Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Alinea Prasasti mengintip ke luar jendela. Rumah berukuran tinggi berjejer mengelilingi daerah sekitar asrama tua yang ditempatinya. Saat gadis itu menengadah ke atas, tampak sebuah jejak roket berbentuk garis lurus yang kini hanya menyisakan gumpalan-gumpalan asap putih pucat di langit biru tak berawan. Dari arah timur bermunculan beragam jenis burung yang entah dari mana asalnya. Burung-burung itu tampak seperti titik-titik hitam di atas langit seolah-olah mereka terlihat sedang berlomba terbang ke Selatan untuk memperebutkan sesuatu. Sepoian angin yang cukup kuat mampu menjatuhkan daun-daun kering yang tertinggal di pohon Cemara, Nangka, Mangga dan tanaman hijau lainnya yang tertanam di pekarangan asrama itu, daun-daun kering berwarna kuning kecoklatan tersebut kembali menumpuk di sekitar bangunan asrama, membuat tukang kebun yang baru saja selesai menyapu seluruh pekarangan itu kini dibuat kesal lagi karena pekerjaan yang telah ia lakukan setelah subuh sekarang menjadi sia-sia.
Tidak hanya itu saja, di rumah sebelah, satu-dua kali selalu terdengar suara anak-anak anjing yang menyalak keras setiap kali mereka melihat orang-orang yang berjalan melewati pintu gerbang majikannya. Di tempat Aline mengamati lingkungan sekitarnya, seperti biasa—di sana—di dalam gang-gang kecil, dan di lapang sepak bola bertanah tandus yang dikelilingi oleh bangunan pasar tradisional dan pasar ikan yang sedikit becek dan berbau anyir tampaklah sekelompok anak berseragam merah putih. Mereka berlari cepat menuju gedung sekolah dasar yang terletak di ujung persimpangan jalan. Sebagian dari anak-anak itu seolah sedang mencemaskan sesuatu. Entah mereka takut terlambat masuk ke kelas atau mungkin anak-anak itu merasa cemas karena lupa dan belum menyelesaikan pekerjaan rumah atau mungkin juga mereka merasa ketakutan akan dihukum oleh wali kelasnya. Aline tak pernah tahu.
“Hah,” Aline menghela napas panjang. Penampakan seperti itu sudah sering ia lihat setiap hari, bahkan hampir setiap pagi kecuali hari Sabtu dan Minggu. Namun, tidak ada satu pun yang istimewa di sana.
Aline merasa hari-hari yang ia habiskan di asrama itu sekarang mulai terasa menjemukan. Aktivitas yang dijalani Aline setiap hari juga tidak ada yang berbeda. Setiap pukul 04.30 pagi atau saat Aline bangun tidur, Aline memiliki agenda untuk mengingat kembali berbagai macam kejadian yang sudah ia lakukan beberapa waktu lalu. Aline harus selalu menuliskan catatan-catatan kecil; tentang bagaimana perasaannya, apa saja yang terjadi di hari kemarin, objek apa saja yang ia lihat pada hari itu, buku apa yang sudah ia baca, apa yang ia tonton dan dengarkan, apa yang membuatnya kesal di hari kemarin, apa yang dapat ia pelajari di hari kemarin, dan terakhir, Aline diwajibkan untuk menuliskan kesan, kesimpulan dan rangkuman terkait kegiatan setiap harinya selama Aline tinggal di asrama ini, selain itu, Aline juga wajib menulis sebuah pesan yang ditujukan kepada dirinya sendiri di bagian bawah lembar catatan hariannya.
Tidak ada sesuatu yang menyenangkan, yang bebas Aline lakukan di sini. Semuanya terikat pada peraturan asrama yang khusus dibuat untuk dirinya.
"Kalau terus seperti ini aku jadi tidak sabar untuk masuk ke kampus. Kira-kira, apa saja yang akan aku pelajari di sana? Apakah akan sama dengan informasi yang aku dapatkan selama ini?" Aline bergumam sendiri. Ia menutup jendela kamar dan berjalan menyambar laptop yang di meja belajar.
Sembari menyeruput cokelat hangatnya, Aline membuka sebuah situs kampus yang ia temukan di feed Instagram.
Sepasang mata Aline membelalak lebar, ketika ia melihat salah satu nama yang tertera di daftar alumni kampus, tepatnya di halaman portofolio di website tersebut. Ada sebuah artikel yang membuat Aline tertarik untuk membacanya.
Walgita Adisty merupakan salah satu fashion designer muda berbakat yang lahir dan besar di Indonesia. Melalui desain-desainnya, sosok wanita yang akrab dipanggil dengan sebutan Wawa atau Gita ini mampu memperkenalkan budaya Indonesia hingga ke kancah internasional. Walgita Adisty dikenal sebagai lulusan terbaik di Universitas Trapunto Djakarta. Walgita juga pernah mengambil program satu tahun di fakultas Fashion Design dan lulus pada tahun 1996.
Aline mendekatkan wajahnya ke depan layar. Ia menatap tak percaya, membuka salah satu galeri yang ada di sana, mengunduh sebuah foto, lalu memperbesar ukuran gambar tersebut.
Alangkah kagetnya Aline, ketika ia mengetahui bahwa wajah yang berada di artikel itu, adalah wajah wanita yang paling dikenalnya. Ia tak lain adalah dokter yang sudah lama merawat Aline, sekaligus merupakan kepala asrama di tempat tinggal Aline saat ini.
"Benar-benar di luar dugaan. Aku sama sekali tidak percaya, Dokter Gita itu ternyata seorang alumni di Trapunto." gumam Aline, masih membaca beberapa artikel Dokter Gita yang terpampang di situs itu.
Walgita Adisty mendapatkan pujian atas dua rancangannya yang dinilai memiliki sejarah.
Walgita Adisty mendapatkan penghargaan dari wali kota Jakarta.
Walgita Adisty bermimpi menjadi perancang busana yang dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia, khususnya bagi kawula muda.
