Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 - Big Bos
Satu minggu terakhir, Zia terlalu sibuk dengan Mikhail hingga membuat Zidan semakin merasa ada yang tidak beres dengan kekasihnya. Selama ini tidak pernah Zia sesibuk itu hingga tidak bisa dihubungi.
Pria itu hanya mengangguk mengerti kala mendengar alasan konyol Zia yang mengatakan jika dirinya terlalu lelah hingga tak kuasa untuk mengangkat panggilan darinya walau sesaat.
"Jangan terlalu capek, Zia ... kamu nggak mungkin kaya hanya karena kerja sampai larut malam."
Mengatasnamakan pekerjaan, padahal sudah beberapa malam terakhir dia tetap di kamar karena Mikhail benar-benar tak mengizinkannya pergi. Tentu saja sepanjang malam Zia harus menemaninya bahkan tanpa Zia sadar ponselnya sudah mati kehabisan daya.
"Enggak, kok ... kan aku sudah biasa."
Sebelum berlalu pergi, Zidan mengacak rambut kekasihnya lebih dulu. Tidak ada yang berubah, wajah cantik Zia semakin berseri di mata Zidan, entah hanya perasaan atau memang benar yang ia lihat.
"Dah ... aku pergi, besok mau dijemput nggak?"
"Hm, boleh deh." Sudah lama mereka tidak pergi bersama dan kerinduan itu memang kian lama kian terasa. Bisa bertemu sehari dalam satu minggu rasanya sudah sangat beruntung sekali bagi Zidan.
"Good night, sebenarnya masih pengen di sini, tapi Mama bakal koar-koar kalau nggak cepet ... maaf ya, By." Beberapa kali pertemuan selalu berakhir begini, jadi Zia sudah terbiasa sebenarnya.
Zidan melirik pergelangan tangan kirinya, baru pukul 07 malam. Sayangnya, sang mama minta ditemani pergi malam ini, hendak menolak dia tak seberani itu.
"Salamin buat Mama ya, udah lama nggak nengokin. Kangen jadinya."
"Siap ibu negara!! Dah aku pergi," tutur Zidan kemudian kian mendekat, pria itu hampir saja mendaratkan kecupan di bibir Zia. Akan tetapi, dia menghentikan langkah setelah jarak mereka hanya menyisakan satu centi saja.
"Hm, cantiknya calon istriku ... sampai lupa kalau belum halal," tambahnya kemudian menatap lekat manik indah Zia, meski mereka adalah pasangan yang manis akan tetapi Zidan tidak pernah berani melakukan hal nakal semacam itu.
Hanya saja minggu lalu kala mereka memperingati tanggal jadian memang ada yang aneh. Di sana Zia memeluknya tanpa aba-aba dan begitu lama, hanya saja Zidan masih berpikir itu sebagai bentuk dalamnya cinta Zia padanya.
"Ehm, pulanglah."
Wajahnya bersemu merah, ucapan Zidan membuat hatinya terhenyak. Calon istri? Terdengar manis sekali dan Zia hanya bisa tersenyum tipis saat ini.
"Bilang Aamiin dong, itu doa."
Andai saja Zidan tahu apa yang sudah terjadi, mungkin dia takkan sudi mengatakan hal itu pada Zia. Jujur saja, untuk mengakhiri hubungan ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Lagipula, jika nanti kewajibannya sudah usai, mungkin Mikhail akan membuangnya begitu saja. Begitulah pikiran Zia saat ini.
"Aamiin."
Hanya demi sebuah kata itu Zidan rela menunggu. Harapnya sungguhan. Setelah mendengar Aamiin dari Zia, barulah Zidan memacu kuda besinya berlalu meninggalkan tempat itu.
"Istri."
Zia tersenyum simpul seraya menggigit jemarinya, entah kenapa hatinya berdebar saja mendengar kata itu. Dia menggeleng cepat setelah beberapa potongan kehidupan di masa depan menghampiri otaknya, dia berkhayal.
"Stop, Zia! Kenapa jadi mikirnya kesana." Zia mengetuk kepalanya sendiri cukup kuat, pantang sekali dipancing dan perjalanan otaknya sudah terlalu jauh hingga membayangkan dirinya senam hamil.
Drrt drrt
Ponselnya bergetar, notifikasi panggilan masuk. Zia menarik sudut bibir kian lega kala melihat nama si penelepon di layar ponselnya.
