Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkemas
Setelah pembicaraan hari itu. Mama dan papa sepertinya tidak saling berbicara, keduanya nampak saling mendiamkan. Terbukti dari sarapan yang biasanya ada di atas meja kini tak ada apapun.
Asisten rumah tangga yang biasa bekerja di rumah sudah dihentikan oleh Mama, dengan alasan bahwa kami akan pindah. Tepatnya tidak punya apa-apa.
Meski memiliki Asisten rumah tangga, Mama biasanya lebih suka memasak sendiri, dengan alasan itu adalah tugas Mama yaitu melayani suami dan memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Mama bilang, meski punya pembantu rumah tangga, tidak semua tugas harus diserahkan pada seorang asisten, meski mereka dibayar untuk itu. Mama bilang seperti namanya tugas mereka hanya membantu meringankan saja.
Aku tahu sebenarnya Mama berat melakukannya, apalagi asisten rumah tangga itu sudah lama bekerja dirumah ini, kami sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Setelah asisten itu dihentikan, Mama menjadi lebih sering melamun, namun berusaha terlihat baik-baik saja saat aku mencoba mendekati mama.
Aku merasakan perasaan mama, karena aku pun merasakan hal yang sama, kesal dan sedih secara bersamaan. Siapa yang tidak kesal, setelah melarikan diri dengan semua hutangnya, kini anaknya pun hendak di berikan kepada kami. Pun hutang yang papa bayarkan tidak termasuk hutang alias papa membayarkannya secara cuma-cuma.
"Mas, aku tahu kakak laki-laki itu berkewajiban mengurus adik perempuannya, tapi itu sebelum ia menikah. Aku tidak keberatan kamu membantunya, tapi tidak sebanyak itu mas!." itu suara Mama, yang sepertinya tengah berdebat dengan Papa.
"Ayolah. Biar bagaimana pun Diana adalah adikku satu-satunya." itu pembelaan diri Papa. Muak sekali, aku pikir drama-drama kehidupan yang cukup menyebalkan tidak akan terjadi di hidupku yang cenderung sempurna.
"Shitt, Mas. Keterlaluan kamu, kamu gak memikirkan aku juga Adelia." bantah mama kecewa. Setelah itu tak terdengar suara apapun hanya suara pintu di banting lumayan keras. Seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Masuk, gak dikunci." ucapku mempersilahkan seseorang masuk ke dalam kamar.
"Lagi apa sayang?." tanya Papa setelah masuk ke dalam.
"Gak ada ngapa-ngapain, Pa." sahutku singkat, jujur saja aku masih kecewa akan keputusan Papa, aku mencoba memahaminya tetapi sial, rasanya susah sekali.
"Maaf, sayang. Kalian mungkin kecewa akan keputusan Papa, tapi inilah yang terbaik." jelasnya menjelaskan.
"Terbaik? Apa maksud Papa?." tanyaku memastikan.
"Kita keluarga, tentu saja harus membantu!" jelas Papa enteng.
"Keluarga papa." bantahku kemudian mengemasi pakaianku ke dalam sebuah koper.
"Cukup, Adelia. Papa sedang tidak ingin berdebat. Kita tunggu kedatangan Liliana, dia akan tiba sebentar lagi." setelah mengatakannya papa segera beranjak pergi dari kamarku.
Aku segera menyelesaikan pekerjaanku sekarang, karena sebenarnya aku sudah Melakukannya sejak semalam, jadi sekarang hanya tinggal sebagian kecil saja. Mama tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum sambil menggenggam tanganku.
Aku pun tidak berkomentar banyak, khawatir pada Mama karena ia nampak berbeda sekali. Jika biasanya Mama selalu tampil cantik dengan hiasan tipis yang biasa dipakainya, sekarang mama nampak biasa saja dan tidak mengenakan riasan apa-apa, meski dimataku mama tetap cantik.
Kurasa papa tidak menyadari itu. Karena papa terlihat biasa saja dan susah di tebak. Aku mencoba agar biasa saja, karena aku tahu hidup itu tidaklah selalu sempurna. Seperti hidupku sekarang.
Oh, ya, berita kepindahanku dari sekolah pun sudah diketahui oleh teman-temanku semua. Karena itu dari semalam hingga hari ini hpku tidak berhenti berdering karena pesan masuk juga panggilan dari semua sahabat-sahabatku.
Aku belum juga tidak berniat membaca pesan-pesan itu, karena hanya akan membuatku kembali merasakan kesedihan. Rindu karena perpisahan dan harus beradaptasi di lingkungan baru. Aku tidak tahu bagimana rasanya hidup di Desa.