Dan masih banyak lagi artikel-artikel Walgita lainnya.
Aline tertegun. Hatinya tidak ingin berhenti mengagumi sosok wanita itu. Sekarang aku mengerti. Alasan Margin menyuruhku untuk tinggal di asrama Dokter Gita, mungkin salah satunya adalah ini. Mungkinkah Margin mempertemukanku dengan Dr. Gita supaya aku bisa dimentori langsung oleh Dr. Gita?, pikir Aline.
Butuh waktu sekitar satu tahun agar Aline bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Sejak hari di mana Margin menyuruhnya untuk memikirkan masa depan, jelasnya tentang kuliah. Pelan-pelan Aline mulai mencari beberapa sumber di internet yang membahas tentang program dan dunia perkuliahan. Namun, mula-mula, Aline mencari tahu terlebih dahulu tentang bagaimana caranya menemukan jati diri.
Aline kerap kali mengikuti tes bakat dan berbagai macam tes lainnya. Namun, Aline belum cukup puas dengan hasil tes yang ia dapatkan itu. Berhari-hari ia berselancar di dunia maya, singgah dari satu blog ke blog lain, menimbang-nimbang sesuatu dan terus mencari artikel lainnya.
Satu pekan berikutnya, pencarian itu pun berakhir pada sebuah artikel perkuliahan, dan pembahasan seputar jurusan-jurusan kuliah yang paling banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Pilihan Aline pun jatuh pada program Fashion Design.
Sejujurnya, salah satu alasan pertama Aline tertarik untuk memulai kehidupan baru di dunia perkuliahan, adalah ketika Aline menemukan sebuah blog, di mana salah seorang beauty blogger menceritakan pengalaman kuliahnya ketika ia mengambil program satu tahun di jurusan Fashion Desain.
Aline sempat mengirimkan surel kepada beauty blogger tersebut dan melakukan sesi tanya jawab seputar pengalamannya kuliah di bidang desain.
Melalui teks wawancaranya dengan orang tak dikenal itu, Aline jadi tahu, jika Aline masuk ke jurusan Fashion Design, Aline tidak perlu mengkhawatirkan tes yang mengharuskan ia untuk menguasai hitungan angka, atau harus bisa menggambar bagus, seperti kebanyakan orang yang ingin diterima masuk ke jurusan Arsitektur.
Alasan yang kedua—ini sebenarnya sangat sederhana—karena sedari kecil Aline itu memang tidak terlalu suka untuk belajar. Menggambar menjadi salah satu cara alternatif bagi Aline, ketika ia mencoba untuk mempelajari kehidupan sekolah dan dunia di sekitarnya. Selain itu, Aline juga suka sekali mencampur dan mencocokkan pakaian. Dari situlah, Aline mulai membangun impiannya menjadi seorang perancang busana.
Lagi pula—kalau menurut informasi yang didapatkan Aline dari seorang Youtube asal Kanada, katanya sih, semua Mahasiswa baru di Jurusan Fashion Design itu tidak perlu mencemaskan perihal materi kuliah. Tidak ada yang susah untuk dipelajari, kebanyakan juga praktik, praktik dan praktik.
Aline juga ingat, ia pernah membaca salah satu artikel terjemahan yang ditulis oleh seorang fashion writer dari Negeri Matahari Terbit.
Dalam bukunya yang tebal, penulis itu menceritakan pengalamannya. Sang penulis juga memberikan pesan untuk semua orang yang ingin berkiprah di bidang fashion, agar mereka tidak ragu-ragu belajar dan terus belajar. Tidak ada kata terlambat untuk terus belajar bahkan di usia mapan sekalipun. Kuncinya, mereka harus percaya dan tahu alasan serta tujuan mereka terjun ke dunia Mode.
Ada pula, beberapa artikel lain yang membahas tentang kegiatan mahasiswa. Di buku itu, sang fashion writer ini memberikan semangat dan motivasi bagi para mahasiswa baru agar mereka tidak perlu khawatir jika belum menguasai basic menggambar. Toh, nantinya, pengajar juga akan membimbing mahasiswa-mahasiswinya tentang dasar-dasar membuat anatomi tubuh yang benar; menggambar ilustrasi model, membuat pattern, menggambar dan membedakan tekstur kain, menghitung skala, hingga membuat pola dan menjahit pakaian. Semua hal itu akan dicoba dan dipelajari satu per satu, termasuk mempelajari istilah-istilah fashion dalam bahasa Prancis. Juga belajar tentang bagaimana memasarkan produk itu sendiri.
Dari beberapa narasumber yang Aline temukan melalui internet itu, di setiap kesempatan, Aline pasti akan mencatat tips dan trik dari mereka—khususnya ketika mereka pertama kali memasuki dunia perkuliahan—hingga mencari tahu suka dukanya.
Selain itu, Aline juga selalu mencari perbandingan dari beberapa negara, terkait program kuliah mereka sehari-hari—tentunya di bidang yang sama—juga beberapa Event yang ada di kampus mereka. Selepas itu, Aline mulai menganalisis semua kebenaran dari informasi serta pernyataan mereka. Membandingkannya dengan kehidupan Aline dan kampus-kampus di Indonesia. Terkadang Aline memilah kembali kalimat-kalimat yang seharusnya tidak ia tulis karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mahasiswa di Indonesia.
Untuk menyemangati dirinya, Aline mulai menyibukkan diri. Ia sering membuat sesuatu yang unik; mulai dari membuat doodle art, menuliskan kalimat-kalimat positif dari beberapa tokoh terkenal, menggambar ilustrasi dan lukisan-lukisan menarik, hingga membuat sketsa baju. Tak jarang, Aline menempel hasil kreasinya sendiri di dinding kamar. Kadang-kadang, ketika Aline sedang membutuhkan uang, ia akan menawarkan karya seninya itu pada Margin. Kemudian, Margin akan menghubungi teman-temannya dan membantu menjualkan lukisan-lukisan Aline kepada mereka.