-Big Bos-
"Hai, tumben jam segini Bapak sudah telepon? Biasanya jam delapan."
Tanpa menunggu Mikhail menyapanya lebih dulu, Zia langsung memberikan pertanyaan yang sedemikian rupa untuk pria itu. Ini tidak seperti kebiasaannya, jelas saja menimbulkan tanya bagi Valenzia.
"Arah jam dua," ucapnya singkat dan terdengar berbeda, begitu dingin dan seperti memerintah.
Dada Valenzia mulai tak baik-baik saja, pelan namun pasti dia melihat ke arah yang Mikhail katakan. Selain takut maling dia juga takut jin, jujur saja saat ini dia sudah mempersiapkan kuda-kuda untuk nantinya berlari.
"Ya Tuhan ...."
Valenzia mundur beberapa langkah, sejak mereka pulang mobil itu sudah berada di sana. Namun sekali dia tidak mengira jika yang ada di dalamnya adalah Mikhail.
Tatapannya dari jendela yang terbuka itu tampak tak terbaca. Jika sejak tadi, artinya interaksi Zidan bersama Zia dia ketahui tanpa terlewatkan sedikitpun.
Tanpa memutuskan sambungan teleponnya, Mikhail melangkah pelan dan menghampiri Zia begitu santainya. Seperti tidak ada masalah, dan dia juga tidak terlihat marah.
Kian dekat, langkah Mikhail kini terdengar amat jelas. Masih dengan pakaian kerja lengkap dengan sepatu formalnya, pria itu masih seperti seorang bos yang dia temui di pagi hari.
-
.
.
.
"Kenapa nggak ngabarin?" tanya Zia sedikit kikuk, entah kenapa rasanya dia seperti terciduk selingkuh. Padahal, yang menjadi orang ketiga dalam hubungannya dengan Zidan adalah pria yang kini berdiri di hadapannya.
"Kejutan, tapi ternyata ... aku yang dibuat terkejut hari ini."
Zia tersenyum getir mendengarnya, dia paham maksud Mikhail apa. Pria itu menghela napas perlahan dan memasukkan ponselnya di saku celana.
Dia mendekat, mengikis jarak kemudian menarik wanita itu dalam pelukan. Singkirkan dulu amarah yang tadinya hampir membuatnya meledak di dalam mobil.
"Miss you," tuturnya lembut sembari menatap wajah Zia yang kini mendongak demi bisa membalas tatapannya.
Cup
"Kenapa bisa aku merindukanmu sedalam ini." Dia telah mencuri satu kecupan manis di bibir Zia di menit kelima pertemuan mereka.
Dia juga tidak mengerti, apa memang pesona kekasih orang sekuat itu hingga membuat Mikhail menggebu dalam segala hal tentang Zia. Pria itu hanya terkekeh melihat wajah kaget Zia setelah mendapatkan kecupannya.
"Kamu pembangkang ternyata, jangan-jangan kemarin kalian pergi bersama juga? Hm?" Mikhail menepikan anak rambut Zia yang tertiup angin, rasanya tak ikhlas melihat wanitanya tertawa sebegitu bahagia bersama pria lain.
"Nggak, cuma hari ini," jawab Zia sejujurnya, memang kenyataan dan dia tidak berbohong akan hal ini.
"Oh iya? Apa bibir ini bisa dipercaya?" tanya Mikhail menyentuhnya, ranum dan sedikit basah karena ulahnya.
"Kalau nggak percaya tanya aja sama dia, Bapak ngapain sih ... kan itu pacar saya, boleh dong cuma pergi gitu masa nggak." Baru sadar jika yang aneh di sini adalah Mikhail, pria sinting yang akhir-akhir ini kian mengekangnya.
"Memang dia pacarmu, tapi pemilikmu adalah aku." Dengan tegas dia berkata, pria itu menelusuri leher Zia lembut dengan jemarinya. Sesaat kemudian, Zia dibuat kaget lantaran Mikhail menarik kalungnya hingga putus tanpa aba-aba.
"Aarrrgghhh, Bapak apa-apaan?!" Zia menatapnya penuh tanya dan ini adalah hal yang sama sekali tak pernah dia duga sebelumnya.
"Mau disimpan atau dibuang?"
Tbc