Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Tekad untuk Menghancurkan
Siang itu, suasana istana yang biasanya tenang terasa berbeda. Kabar mengenai pertemuan rahasia antara Panglima Han dan Aluna telah menyebar dengan cepat, membuat para pelayan dan pejabat berbisik-bisik penuh rasa ingin tahu. Namun, di antara semua orang, tak ada yang lebih gelisah daripada Pangeran Ji-Woon. Wajahnya yang biasanya tenang kini mengeras, ekspresinya tidak bisa disembunyikan dari orang-orang yang berada di sekitarnya.
Di kamarnya, Ji-Woon berdiri sambil menatap ke luar jendela, mencoba meredakan emosinya. Namun, perasaan cemburu yang membara tidak dapat ia tahan lebih lama. Baginya, tidak seharusnya Aluna—Seo-Rin—melakukan pertemuan rahasia dengan siapa pun, apalagi dengan Panglima Han, sahabat dekatnya sendiri. Hubungan yang seharusnya hanya sebatas formalitas kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang Ji-Woon sendiri belum bisa sepenuhnya pahami.
Tak butuh waktu lama, Ji-Woon memutuskan untuk menemui Aluna langsung. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, ia berjalan menuju paviliun tempat Seo-Rin berada. Saat tiba di sana, ia melihat Aluna sedang duduk di beranda, tampak asyik menatap bunga-bunga di taman tanpa menyadari kehadirannya.
"Seo-Rin," panggil Ji-Woon, suaranya dingin, membuat Aluna tersentak kaget.
Aluna menoleh, dan begitu melihat ekspresi Ji-Woon yang tegang, ia merasakan sesuatu yang tak beres. Wajah pangeran yang biasanya hangat kini terlihat sangat berbeda, dipenuhi dengan tatapan tajam yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Yang Mulia … ada apa?" tanya Aluna, mencoba menjaga ketenangannya meski hatinya berdebar.
Ji-Woon menatapnya sejenak, seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. "Aku mendengar kabar bahwa kau bertemu dengan Panglima Han … secara diam-diam."
Wajah Aluna memucat. Meskipun ia tahu bahwa ia tidak melakukan kesalahan apa pun, nada suara Ji-Woon yang penuh dengan kecurigaan itu membuatnya sedikit gentar. "Itu bukan pertemuan rahasia, Yang Mulia. Panglima Han hanya ingin menyampaikan sesuatu mengenai keamanan istana setelah insiden serangan kemarin."
Namun, Ji-Woon tidak sepenuhnya puas dengan penjelasan itu. "Kau seharusnya memberitahuku. Kau tahu, aku tidak suka jika kau bertemu dengan orang lain tanpa sepengetahuanku, terutama Panglima Han."
Kata-kata itu keluar dari mulut Ji-Woon dengan nada yang lebih dalam, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. Bagi Aluna, hal itu terasa sedikit menggelikan dan aneh. Dalam novel yang ia tulis, Ji-Woon adalah sosok yang tenang dan penuh pengertian. Namun kini, pria di hadapannya ini menunjukkan sisi yang lebih manusiawi, sisi yang penuh dengan kecemburuan.
"Maafkan aku, Yang Mulia," kata Aluna dengan nada lembut. "Aku hanya tidak ingin merepotkan Anda setelah insiden kemarin. Panglima Han datang dengan niat baik untuk memperingatkan tentang potensi ancaman, dan aku pikir tidak ada salahnya mendengarkan sarannya."
Ji-Woon mendekat, tatapannya semakin lembut namun tetap menyimpan sedikit kekhawatiran. "Seo-Rin, kau tidak perlu merahasiakan apa pun dariku. Aku ingin kau tahu bahwa kau bisa mengandalkanku dalam segala hal, terutama dalam hal keselamatanmu."
Kata-kata itu begitu tulus hingga membuat Aluna merasa tersentuh. Tanpa sadar, ia tersenyum dan menatap Ji-Woon dengan penuh rasa syukur. "Yang Mulia, percayalah, aku tidak merahasiakan apa pun darimu. Aku tahu bahwa aku bisa bergantung padamu, dan aku sangat menghargai perhatianmu."
Pernyataan itu membuat Ji-Woon merasa lebih tenang, namun perasaan cemburunya belum sepenuhnya hilang. Ia menggenggam tangan Aluna dengan lembut, matanya menatap dalam, seolah-olah ingin menyampaikan perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
"Seo-Rin, ingatlah … kau adalah milikku," bisiknya dengan nada yang hampir tak terdengar. “Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekatimu tanpa izinku.”
Detik itu, suasana di antara mereka berubah, dipenuhi dengan ketegangan yang lembut namun mendalam. Aluna, yang terjebak dalam tubuh Seo-Rin, merasa bingung namun sekaligus terhanyut oleh perasaan yang mengalir di antara mereka. Ia menyadari, semakin lama ia berada di sisi Ji-Woon, semakin ia sulit membedakan antara kenyataan dan perannya sebagai Seo-Rin.