Bagi Aline, menggambar merupakan sebuah aktivitas yang paling menyenangkan. Selain ia bisa mempelajari berbagai teknik gambar, menghilangkan kebosanan, ia juga bisa mendapatkan uang jajan dari hasil penjualan gambarnya. Ya, semacam simbiosis mutualisme, begitulah.
Aline tersenyum samar mengingat kenangan itu. Ia menarik napas panjang, lalu menundukkan kepalanya. Suara napas yang ia embuskan saat itu terdengar begitu ringan. Sedetik kemudian, tangannya mulai bergerak mengambil gagang pulpen—siap membuka lembaran kertas di hadapannya.
Untuk Aline,
Untuk hari-hari sekarang dan ke depannya. Tolong kenali dirimu! Jangan pernah ragu untuk menunjukkan bakatmu! Lakukanlah sesuatu yang baik bagi dirimu, dan jadilah inspirasi bagi orang lain tanpa berharap lebih.
Di bawah buku catatannya, Aline membubuhkan kalimat ini dengan tulisan bercetak tebal. Sebelumnya, Aline juga sudah mengisi tugas dari Dokter Gita dengan menuliskan semua objek dan kejadian yang diamatinya hari ini dalam sebuah daftar wajib—secara mendetail, pastinya.
Supaya tidak lupa lagi pada saat konseling, batin Aline.
Tak terasa sudah mau empat jam saja Aline duduk di depan monitor. Aline meletakkan buku catatan berwarna biru pirus itu di samping papan ketik. Ia merentangkan kedua tangannya, menguap sebentar, memperhatikan semua benda yang ia taruh di atas meja.
Entah mengapa, sewaktu Aline melihat sampul agendanya, ia jadi terbayang pada waktu itu. Hari di mana Aline melakukan perbincangan kecil bersama Margin. Aline pun mengingat-ingat kembali, bagaimana caranya ia bisa sampai di asrama ini.
Semua itu berawal dari sini....
Satu tahun yang lalu, di kediaman Margin, di Jakarta Selatan. Margin mengajak Aline untuk makan malam di sebuah kafe bernuansa elite. Di tengah makan malam mereka, Margin melayangkan sebuah pertanyaan serius.
"Kamu ingin melanjutkan pendidikanmu, bukan?"
Aline tidak berani menjawab pertanyaan itu. Ia terdiam seribu bahasa. Tak ada jawaban bagus yang bisa ia lontarkan. Tidak dengan alasan, maupun dorongan untuk mengutarakan semua kecemasannya di hadapan Margin.
"Jangan diam saja, Al. Aku ingin segera mendengar jawabanmu. Kalau aku mendaftarkanmu ke perguruan tinggi di kawasan Bintaro, kamu mau, tidak?" desak Margin.
Aline mengangkat wajah, memperhatikan Margin yang sedang menyuapkan potongan tenderloin steik terakhirnya.
Mulut Margin terlihat penuh, rahangnya bergerak dari atas ke bawah, terkadang lidah Margin keluar; menjilat ujung bibirnya sedikit, hanya untuk memastikan kalau tidak ada bumbu yang menempel di lipstik merahnya. Lalu, ketika Margin menenggak air minumnya, tenggorokan Margin ikut bergerak-gerak dan mengeluarkan bunyi "glup” sebanyak tiga kali—selayaknya adegan iklan minuman yang diperagakan oleh seorang model di televisi. Persis seperti itu.
Aline membanding-bandingkan hidangan di atas piringnya dengan piring milik Margin. Punya Margin terlihat bersih, hampir tidak ada sisa-sisa bumbu yang menempel di sana. Semua habis Margin lahap. Entah karena saat itu Margin sedang lapar atau memang makanan di sana terasa lezat baginya, yang jelas Margin terlihat menikmati semua hidangan itu.
"Bagaimana, Al? Mau, kan?" Margin bertanya sekali lagi.
Aline menggeleng, menjawab dengan ragu. "Tidak, Mar. Aku tidak mau."
"Mengapa?" Margin menatap Aline heran. Garis di keningnya ikut tertarik dan membentuk lipatan-lipatan yang terlihat samar.
"Aku takut, Mar. Bagaimana kalau orang-orang mencemooh aku lagi? Aku tidak ingin kembali seperti dulu."
"Ah!" Margin mengembuskan napas panjang.
"Kamu itu bagaimana, sih? Masih saja memikirkan peristiwa itu."
"Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Tiga tahun, loh, Mar. Lebih dari tiga tahun. Kau tahu sendiri, kan, betapa sulitnya aku melewati hari-hari itu."
"Ah, ayolah ... Tidak baik, loh, terus terkungkung dengan masa lalu."
Hening sesaat.
Aline mengembuskan napas panjang.
“Manusia hanya bisa berkata tanpa bisa merasa ke dalam lubuk hati seseorang,” kata Aline sembari meneguk minumannya.
“Kau tidak pernah tahu, bagaimana rasanya berada dalam situasi seperti aku? Jika kau mengalami hal yang sama dengan aku, apa kau masih bisa berkata begitu?” Aline merajuk.
Margin tertegun. "Ya, memang, sih, kedengarannya perkataan aku itu sangat tidak adil bagimu."
Aline tidak bereaksi. Margin menatap mimik muka Aline. Ada guratan kesedihan di sana. Margin tahu betul, sepupunya pasti sedang berpikir bahwa ia sudah tidak peduli lagi kepadanya.
Margin mengembuskan napas pendek. Ia lalu mengambil botol air mineral, mengisi gelasnya yang kosong, dan meminum segelas air itu hingga tak tersisa.
"Kamu pasti berpikir, mengapa aku mudah sekali mengatakan hal seperti ini padamu?"
"Ya, dan aku tahu alasanmu."
"Oh, ya?"
"Hm."
"Menurutmu apa alasannya?"
"Sangat jelas, bukan? Semua itu karena kau adalah orang yang sangat beruntung. Otakmu jenius. Kau memiliki IQ 162, sering jadi pembicara di berbagai acara penting, punya banyak teman, prestasimu juga gemilang—kau juga tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal—Tidak seperti aku, setiap waktu hanya diliputi oleh perasaan cemas. Kau bisa berkata-kata dengan mudah, karena hidupmu tidak pernah kesulitan. Benar, kan?”
