NovelToon NovelToon
The Monster: Resilience

The Monster: Resilience

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:977
Nilai: 5
Nama Author: Gerhana_

Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.

Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.

Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?

Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4: New Hope

Malam telah datang ketika Wira kembali ke markas bersama Bima, membawa hasil buruan mereka. Setelah memastikan semuanya aman, Wira segera menemui Rizki, yang sibuk memeriksa perangkatnya.

Wira memulai percakapan dengan nada serius, “Kita harus menemukan cara untuk mengalahkan Ruo lebih efisien. Bagaimana kalau kita buat senjata yang bisa membekukan mereka dalam hitungan detik? Mungkin semacam pistol atau granat yang bisa menghasilkan suhu sangat rendah.”

Rizki mengangkat alis, sedikit tertawa, “Wira, kau sadar aku ini ahli IT, bukan insinyur senjata, kan? Bidangku komputer, bukan perakitan senjata.”

Namun, Wira tidak menyerah, “Justru itu! Otakmu adalah senjata kita, Rizki. Kamu punya akses ke internet, dan otakmu bisa menyusun rencana yang orang biasa bahkan tak terpikirkan. Dengan ide-ide dari otakmu, mungkin kita bisa membuat Ruo memohon ampun.”

Rizki tertawa keras, terhibur dengan optimisme Wira, “Hahaha baiklah, baiklah. Sepertinya kau benar-benar membutuhkanku di sini, ya? Beri aku waktu sepuluh menit, biar aku fokus untuk belajar lebih dalam.”

Wira tersenyum puas dan meninggalkan ruangan Rizki, memberinya ruang untuk berpikir. Di dapur kecil mereka, ia membuat secangkir kopi hitam, minuman favoritnya. Menikmati setiap tegukan pahit itu, pikirannya melayang memikirkan keluarganya, terutama nasib kakaknya, Felisa.

Tak lama kemudian, Flora muncul, membawa kehangatan dengan senyuman dan sikapnya yang ceria. “Hei, tuan pahlawan tampan. Lagi ngapain, nih?”

Wira tersenyum sambil mengangkat cangkirnya, “Lagi minum teh.”

Flora memiringkan kepala, mengernyit, “Tapi itu kopi, bukan?”

Wira tertawa kecil, “Oh, benarkah? Mungkin karena kamu terlalu cantik, aku jadi tidak fokus.”

Flora tertawa, “Hahaha, senjatamu itu mulutmu, ya? Pandai sekali menggoda.”

“Bisa jadi,” jawab Wira dengan senyum yang semakin melebar.

Flora tersipu, lalu mencoba mengalihkan perhatian, “Hei, Wira, apa pendapatmu tentangku?”

Wira mengangkat bahu dan menjawab dengan santai, “Kau lucu, cocok sekali jadi pelawak, hahaha!”

Flora langsung menepuk ringan kepala Wira, “Hei, serius dong!”

Dengan ekspresi serius yang berpura-pura, Wira melanjutkan, “Oke, Oke… Flora, masakanmu enak. Dalam situasi seperti ini, aku sudah terbiasa makan sampah, bahkan kadang nyaris tidak memakan apapun. Tapi berkatmu, Flora, aku bisa mengingat rasa yang mungkin sudah lama kita anggap sepele. Seperti bunga yang tetap mekar meskipun yang lain layu.”

Flora berpaling, mencoba menyembunyikan senyum malunya. “Hentikan, Wira. Kalau kau terus berbicara, aku bisa muntah.” katanya sambil berusaha menahan rasa malu.

Namun, diam-diam ia merasa tersentuh dengan kata-kata Wira yang tulus. Setelah hening sejenak, Flora bertanya, “Lalu, apa pendapatmu tentang Nora?”

Wira tersenyum kecil, “Hm, kau banyak bertanya juga, ya? Menurutku Nora…”

Namun, sebelum ia sempat menjawab, Rizki memanggil dari ruangannya, membuat Wira terpaksa meninggalkan pertanyaan Flora menggantung. Ia menuju ke ruang Rizki dengan cepat.

Di sana, Rizki memaparkan hasil pemikirannya, “Sepertinya aku bisa membuat semacam granat es. Tapi aku butuh beberapa komponen khusus seperti bahan kriogenik, wadah yang tahan suhu sangat rendah, mekanisme pemicu, bahan isolasi, dan material komposit.”

Wira mengangguk mantap, “Serahkan padaku. Aku akan mencarikan semua yang kau butuhkan besok.”

Malam itu berakhir dengan semangat dan harapan baru, Wira yakin bahwa mereka akan menemukan cara untuk bertahan lebih lama di dunia yang sudah dipenuhi ancaman ini. Ia memejamkan mata dengan tekad kuat bahwa apa pun yang terjadi, ia akan memastikan bahwa kelompoknya selamat dari ancaman Ruo dan Gougorr.

Keesokan Paginya.