"Sudah selesai berkemas, Sayang?." tanya Mama, aku hanya menjawabnya dengan menganggukkan kepala tanda bahwa aku sudah menyelesaikannya. Mama bilang gadis yang bernama Liliana sudah tiba sekarang dan juga Erika ada dirumah, dan sekarang mereka tengah berkumpul di ruang tamu.
Sebelum bergegas menemui mereka aku Ijin terlebih dahulu untuk bersiap, mengganti baju kemudian akan segera menyusul mama dibawah. Aku menyelesaikan dengan cepat aktifitasku dan segera turun ke lantai satu.
Fokus utamaku saat ini adalah pada gadis yang bernama Liliana. Tepatnya dia sepupuku, tapi rasanya malas sekali, kesan pertamaku tentang Liliana sudah buruk sejak awal sebelum aku bertemu dengannya.
Dia gadis yang biasa saja, dia cantik tapi penampilannya biasa saja. Mungkin sedikit mirip denganku, jika seandainya kacamata yang melekat di kedua matanya dilepas, mungkin garis wajahnya akan terlihat mirip denganku, sesekali ia mencuri pandang ke arahku tapi kemudian ia lebih banyak menunduk.
Mungkin ia gadis yang baik. Tapi sayangnya, di hatiku sudah tidak ada lagi tempat untuknya. Apalagi jika teringat bahwa semua ini terjadi karena ia dan mamanya. Maksudku, tentu hutang sebanyak itu mereka habiskan berdua, bersenang-senang. Itu pikirku sejak awal, tapi melihat bagaimana penampilannya kurasa mungkin ia tidak berfokus disana.
Ya, bisa saja mereka membeli banyak aset diluar negeri kemudian melarikan diri, karena mengetahui kakaknya siap melunasi semua hutangnya, sekalipun harus mengorbankan keluarganya sendiri. Ah, rasanya muak sekali.
"Adelia," panggil Erika dengan mata berkaca-kaca, menyadarkanku yang tengah sibuk memperhatikan Liliana dan lupa bahwa ada sahabatku disini. Aku segera menghampirinya dan sebelum aku berhasil mencapai tempat duduk, Erika sudah lebih dulu memelukku erat. Cukup kencang, kurasa ia menangis terbukti dari bahunya yang berguncang.
"Hiks, aku bakal sendirian lagi mulai sekarang." ucapnya terbata-bata, mengeluarkan semua isi hatinya. Jujur akupun merasa hal yang sama, hanya saja aku tidak ingin menangis. Karena itu benar-benar menyedihkan.
Liliana masih ada disini, sibuk memperhatikan kami dengan wajah yang cukup bingung. Meksi begitu aku dan Erika sibuk berdua dan tidak memperhatikannya.
Lagian untuk apa. Sebenarnya mungkin ia tengah berbahagia sekarang. Aku benci perasaan ini.
"Adelia, bisa gak kamu jangan pergi? Tinggal aja sama aku, kita bisa cari Apartemen berdua." keluhnya kini beralih menatapku penuh harap. Jika bisa, aku akan mengatakan iya. Tapi sayangnya, realitanya adalah kebalikannya. Andai aku memiliki saudara, mungkin aku masih bisa memutuskannya sendiri.
"Gak bisa yah, masih dibawah umur." sahut Erika lagi menjawab pertanyaannya sendiri.
"Tante, huwaaaaaa." tangis Erika pecah dan kini giliran aku yang berusaha menenangkannya. Ini tidak pernah ada dalam pikiranku, bermimpi sekali pun tidak pernah.
Aku tidak pernah berencana meninggalkan kediamanku yang hangat dan nyaman. Serta sahabat yang seperti rumah kedua bagiku. Ini semua terjadi setelah Liliana hadir di hidupku.
Meliriknya sekilas dan kudapati ia pun tengah melirik ke arahku, kemudian tertunduk. Basi, aku tidak suka drama, dan sepertinya Liliana suka.
Setelah melepas kepergian Erika, kini hanya ada kami berdua diruang tamu. Sungguh, benarkah aku akan pergi dari sini? Tepatnya kami?.
"Maaf." itu suara Liliana memecah keheningan diantara kami. Menatapku sekilas kemudian menunduk lagi. Aku tersenyum sekilas, rasanya malas menghadapi makhluk yang seperti ini. Tapi sudahlah, aku pun tidak punya tenaga untuk membalasnya.
"Adelia, kalian sudah berkenalan?." tanya Papa menghampiri kami. Rasanya lengkap sudah penderitaanku.
"Adelia, sudah berkemas?!." tanya Mama, seolah mengetahui keresahanku.
"Ayolah, berkemas bisa nanti. Saling kenal saja dulu, bagaimana pun nanti kalian serumah." ucap Papa entengnya seolah tidak punya masalah.