Margin tersenyum kecil. "Kamu mengatakan sesuatu yang benar tentangku. Tetapi, semua yang kamu katakan itu bukanlah alasan dari perkataan aku.”
"Lantas apa?"
"Kamu penasaran, kan?"
"Katakan. Jangan bertele-tele!"
"Baiklah. Jujur saja ya, Al. Sebetulnya, tujuan aku mengatakan semua hal ini, karena aku ingin kamu bisa mempertimbangkan lagi tawaranku waktu itu. Aku ingin, kamu mulai memperhatikan dirimu yang sekarang."
"Kenapa aku harus melakukan itu?"
"Untuk kebaikanmu sendiri."
"Ha? Kebaikan apa maksudnya? Selama ini aku baik-baik saja. Aku sudah nyaman dengan kondisiku sekarang."
"Kamu bohong, Al. Jelas-jelas itu bukan jawaban yang keluar dari hatimu. Aku tahu seperti apa kamu itu. Kamu tidak bisa hidup seperti ini terus, Al.”
“Jangan sok tahu, Mar. Selama ini aku selalu baik-baik saja.”
“Kalau begitu, kenapa sampai sekarang kamu masih mengurung bakatmu?"
“Ha? Siapa yang suka mengurung bakat?"
Margin mendesah. "Anggap saja hari ini aku percaya pada ucapanmu.”
“Memang seharusnya begitu, kan?”
“Yah, mau bagaimana lagi, sedari dulu kamu memang suka membantah perkataan aku.”
"Aku tidak begitu!”
“Kamu memang seperti itu!”
“Tidak! Aku tidak pernah membantah perkataanmu.”
“Benarkah?”
“Iya.”
“Baik. Kalau memang kamu tidak pernah merasa begitu, bisakah kamu menjawab pertanyaan aku tanpa berpikir terlebih dulu?” tantang Margin.
“Siapa takut.”
“Oke. Mari kita mulai! Berapa kali dalam satu hari kamu memikirkan keinginan pribadimu?"
"Ya?"
"Berapa kali?"
"Tentu saja, sering. Selama ini aku selalu memikirkan cara untuk menghindari bayangan dari masa laluku. Bahkan—kalau saja bisa, aku berharap agar aku segera melupakannya."
"Tuh, kan, kamu sama sekali tidak pernah memikirkan kepentingan dirimu yang sebenarnya."
"Jadi menurutmu, semua yang aku pikirkan selama ini tidaklah penting?"
Margin menggeleng. "Kamu tidak paham, ya? Maksud aku itu tentang memikirkan masa depan, Al. Pernah tidak sih, kamu berpikir tentang ingin menjadi apa kau di masa depan, atau pernah tidak kamu memikirkan sebuah cara untuk mendapatkan kebahagiaanmu sendiri?"
Aline terdiam. Tidak ingin juga ia membahas hal yang dapat membuatnya terbayang pada masa lalu.
“Kalau kamu diam begini, itu artinya kau tidak pernah, bukan?”
Aline mengernyit.
Mengapa sih Margin harus bertanya seperti ini? Memangnya Margin tidak tahu bagaimana aku hidup selama ini? Mengapa aku harus memikirkan kebahagiaan aku, di saat orang lain terus-menerus menyindir kebodohanku? Bagaimana aku akan bahagia, jika setiap kali bertemu orang-orang di tempat umum, ingatanku tentang masa lalu terus membuatku merasa sesak dan menderita? Kalau memang aku harus bahagia, seharusnya ia memberitahu aku, bagaimana caranya agar aku bisa bahagia? Selama ini Margin tidak pernah tuh membicarakan tentang kebahagiaan aku. Kenapa tiba-tiba Margin jadi seperti ini? Bahagia? Bahagia macam apa yang ia bicarakan sekarang? Omong kosong!
"Aku tidak bisa memikirkan hal seperti itu." ungkap Aline.
"Kenapa?”
“Aku tidak bisa dan aku tidak pantas memikirkannya.”
“Siapa bilang? Kamu bisa jika kamu mau. Kamu itu berhak memiliki masa depan yang cerah—juga berhak mendapatkan kebahagiaan.”
"Oh ya, bagaimana caranya?" ketus Aline.
"Kamu harus punya tekad. Ikhlas masa lalumu, dan jangan pernah lagi memikirkannya." jelas Margin dengan nada tak kalah tinggi.
Aline memiringkan senyumannya. "Bicara itu memang enteng, Mar. Tapi pelaksanaannya? Kau seperti tidak tahu saja, bagaimana cemasnya aku menghadapi orang-orang di luar sana?"
"Aku tahu. Aku paham, betapa menderitanya kamu ketika berhadapan dengan orang-orang asing. Tapi, kamu juga harus segera keluar dari zona nyamanmu. Masa lalu itu tidak perlu lagi kamu takuti, Al. Toh, tidak semua orang-orang di dunia itu sama. Tidak baik juga kan, kalau kamu terlalu lama memeluk kenangan burukmu?"
"Ya, dan akan lebih baik jika aku terus menghindar. Sudahlah. Kau jangan membahas masalah ini. Jangan mengkhawatirkan aku juga. Aku akan berpura-pura tidak tahu dan tidak mengingat semuanya."
"Tidak! Tidak! Mulai sekarang, kamu tidak boleh melarikan diri. Kamu harus mencoba untuk menghadapi semua kenangan itu. Jangan mau kalah sama bayangan di pikiranmu dong, Al. Kamu harus berusaha bangkit."
"Itu sulit, Mar."
"Ya, memang. Semua itu akan sulit di awal, apa lagi jika kau tidak mau berusaha menghadapinya."
"Tapi ..."
"Tidak ada tapi, Al. Kamu harus percaya padaku! Kamu mau berubah, bukan?"
