Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan baru, Masalah baru
Setelah gagal dengan segala usaha konyolnya, Shin akhirnya mengambil keputusan besar: pergi ke Akademi Sihir. Bukan karena dia yakin sihir mereka bakal bantu, tapi karena dia nggak punya pilihan lain. Plus, kalau mereka nggak bisa bantu, setidaknya dia bisa ngeledek para guru yang ngerasa paling tahu soal sihir.
“Gue nggak punya apa-apa di sini, dan kalian yang ngajak gue ke Akademi. Jadi jangan nyesel, ya, kalau gue bikin ribut,” gumam Shin sambil nenteng tas kecil yang isinya cuma baju lusuh, buku sihir, dan satu roti basi.
Perjalanan ke Akademi nggak gampang. Shin harus naik turun bukit, ngelewatin sungai, dan hampir diterkam serigala di tengah jalan. Tapi dia tetep santai. Bahkan, pas dia nyasar ke tengah hutan, dia masih sempet ngomel.
“Hutan apaan ini, sih? Jalannya nggak jelas banget. Gue kira udah deket, ternyata makin jauh. Apa gue harus bikin jalan sendiri pake sihir?” Shin langsung ketawa sendiri. “Oh iya, lupa. Gue nggak bisa sihir, brengsek.”
Setelah dua hari jalan kaki dan satu malam tidur di atas pohon, akhirnya Shin sampai di gerbang besar Akademi Sihir. Gerbang itu tinggi banget, dihiasi ukiran naga dan simbol sihir yang kelihatan keren—kecuali buat Shin. Dia cuma ngeliatin ukiran itu sambil nyengir.
“Wah, niat banget bikin ginian. Padahal, naga beneran aja nggak peduli sama ukiran kayak gini. Kayaknya lebih cocok buat pintu kamar mandi raksasa.”
Dua penjaga di depan gerbang melirik Shin dengan tatapan curiga. Salah satu dari mereka, pria tinggi dengan baju besi mengkilap, langsung menghentikan langkah Shin. “Hey, kamu! Apa urusanmu di sini?”
Shin melirik penjaga itu dari atas sampai bawah. “Urusan gue? Ya, katanya gue diundang ke sini. Mau liat? Nih, suratnya.” Dia ngeluarin surat undangan dari kantongnya dengan santai.
Penjaga itu membaca suratnya, lalu mengangguk. “Baiklah, kamu bisa masuk. Tapi ingat, jaga sopan santunmu.”
Shin mendengus sambil nyengir. “Sopan santun? Lo pikir gue anak bangsawan, apa gimana?”
Sebelum penjaga itu sempet ngomel balik, Shin udah jalan masuk ke dalam Akademi. Begitu dia melangkah melewati gerbang besar, dia langsung disambut oleh pemandangan yang bikin dia bengong. Bangunan Akademi tinggi menjulang dengan atap emas, halaman yang penuh bunga warna-warni, dan siswa-siswa berseragam mewah yang sibuk bolak-balik.
“Wah, keren juga, ya. Tapi kayaknya orang-orang di sini terlalu serius. Apa mereka nggak punya hidup lain selain sihir?” Shin bergumam sambil jalan santai. Beberapa siswa ngelirik ke arahnya dengan tatapan aneh, mungkin karena pakaian Shin yang lusuh atau cara jalan santainya yang nggak peduli.
Sampai akhirnya, seorang pria tua dengan jubah panjang menghampiri Shin. Wajahnya serius, tapi matanya memancarkan sedikit rasa penasaran. “Kamu Shin, bukan? Selamat datang di Akademi Sihir.”
Shin melirik pria itu dari kepala sampai kaki. “Iya, gue Shin. Lo siapa?”
Pria tua itu terdiam sejenak, kelihatan agak bingung dengan nada bicara Shin. “Aku kepala sekolah di sini. Namaku Althar. Aku yang mengizinkanmu masuk ke Akademi ini.”
