cukup untuk mendukung kehidupan."
"100% Tepat," sahut Rio. "Tapi kita perlu lihat apakah ada tanda-tanda bekas peradaban di sekitar lokasi yang kau temukan. Mungkin reruntuhan, struktur buatan manusia, atau bahkan lebih banyak ukiran di batu-batu lainnya."
Satrio menghela napas, matanya menatap ke arah sungai yang masih terlihat samar di antara pepohonan. "Baiklah. Aku akan kirim koordinat dan fotonya segera. Kita harus pastikan ini bukan cuma kebetulan."
"Siap. Aku akan coba analisis lebih lanjut dari sini. Satrio! Tetap fokus, dan Jangan lengkah sedikitpun!"
"Aku mengerti, tenang saja. Terima kasih."
Setelah percakapannya dengan Rio berakhir, Satrio termenung di depan tenda, suara hutan mengisi keheningan di sekitarnya. Tatapannya menembus pepohonan lebat, memikirkan informasi yang baru saja diterimanya.
Peta dari Rio menegaskan bahwa masih ada kemungkinan besar titik-titik penting yang tersembunyi di sekitar sini—bukit-bukit atau dataran tinggi yang terlindungi, tempat di mana suku kuno bisa saja pernah menetap.
Pikiran itu menggelitik rasa penasarannya. "Jika memang ada peradaban di sini, mereka pasti memilih lokasi yang strategis, terlindungi dari ancaman alam. Bukit atau dataran tinggi menjadi pilihan yang masuk akal," Satrio bergumam sendiri. Pikirannya mulai membayangkan bukit-bukit tersembunyi, mungkin terlindung di balik pepohonan rimbun yang belum pernah dijelajahinya.
Satrio bangkit dari duduknya, merasakan angin lembut yang membawa aroma tanah basah. Suara gemericik sungai terus mengalun di kejauhan, bercampur dengan gemerisik dedaunan yang tertiup pelan. Hutan di sekelilingnya terasa hidup, tapi dalam kesunyian yang penuh rahasia. Cahaya matahari hanya sedikit menembus dahan-dahan pohon tinggi, memantulkan sinar lembut pada dedaunan yang hijau.
Setiap langkahnya menyusuri tepi sungai terasa tenang namun penuh kehati-hatian. Udara dingin dan lembap seakan menyelimuti tubuhnya, membuatnya semakin waspada pada sekeliling. Matanya kembali tertuju pada tiga batu besar yang berdiri tegak di tepian sungai. Batu-batu itu memiliki pola yang tak biasa—seperti ukiran yang tersimpan oleh waktu.
Satrio mendekat, dan kali ini ia melihat lebih jelas. Pola-pola itu semakin nyata, dan di salah satu batu, ada jejak kaki manusia yang berukuran besar, terinjak kuat ke dalam permukaan batu. Pandangannya terpaku pada jejak itu, sementara di sekelilingnya, hutan seolah diam, seakan menunggu langkah berikutnya.
Merasa tak ada lagi petunjuk jelas di batu-batu itu, Satrio mengedarkan pandangannya ke sekitar sungai. Aliran air yang jernih berkilauan di bawah sinar matahari yang redup, mengalir pelan di antara bebatuan yang besar dan kecil. Di tepi sungai, pepohonan tinggi menjulang dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah, sementara dedaunan bergoyang pelan tertiup angin.
Satrio memfokuskan matanya ke setiap sudut, mencoba menangkap sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Mungkin ada jejak lain yang tersamarkan oleh lumpur, atau tanda yang tertinggal di batang pohon. Tapi, sejauh ia memandang, hanya hutan yang tampak tak berujung, seolah menyembunyikan semua rahasianya di balik ketenangan ini.
Desiran air yang mengalir seolah mengiringi pikiran Satrio. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengamati, tak ingin melewatkan apapun yang mungkin bisa mengungkap lebih banyak tentang tempat misterius ini.
Satrio akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sungai, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh pola-pola aneh pada batu besar tadi. Dengan langkah mantap, ia menaiki tebing kecil yang membatasi aliran sungai dan hutan di atasnya. Suara gemericik air perlahan memudar di belakangnya, digantikan oleh deru dedaunan yang bergerak mengikuti angin, dan suara-suara burung yang samar terdengar dari kejauhan.
lanjut nanti yah