"Bahkan mungkin nanti kalian bisa saja sekamar!" tambahnya lagi. Hal itu berhasil membuatku menatap Papa, terkejut. Kulihat juga raut terkejut diwajah Liliana, entah terkejut atau sungkan aku tidak tahu. Sebenarnya aku tidak peduli.
"Kenapa harus sekamar?." kali ini Mama yang bertanya mewakili pertanyaan ku.
"Ya, Papa rasa di Desa rumahnya kecil, sayang." jawab Papa enteng. Mama hanya berdecak kesal mendengarnya. Entah seolah kehabisan energi dan kata-kata berdebat dengan Papa.
"Kita akan berangkat besok. Sekarang, bawa Liliana ke kamarmu!." perintahnya.
"Kenapa harus ke Kamarku? Maksudku, ini bukan desa. Dia bisa dikamar mana saja, asal bukan kamarku." bantahku tidak terima.
"Adelia, hanya semalam. Dan, ini juga sudah bukan rumah kita." sahut Papa tak menerima bantahan. Aku benci Papa. Tidak pernah terbayang jika papa pun bisa semenyebalkan ini.
Kupikir orang-orang yang dahulunya kagum akan papa, kurasa sekarang mereka memilih mundur teratur. Menyebalkan sekali, bukan? Harus sekamar dengan seseorang yang terlibat menghancurkan hidup kita.
Aku segera beranjak pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa lagi, kudengar Papa meminta Liliana agar segera mengikutiku ke kamar. Dan seolah anak yang baik dan penurut, ia segera beranjak dari tempat duduk dan mengikutiku.
"Kak Adelia, tunggu." panggilnya yang sengaja ku abaikan. Ya, papa sempat menjelaskan jika aku lebih tua satu tahun dibanding Liliana, dan ia berharap aku cepat mengakrabkan diri dan menganggap dia sebagai adikku.
"Oh, astaga, yang benar saja, Pa." gerutuku pada diriku sendiri. Aku menghentikan langkahku agar Liliana tak tertinggal. Meski tidak menyukainya, tapi aku pun tidak sejahat yang dibayangkan. Aku hanya tidak menyukainya.
Karena terburu-buru mengikutiku dan tidak memperhatikan langkah, akhirnya Liliana menabrak punggungku.
"Kak Adelia, maaf!" ucapnya tertunduk. Hanya berdecak sebagai jawaban bahwa aku tidak menyukainya. Aku benci Liliana. sebenarnya kenapa juga dia selalu meminta maaf, apa dia tahu aku tidak menyukainya?
"Masuklah, disini kamarku." ucapku datar tanpa menatapnya.
"Terima kasih, Kak Adelia." ujarnya lagi kali ini tersenyum menatapku meski lagi-lagi ujung-ujungnya ia menunduk.
"Adelia saja, kau tak perlu memanggilku kakak, aku bukan kakakmu." sahutku malas.
"Tapi, tetap saja. Kau kakak sepupuku, usia kita berbeda satu tahun, aku. ." ucapnya terbata-bata seolah aku akan menelannya hidup-hidup. Sesekali ia akan mencuri pandang.
"Baiklah, terserah kau saja." sahutku malas, kenapa Liliana cerewet sekali. Sekilas aku melihatnya tersenyum, yang benar saja. Liliana bergegas masuk ke dalam setelah kubukakan pintu, ia hendak mengeluarkan isi kopernya. Tunggu, kurasa barangnya tak banyak.
"Kita hanya semalam disini, kau tak perlu membongkar barangmu." sahutku mengingatkan barangkali ia lupa. Sedang aku, setelah mengantarkannya ke kamar, aku bergegas menuju ke balkon kamarku. Barangkali aku hendak menyendiri disaat terakhir kali aku ada disini, di rumah ini.
Aku menangis. Benar, aku menangis. Hal yang sangat jarang sekali aku lakukan. Bahkan aku lupa kapan terakhir aku menangis. Tapi hari ini, aku kembali menumpahkan air mataku. Entah karena apa.
Entah karena menangisi keadaan kami yang tiba-tiba berubah menjadi menyedihkan, atau menangis karena akan meninggalkan kehidupan kami yang nyaman dan akan memulai kehidupan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Atau mungkin kecewa karena gagal memahami papa yang menurutku siapapun pasti susah melakukannya. Aku tidak keberatan jika sebenarnya papa hanya membantu melunasi hutangnya saja tapi jika sampai harus mengorbankan hidup kami juga, kurasa aku tidak bisa memahaminya.
Kami bahkan harus pergi dari rumah yang sudah lama kami tempati. Boleh beri satu alasan mengapa aku tidak boleh marah pada Papa?