"Aku tidak yakin."
"Harus yakin dong!"
Margin meraih tangan Aline di atas meja. "Dengarkan hati kecilmu, jangan mau dikalahkan ego!"
Aline menatap bola mata Margin yang bersinar. Cara Margin bicara begitu yakin. Meskipun itu hanya kalimat sederhana, tapi langsung menjurus ke ulu hatinya.
“Kata-katamu mirip sekali dengan Dokter Gita."
"Tidak masalah. Aku tidak keberatan, kamu mau menyamakan aku dengan siapa pun—yang terpenting aku bisa membuatmu mengambil sebuah keputusan."
"Dasar keras kepala!"
"Yang keras kepala itu kamu! Aku selalu optimis."
"Jangan terlalu yakin. Belum tentu aku mau melakukannya."
"Kenapa tidak?"
Sepersekian detik, Aline menyilangkan jari-jarinya dengan gelisah. Margin memandang lekat wajah Aline yang tertunduk dalam.
“Kenapa tidak dijawab, Al? Kenapa kamu tidak mau melakukannya?”
Sejenak Aline mengangkat wajahnya. "Aku tidak ingin kau kecewa karena kelakuanku."
Bibir Aline bergetar, sudut matanya terangkat menatap Margin. Aline tahu, Margin pasti akan kesal dengan alasannya. Akan tetapi, tanpa terduga, Margin malah balas menatapnya sembari memamerkan kedua lesung pipinya.
"Aku justru akan merasa bangga jika kamu mau berusaha mengalahkan dirimu."
"Tapi ... aku tidak yakin bisa. Kau tahu kan, masa lalu dan delusiku—”
"Yah, ya ... Terus saja masa lalu! Mau sampai kapan sih, kamu bergantung pada masa lalu itu?”
Dan, akhirnya Margin marah juga.
Aline mengembuskan napasnya. "Aku tidak tahu, Mar. Mungkin selamanya aku akan terus terjebak dalam masa laluku."
Margin menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Kamu tahu? Masa depanmu tergantung pada pendirian yang kamu miliki, Al. Jelas, waktumu sekarang ini jauh lebih berharga daripada kenangan yang kamu miliki di masa lalu. Yah, ibaratkan saja sekarang ini kamu sedang menggenggam sebuah tanah liat di tanganmu; jika kamu mau menyentuh tanah itu, maka tanah itu akan berubah menjadi sesuatu—tapi jika kamu hanya melihat saja tanpa ada keinginan untuk mengubahnya, sampai kapan pun tanah itu tidak akan pernah berguna untuk dirimu."
Aline terdiam beberapa saat.
Lima detik kemudian Aline bertanya. "Bagaimana jika tanah liat itu tergelincir dari genggamanku?"
Margin menyeringai. "Aku pikir kamu sudah tahu jawabannya.”
Aline menatapnya dengan serius.
"Andai kata tanah itu tergelincir, kamu tinggal mengambilnya lagi, bukan? Tidak ada alasan untuk membuangnya. Tanah liat itu masih bisa dibersihkan dan dibentuk ulang. Mau bagaimanapun kejadiannya, selalu ada peluang untuk menemukan jalan,” terang Margin.
Margin menghela napas sejenak. “... aku jadi teringat perkataan Dosen di Fakultas aku dulu. Ia bilang, kegagalan itu seperti benih yang akan tumbuh jika terus disiram. Kamu tahu apa itu artinya? Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang harus kamu hindari, melainkan harus kamu tanam dan kamu urus dengan lebih bijaksana. Kegagalan yang kamu urus akan memberikan buah yang tak terhingga nilainya." kata Margin sembari mengenang masa-masa kuliahnya.
"Oke, aku mengerti. Katakanlah aku sudah melakukan semua itu tetapi kemudian aku terjatuh hingga aku tidak bisa bangkit lagi. Bukankah itu tandanya jika aku harus menyerah pada mimpiku?"
Margin menggeleng. "Salah. Justru malah sebaliknya, kalau kamu sudah mencoba tapi ternyata masih gagal juga, berarti kamu harus lebih memotivasi dirimu untuk terus meningkatkan potensi yang ada dalam dirimu”
“Andai aku terjatuh lagi?”
Margin berdeham. “Kalau pun nantinya kamu terjatuh berkali-kali, kamu seharusnya tidak perlu takut. Jika kamu jatuh, masih ada tanganku yang selalu siap mengulurkan bantuan untukmu. Kamu mengerti? No excuses!”
Hati Aline tersentuh mendengar semua hal itu. Margin memang terkenal ambisius, tetapi Aline tidak pernah menyangka kalau ia akan memperoleh pembelajaran sepadat itu dari sepupunya. Tak heran jika Margin selalu diminta untuk mengisi acara seminar dan menjadi pembicara di TV.
"Terima kasih. Tapi sepertinya, aku tidak akan bisa mewujudkan keinginanmu itu, Mar. Kau tahu, kan? Aku ini cuma gadis bodoh yang tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar."
"Kalau kamu merasa bodoh, semestinya kamu jangan menyerah untuk mengejar ketertinggalanmu, dong!"
"Aku tidak bisa, soalnya kan aku itu ..."
"Sudahlah. Jangan terlalu banyak alasan. Kamu itu sudah bukan anak SD lagi." potong Margin dengan nada sinis.
Aline menunduk dalam-dalam. Mendadak ia merasa dongkol.
Seharusnya aku yang marah. Aku kesal karena Margin terus-terusan menekan aku dengan perkataannya itu. Kenapa malah jadi Margin yang seperti ini? Margin kan tidak berhak menyuruh aku untuk melakukan ini dan itu. Akulah yang memiliki kuasa untuk memilih jalan hidupku. Bukan Margin!
"Hei, Aline! Kamu masih menyimak semua perkataan aku, bukan?"
Aline mengangguk. Ia masih diam dengan kepala yang menunduk dalam, sibuk memperhatikan lantai kafe yang mulai terasa dingin di bagian telapak kakinya. Sepertinya, temperatur AC di ruang VIP itu sudah sedikit dinaikkan oleh pelayan—yang tadi baru saja keluar setelah membawa makanan pencuci mulut untuk mereka.