Keheningan yang terjadi sesaat di antara mereka akhirnya pecah ketika Ji-Woon mengendurkan genggamannya dan melangkah mundur. "Aku harap kau mengerti maksudku, Seo-Rin," katanya sambil tersenyum tipis.
Aluna mengangguk, menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. "Aku mengerti, Yang Mulia."
Setelah pertemuan tersebut, Ji-Woon pergi meninggalkan paviliun, sementara Aluna masih terdiam, mencoba mencerna kejadian barusan. Hatinya berdebar, tidak sepenuhnya paham dengan apa yang ia rasakan. Namun, satu hal yang pasti, perasaan yang ia miliki terhadap Ji-Woon semakin sulit untuk diabaikan.
Malam itu, Aluna terjebak dalam pikirannya sendiri, bertanya-tanya apakah perasaannya ini akan membawa kebahagiaan atau justru menjadi awal dari konflik yang lebih besar di istana ini.
*
Dipaviliunnya yang megah, Putri Kang-Ji dengan wajahnya yang tegang, penuh kemarahan dan kekecewaan. Sejak pesta penyambutan itu, Kang-Ji telah menyadari betapa dalamnya perhatian Pangeran Ji-Woon terhadap Aluna, dan bagaimana posisinya sebagai putri mahkota terasa semakin tergeser. Hatinya bergolak, tidak bisa menerima kenyataan bahwa selir seperti Seo-Rin mampu menarik perhatian pangeran lebih dari dirinya.
Di dalam kamar paviliunnya, Kang-Ji duduk di meja kecil dengan secarik kertas dan pena di tangannya. Wajahnya yang biasanya lembut kini berubah menjadi dingin, dan matanya menyiratkan kebencian yang mendalam. Di sekelilingnya, pelayannya yang paling setia berdiri menunduk, menunggu instruksi.
"Kita harus menghancurkan Seo-Rin," katanya dengan nada tegas namun penuh perhitungan. "Aku tidak akan membiarkan dia merebut posisi yang sudah menjadi hakku."
Salah seorang pelayan berbisik, "Tapi, Yang Mulia, Pangeran tampak sangat peduli pada Nona Seo-Rin. Jika kita bertindak tanpa hati-hati, kita bisa membuat Pangeran Ji-Woon semakin membencimu."
Kang-Ji mendengus, seulas senyum dingin menghiasi wajahnya. "Itulah sebabnya aku membutuhkan bantuan Ratu. Ia selalu mendukungku, dan aku tahu dia tidak akan tinggal diam jika mengetahui ancaman yang dibawa oleh Seo-Rin."
Dengan tekad kuat, Kang-Ji segera meminta pelayan untuk menyiapkan surat khusus yang akan ia kirimkan kepada Ratu. Ia tidak akan membiarkan hal ini terjadi tanpa perlawanan. Surat itu ia susun dengan hati-hati, dipenuhi dengan kata-kata yang mampu menggugah rasa marah Ratu terhadap kehadiran Seo-Rin di istana.
“Yang Mulia Ratu,” tulisnya, “Aku mohon perlindunganmu. Keberadaan Seo-Rin tidak hanya menjadi ancaman bagiku, tetapi juga bagi istana. Selir itu telah merenggut perhatian Pangeran, dan kehormatanku sebagai putri mahkota terancam dengan setiap hari yang berlalu. Aku berharap engkau dapat mempertimbangkan tindakanku ini sebagai cara untuk mempertahankan keamanan keluarga kita.”
Setelah selesai menulis surat tersebut, Kang-Ji menyegelnya dengan stempel khusus dan menyerahkannya kepada pelayan kepercayaannya. "Pastikan surat ini sampai kepada Ratu secara diam-diam. Tidak boleh ada yang tahu," perintahnya.
Pelayan itu mengangguk dan segera bergegas pergi untuk mengantarkan surat tersebut ke paviliun Ratu.
Sementara itu, di dalam pikirannya, Kang-Ji mulai menyusun rencana berikutnya. Baginya, dukungan Ratu akan menjadi langkah pertama. Setelah itu, ia akan mencari cara untuk menjatuhkan reputasi Seo-Rin di depan semua orang. Entah bagaimana, ia harus membuat Seo-Rin terlihat hina dan memalukan di mata keluarga kerajaan, agar tidak ada lagi yang berani mendukungnya.
Seiring malam yang semakin larut, Kang-Ji tenggelam dalam rencananya, setiap detilnya telah tersusun rapi di kepalanya. Ia tahu, sekali langkah ini dijalankan, tidak akan ada jalan untuk mundur. Tapi demi mempertahankan posisinya dan harga dirinya, Kang-Ji siap mengorbankan apa saja—termasuk Seo-Rin.
Dalam hatinya, ia bertekad. Jika Seo-Rin berani mengusik posisiku, maka aku akan memastikan dia tidak pernah bisa menginjakkan kakinya di istana ini lagi.
Bersambung >>>