Pagi itu, Wira, Bima, dan Nora keluar dari markas dengan tujuan mengumpulkan komponen untuk senjata dan mencari persediaan obat-obatan. Flora dan Rizki tetap di markas untuk memperbaiki peralatan dan menjaga keamanan. Ketiganya berjalan menyusuri jalan yang sepi dan berhenti di depan kantor polisi yang kosong. Mereka berharap di dalam sana ada senjata, amunisi, atau apa pun yang bisa berguna untuk misi mereka.Begitu masuk, mereka berpencar, mengaktifkan alat komunikasi kecil yang dirancang oleh Rizki sehingga bisa tetap terhubung tanpa harus bersuara keras. Kantor polisi itu gelap dan sunyi, namun udara tegang seperti menyiratkan kehadiran orang lain. Wira sedang memeriksa salah satu ruangan ketika ia mendengar suara langkah kaki dan bisikan. Dengan cepat, ia mengintip dan melihat dua pria berwajah kasar yang dikenalnya—pria-pria yang pernah mencoba mencuri tas Nora sebelumnya.

Wira diam-diam mengamati mereka, mencoba mencari tahu apa yang mereka lakukan di sini. Dari obrolan yang ia tangkap, ternyata mereka juga mencari amunisi. Wira menyadari bahwa ini bisa jadi masalah jika mereka dibiarkan, jadi ia segera memikirkan rencana untuk memanfaatkan situasi.

Melalui alat komunikasi, Wira memberi instruksi pada Nora, “Nora, pergi ke gudang senjata. Tapi jangan bersembunyi. Bertindaklah seolah-olah kau sedang mencari sesuatu. Jangan khawatir, kami akan ada di belakangmu.”

Nora sempat ragu, namun menyetujui rencana itu dengan napas berat. Wira dan Bima pun segera bergegas menuju ke lokasi yang sama, bersembunyi di sudut-sudut yang memungkinkan mereka bisa memantau tanpa terlihat.

Nora melangkah ke dalam gudang senjata, berpura-pura sibuk mencari barang. Tak lama kemudian, kedua pria kasar itu masuk dan langsung memperhatikan Nora yang sedang sendirian. Salah satu dari mereka mulai mendekatinya dengan tatapan yang tidak bersahabat. Namun, sebelum mereka bisa melakukan apa pun, Wira dan Bima menyerang dari belakang. Dengan satu pukulan keras di tengkuk masing-masing, kedua pria itu ambruk. Wira bahkan sempat berbisik sambil tersenyum, “Good night!”

Dengan kedua pria itu terkapar, mereka bertiga segera memanfaatkan kesempatan ini. Mereka mengambil senjata api dan amunisi dari ruang penyimpanan, lalu juga komponen lain yang mungkin berguna untuk menciptakan senjata pembeku yang mereka butuhkan. Setelah mengumpulkan semuanya, mereka meninggalkan kantor polisi dengan perasaan lega namun tetap waspada.

Di perjalanan kembali, Nora mendekat ke Wira, "Jujur, rencanamu tadi cukup nekat, tapi... terima kasih."

Wira hanya tersenyum kecil, “Tak masalah, aku sudah memperhitungkan semua. Kita adalah tim.”

Dengan perbekalan senjata dan beberapa komponen dari kantor polisi, Wira, Bima, dan Nora melanjutkan perjalanan mereka. Namun, mereka masih kekurangan bahan kriogenik yang penting untuk rencana mereka membuat senjata pembeku. Nora berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kalau kita butuh bahan kriogenik, mungkin kita bisa menemukannya di rumah sakit. Selain itu, aku juga bisa mencari persediaan obat-obatan tambahan.”

Wira dan Bima setuju, dan mereka bergegas menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang jalan, suasana terasa lebih ringan berkat kejenakaan Wira yang, walau dalam situasi genting, masih saja mengeluarkan leluconnya. Ia tersenyum miring sambil melontarkan candaan, “Dua tikus got tadi benar-benar tidak belajar dari pengalaman, ya? Berani-beraninya mereka mengganggu sang putri. Kalau menyerang tuan putri, berarti harus bersiap menghadapi penjaga, bukan?”

Nora tertawa kecil, tak bisa menyembunyikan semburat merah di pipinya. Bima yang berjalan di belakang mereka, tersenyum, lalu berkata dengan nada menggoda, “Hati-hati, Wira. Kalau kamu terus menggoda seperti itu, bisa-bisa Nora benar-benar jatuh hati padamu.”

Wira tertawa dan mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Oke, oke, maaf! Aku hanya bercanda.”

Perjalanan mereka berlanjut dengan tawa ringan dan obrolan santai, meskipun ketegangan tetap terasa di udara. Rumah sakit yang mereka tuju mulai terlihat di ujung jalan—gedung yang dulu penuh dengan harapan, kini sunyi, berdebu, dan hampir tak terawat. Ketiganya mulai memasuki bangunan itu, bersiap untuk berburu bahan kriogenik dan persediaan medis di dalam bayangan dan ketenangan yang menyeramkan.

1
Uryū Ishida
Sejujurnya aku gak percaya bakal suka ama this genre, tapi author bikin aku ketagihan!
Gerhana: Terimakasih, tunggu eps selanjutnya yah
total 1 replies
Jell_bobatea
Penulisnya jenius!
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
kuia 😍😍
author, kamu keren banget! 👍
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!