Duh, dingin.
Aline merasa sebentar lagi kakinya pasti akan membeku.
"Maaf ya, Al. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan sesuatu yang membuatmu sedih. Aku hanya mencoba untuk membuatmu kembali optimis seperti dulu."
"Tidak usah dipikirkan."
Margin memperhatikan wajah Aline.
"Aku minta maaf.”
“Iya.” sahut Aline datar.
Margin sangat senang karena Aline tidak marah padanya. Mendadak Margin jadi bersemangat lagi membahas masa lalu Aline.
“Kamu ingat, tidak? Sewaktu kamu masih SD, di depan guru-guru dan orang tua kita, kamu dengan bangga menyerukan bahwa kelak kau pasti akan menjadi orang terkenal. Aku sebenarnya sempat kaget loh, melihat semangatmu yang berapi-api itu.”
“Hm, aku tidak ingat soal itu.”
“Bohong sekali. Kalau tidak ingat, mana mungkin kamu masih menyimpan foto-foto itu?”
“Kau yang menimbunnya di kamar, bukan aku!” protes Aline.
Margin tertawa lalu meminta maaf lagi. “Ya, aku memang melakukannya. Aku melakukannya, karena aku berharap kamu dapat mewujudkan impian itu sekarang.”
“Ha! Kau tidak salah?”
“Apanya yang salah dengan berharap?”
Dahi Aline berkerut. Hatinya mencerocos mengesalkan sesuatu.
Duh, Margin, Margin... Kau itu yang benar saja? Kau percaya pada perkataan aku di masa kita masih duduk di bangku SD? Bukankah kau itu seorang genius, Mar? Kau pasti paham kan, apa yang aku ucapkan dahulu itu tidak benar-benar serius. Itu semua hanyalah celotehan iseng aku saja. Memang kau pikir, saat itu aku sudah mengerti, apa yang dinamakan dengan cita-cita? Aku kan mengatakan itu, karena aku tidak mau membuat orang tuamu malu. Merekalah yang menyuruh aku. Aku hanya mengatakan semua itu demi menjaga nama baik keluargamu. Lagi pula, apa kau lupa, ya? Kau sendiri juga sudah melupakan dan mengubah impian dari masa kecilmu, kan?
Aline terus berkeluh kesah di dalam hati.
Margin yang melihat perubahan dari wajah Aline merasa tidak enak.
"Maaf, Al. Jujur, aku terus berbicara begitu, karena aku tidak ingin melihat kamu terjebak dalam masa lalu. Aku ingin melihatmu berkembang, Al. Aku sangat menyayangimu. Karena itu, aku mohon sekali saja, tolong pikirkan lagi tentang masa depanmu.”
Omongan Margin kala itu membuat Aline berpikir keras. Bagaimana Aline bisa melakukan semua yang dikatakan Margin kepadanya? Sementara, perkataan teman-teman SMA Aline di masa lampau, masih sering terngiang di telinganya. Saat itu juga, di ruangan yang sama, Aline jadi teringat pada perkataan teman-teman di sekolahnya.
"Lihat deh, si Aline bodoh itu! Masa dia dapat nilai seni rupa lebih besar dari kita? Padahal kapasitas otaknya kan sempit, bisa-bisanya dapat pujian dari Pak Guntur."
"Benar banget. Kok, bisa-bisanya ya, si Aline berani datang ke sini lagi? Kalau dipikir-pikir, tuh anak sudah kayak siswi abadi saja.”
“Nilai rapor di bawah KKM saja dia masih berani ke sekolah? Nggak tahu malu banget.”
“Mana mungkin dia malu, dia kan tidak punya ayah dan ibu. Pantaslah hidupnya bodoh begitu, tidak ada yang peduli padanya.”
“Menang gaya sama wajah doang, tuh anak otaknya mah enggak ada isinya.”
Semua orang di ruang kelas itu turut membicarakan dan menertawakan Aline. Bagi mereka, mengolok-olok orang yang memiliki kelemahan adalah sebuah lelucon yang hebat. Mereka tak pernah berpikir bagaimana perasaan orang yang mereka ejek. Seolah tak berdosa, kehilangan rasa, mereka berlaku seenaknya.
Sementara, di sisi lain, Aline merasakan kupingnya panas mendengar semua perkataan pedas itu. Namun, Aline selalu menahan emosinya. Ia bertingkah seakan-akan ia adalah makhluk luar angkasa idiot, yang tak pernah mengerti bahasa manusia. Setiap kali mereka membicarakannya, Aline selalu tertawa di hadapan mereka. Ia sama sekali tidak pernah menunjukkan ekspresi marah maupun sedih. Tetapi suatu waktu, di semester akhir, jenjang sekolah menengah atas ....
"Hei, Aline! Lo nggak malu ya, Lin? Bedak kamu merek apa, sih? Tebal banget perasaan. Kok, bisa sih, kamu masih berkeliaran di sekolah ini? Usia kamu kan sudah kepala dua, masa kamu masih mau sekolah di sini? Seharusnya kamu keluar dari sekolah ini. Malu-maluin nama baik sekolah saja. Udah pergi sana! Kamu tuh harusnya nikah terus duduk-duduk manis di rumah kamu yang gede itu, atau kalau nggak ada yang mau sama kamu, kamu kerja saja sana. Banyak kan orang-orang seumuran kamu yang udah kerja. Ups, salah... Usia kamu ini kan memang sudah waktunya buat masuk dunia kerja—Bukan malah duduk manis di bangku SMA seperti kita-kita. Menolak tua ya, kamu? Sadar diri dong, Lin!"
Dan, tiba-tiba...
Byur! Secepat kuda berlari, seragam Aline pun basah oleh cairan alpukat yang telah dicampur dengan air beraroma tak sedap.
Bullying. Body shamming.