“Oh, lo kepala sekolah? Kirain lebih tua lagi. Eh, maksud gue, apa urusan lo sama gue?” Shin nyengir lebar, jelas-jelas nggak sopan.
Althar menghela napas panjang. “Aku mendengar tentang kondisimu, tentang segel di tubuhmu. Aku pikir, mungkin di sini kami bisa membantumu membuka segel itu.”
Shin menatap Althar dengan ekspresi skeptis. “Bantu? Hah, gue udah coba buka segel ini pake segala cara. Joget, mantra aneh, bahkan ngomong sama segelnya langsung. Lo pikir cara lo bakal lebih ampuh?”
Beberapa siswa yang lewat terdiam, jelas kaget denger ucapan Shin yang terang-terangan nggak sopan ke kepala sekolah. Tapi Althar tetap tenang, meski kelihatan sedikit berusaha menahan kesabaran. “Kami punya metode yang lebih terstruktur di sini. Tapi sebelum itu, kamu harus mengikuti ujian masuk.”
Shin tertawa kecil. “Ujian masuk? Buat apa? Gue nggak bisa sihir, ingat? Kalau ujian ini soal ngelempar api atau ngegerakin barang pake pikiran, mending gue tidur aja.”
“Ujian ini bukan hanya soal kekuatan sihir. Ini juga menguji keberanian, strategi, dan kemampuan bertahanmu,” jawab Althar, tetap tenang.
“Ah, gitu ya? Kalau gitu, boleh lah gue ikutan. Tapi kalau gue nggak lulus, gue bakal balik ke pegunungan dan bilang ke semua orang kalau Akademi ini cuma buang-buang waktu.”
Althar tersenyum tipis. “Kita lihat nanti.”
Ujian masuk ternyata lebih gila dari yang Shin bayangkan. Dia dilempar ke arena besar yang penuh monster sihir, bersama beberapa kandidat lain. Aturannya sederhana: bertahan selama satu jam, atau kabur kalau nggak kuat.
“Serius, ini ujian? Bukannya ini lebih kayak acara buat nyelametin diri?” Shin berdiri di tengah arena, dikelilingi monster-monster yang tampak lapar.
Salah satu kandidat lain—seorang anak laki-laki dengan rambut pirang rapi—berteriak ke Shin. “Hei! Kamu nggak bawa senjata? Apa kamu mau mati?!”
Shin nyengir santai. “Senjata gue adalah mulut gue, bro. Lo tenang aja, gue bakal bikin mereka takut pake kata-kata.”
Monster besar dengan gigi tajam mendekat ke arah Shin. Bukannya lari, Shin malah mendekati monster itu sambil ngomong, “Eh, lo! Gue tau lo lapar, tapi coba pikir, ya. Kalau lo makan gue, rasanya pasti kayak kayu bakar. Gue kurus banget, ngerti nggak?”
Monster itu mengaum, jelas nggak ngerti apa-apa, tapi Shin tetap santai. Dia melompat ke samping, menghindari serangan monster itu dengan gesit. “Gila, lo nggak ngerti bahasa manusia, ya? Udah gue duga. Monster juga brengsek!”
Sementara kandidat lain sibuk melawan atau bersembunyi, Shin malah terus ngomong. Dia ngejek, ngehina, bahkan nari-nari buat ngecoh monster-monster di arena. Entah kenapa, strateginya berhasil. Beberapa monster malah terlihat kebingungan, seolah nggak ngerti harus ngapain sama orang seaneh Shin.
Ketika waktu satu jam habis, lonceng berbunyi, dan semua kandidat dinyatakan lulus. Shin duduk di tengah arena sambil ngos-ngosan, tapi senyumnya lebar. “Gampang banget. Gue harusnya minta tantangan yang lebih susah.”
Althar dan beberapa guru lain melihat dari tribun, wajah mereka campuran antara kagum dan bingung. “Anak ini... aneh,” kata salah satu guru. “Tapi dia punya sesuatu yang berbeda.”
Althar mengangguk pelan. “Ya. Dia bukan hanya berbeda. Dia akan mengubah cara kita melihat sihir.”