Ia baru pertama kali mendapatkan perlakuan seburuk itu dari teman sekelasnya. Aline merasa sakit hati. Selama ini, ia selalu diam karena mereka hanya menyakitinya dari omongan biasa, tetapi ketika sudah memakai kekerasan seperti ini, apa harus mereka dibiarkan begitu saja? Rasanya tidak adil. Calon penerus bangsa berkelakuan seperti orang tanpa didikan. Sungguh miris!
Beragam olok-olokkan pun rutin Aline dapatkan sewaktu ia berada di SMA yang sama. SMA Damar Rembulan, sekolah swasta yang menjadi pilihan terakhir dari Margin, ketika Aline berada di puncak semester akhir.
Benar juga. Pada saat itu, Aline sering berpindah-pindah sekolah karena masalah yang sama. Ia juga pernah menjadi seorang siswi yang dicap sebagai murid tak tahu malu. Datang seenaknya ke sekolah, duduk di kelas tanpa pernah memperhatikan pelajaran, mengerjakan soal-soal ujian pun selalu asal-asalan.
Aline juga ingat, dulu, setiap kali ulangan semester, ia sering kedapatan oleh guru pengawas ketika tengah asyik menyalahgunakan fungsi penghapusnya sebagai tutor untuk mengisi soal-soal pilihan ganda. Akibatnya, Margin jadi bulan-bulanan guru, Margin dipanggil ke sekolah dan diberikan teguran keras untuk lebih memperhatikan Aline.
Ya, selama itu, Aline merasa bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar. Makanya, hari itu, Aline pun sempat memiliki keraguan. Kala Margin menawarkan Aline untuk melanjutkan kuliah di Universitas sesuai kehendak hatinya. Alih-alih senang, Aline justru merasa minder.
Aline mengingat umurnya yang sudah berkepala dua, bahkan hampir mendekati kepala tiga. Tentu saja, ini bukanlah perkara yang mudah. Aline memiliki banyak kebimbangan di sini. Banyak kecemasan-kecemasan yang Aline rasakan, terlebih lagi ketika ia dituntut untuk menjawab perkara masa depannya pada saat itu.
Jujur, jangankan untuk memilih jurusan kuliah, Aline sendiri sering merasa, kalau ia ragu dengan kemampuan yang dimilikinya. Ia hampir tidak tahu arah; bagaimana dan ke mana ia akan melanjutkan langkahnya. Kalau menurut istilah keren dari anak Fakultas Psikologi, sih, Quarter Life Crisis. Konon katanya, gejala seperti ini memang sering dialami oleh sebagian masyarakat di usia delapan belas sampai tiga puluh tahunan.
Demikianlah segala sesuatu yang pernah Aline rasakan di kehidupan silam. Asam, manis, pahit, semua berkumpul menjadi satu. Menumpuk dalam pikirannya, kemudian mulai menggerogoti sel-sel inti di kepalanya, lantas terbentuklah virus-virus gelap yang membangunkan delusi dan perubahan suasana hati Aline—Dan akhirnya menyebabkan gadis itu mengalami gangguan Skizoafektif.
Semua itu terjadi karena Aline tidak pernah bisa mengutarakan semua peristiwa yang menimpanya, kepada Margin maupun orang lain. Orang lain siapa coba? Teman saja Aline tidak punya. Tidak ada yang bisa Aline andalkan ketika itu. Pokoknya, hal yang bisa Aline lakukan pada saat itu, hanyalah merenungkan diri dan mencoba untuk berinteraksi dengan hati kecilnya. Mencari penyembuhan sendiri.
Beruntung, tak lama setelah Aline mendapat perawatan dari Dokter Gita, penyakit Aline berangsur-angsur pulih.
Aline menemukan sebuah artikel yang sedikit lebih dapat membangunkan semangatnya kembali. Usai membaca artikel itu, Aline jadi yakin, bahwa segala sesuatu yang ingin ia capai, dapat ia lakukan mulai dari nol.
Tidak ada kata terlambat untuk mempelajari sesuatu.
Kalimat yang bercetak tebal di atas judul artikel itu bagaikan mantra penguat Aline—setiap kali hatinya sedang diliputi oleh perasaan gelisah.
Semenjak hari itu, Aline terus berusaha keras untuk bangkit dan membuang kecemasannya—juga semua hal yang bersangkutan dengan masa lalu yang sampai sekarang masih terus terbawa dalam kehidupan Aline.
Sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti, semakin banyak Aline membaca dan menemukan konten-konten positif dari internet, ia pun menjadi lebih terinspirasi dan bersemangat untuk melakukan suatu perubahan.
Satu bulan pun berlalu—dari pembicaraannya dengan Margin pada malam itu. Pagi-pagi sekali, Aline mencari Margin ke butik.
Masih dengan pakaian tidurnya, Aline berseru, mengatakan pada Margin, kalau ia tertarik untuk meneruskan pendidikannya di bidang desain. Mendengar hal itu Margin yang pada saat itu sedang menikmati roti panggangnya langsung tersedak dan terheran-heran.
Dalam hati, Margin bertanya-tanya. Dapat mimpi apa Aline semalam?
"Kamu serius, kan?" tanya Margin setengah tak percaya. Ia menganggap bahwa Aline masih mengigau.
"Seratus persen, Mar. Aku sudah memikirkan ini masak-masak. Aku ingin menjadi seorang perancang busana."
"Oh, akhirnya," Margin merangkul pundak Aline.
"Syukurlah. Sedari awal, aku juga sudah yakin, kamu pasti akan menyadari bakatmu. Walau kamu tidak menemuiku sekarang, aku begitu yakin, lusa kamu pasti akan datang padaku dan mengatakan bahwa kamu ingin menjadi seorang desainer."
"Kau terlalu berlebihan, Mar. Bagaimana kau bisa tahu aku akan mengatakan hal ini?”
“Insting, Al.”
“Masa? Ah, aku jadi curiga, jangan-jangan kau bisa membaca pikiranku, ya?"
Margin tergelak. "Tidaklah, sayang. Aku kan bukan cenayang. Tenang saja, aku tidak pernah membaca pikiranmu."
Garis bibir Aline sedikit bergeser ke samping, menampakkan seringai dingin yang diikuti candaan Margin.
"Sudahlah, kamu ingin kuliah, bukan? Ayo kita bersiap-siap!"
Nampaknya hari itu Margin benar-benar bahagia mendengar keputusan Aline. Setelah Aline mengutarakan keinginannya untuk mengambil program Fashion Design di Universitas Trapunto Djakarta, wajah Margin bersinar cerah. Ia lalu mengantar Aline pergi.
Namun, Margin tidak lantas menemani Aline untuk mendaftar di rektorat kampus. Melainkan, Margin mengajak Aline untuk bertemu dengan Dokter Gita di asramanya. Kata Margin, sebelum Aline memasuki dunia kampus, Aline harus belajar banyak terlebih dahulu, menguasai semua kecemasan dan ketakutannya, dan harus tetap menjalani konseling bersama Dokter Gita di asrama itu.
Awalnya, Aline merasa kecewa begitu harapannya dipatahkan. Aline pikir, Margin akan sungguh-sungguh mendukungnya. Namun ternyata, sikap Margin kepadanya masih seperti dulu. Aline jadi merasa, kalau ia selalu diperlakukan seperti gadis gila yang membutuhkan pengawasan dokter selama berjam-jam. Walaupun memang, setiap kali Aline tidak bisa mengendalikan bayangan dari masa lalu yang mendadak muncul di saat Aline sedang berada di tengah publik, tapi Aline merasa ia tidak pernah merugikan atau bahkan melukai orang lain karena kondisinya. Ia tidak gila—hanya memiliki sedikit rasa trauma.
Aline tidak mengerti, mengapa Margin begitu ngotot menyuruhnya untuk tinggal di asrama tua itu. Padahal kampusnya berada di kawasan Jakarta Selatan. Dekat dengan rumah dan tempat kerja Margin. Namun sekarang, setelah mengetahui alasan Margin yang sebenarnya, Aline sudah tidak ingin lagi melayangkan protes kepada sepupunya itu.
Kembali lagi ke masa sekarang.
Tadi, Aline telah membaca beberapa artikel, dan mengetahui masa lalu dari Dokter Gita, yang ternyata pernah berprofesi sebagai seorang perancang busana. Aline akhirnya mengerti, mengapa Margin mengirimnya ke sini. Kini, alih-alih merasa dongkol kepada Margin, Aline merasa bersyukur karena ia sudah berada di tempat yang tepat.
Terlebih lagi, setelah Aline mengetahui kalau Dokter Gita merupakan alumni terbaik dari kampus yang sudah lama diidolakan oleh Aline. Tentu saja, hal ini membuat Aline semakin bersemangat untuk memperdalam ilmunya.
Di benak Aline sudah muncul berbagai macam pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada Dokter Gita. Kebetulan, besok sore adalah jadwal konselingnya. Aline sudah tidak sabar. Baru kali ini, ia ingin segera melompat ke hari Senin. Laksana jentayu menantikan hujan, Aline benar-benar rindu pada Dokter Gita. Bila sudah bertemu, Aline akan mengajaknya berbincang-bincang. Aline sudah membayangkan akan seperti apa reaksi Dokter Gita, ketika ia tahu bahwa Aline telah membaca semua artikel tentangnya.
Ah, jadi tidak sabar.
Aline menutup buku catatannya. Kalau biasanya sih, Aline ogah-ogahan dan memilih untuk mengabaikan jadwal pertemuan itu dengan berbagai alasan. Tapi sekarang ini, Aline menginginkan hal yang sebaliknya. Ia ingin sekali mengorek lebih banyak informasi dari Dokter Gita. Aline ingin mengetahui, seperti apa cerita masa lalu Dokter Gita, hingga mempertanyakan alasan Dokter Gita memutuskan untuk mengganti gelar Master of Design miliknya dengan Dokter Spesialis Kejiwaan.
Sepanjang hari, Aline terus memikirkan banyak hal. Ia masih berselancar di internet, berusaha mendapatkan berbagai informasi seputar dunia fashion dan prospek kerja yang sudah berhasil dibuktikan oleh para alumni kampus.
Aline sibuk membanding-bandingkan rancangan baju miliknya dengan portofolio milik orang lain. Beberapa menit kemudian, di saat Aline akan menutup halaman web itu, tak sengaja mata Aline tertuju pada kolom paling bawah. Di sana tertulis kata "Tour Virtual", dengan huruf-huruf kapital yang digambar menggunakan teknik pointilisme.
Ternyata, setelah dibuka, kolom itu merupakan kolom kejutan bagi pengunjung web. Di sana juga tercantum petunjuk untuk memasuki ruang virtual kampus. Karena rasa ingin tahunya cukup besar dibandingkan ketakutan yang selama ini hinggap dalam pikiran Aline, Aline pun lantas menekan tombol mouse di bagian kiri dari tangan kanannya.
Ada sebuah logo merah berbentuk pita, kalau diperhatikan logo itu bukan sembarang logo. Itu adalah sebuah huruf kapital yang tersusun dengan abjad lainnya. Ketika Aline memperkecil layar tersebut, pita yang tadinya terlihat membentuk huruf T itu lalu menampilkan sebuah gerbang dengan tulisan Trapunto Djakarta.
Berdasarkan pengamatannya, Aline dibawa masuk ke dunia simulasi di dalam website tersebut. Aline seperti sedang melakukan perjalanan menyenangkan dengan mengenal ruangan-ruangan di kampusnya. Dari mulai masuk ke gerbang kampus, perpustakaan, kantin, lapangan olahraga, ruang kelas menjahit, dan ruang-ruang kelas lainnya. Sungguh pengalaman menyenangkan menurut Aline.
"Teknologi sekarang pesat sekali. Hebat. Aku benar-benar seperti menjelajah lingkungan kampus secara langsung." Aline berseru riang. Sesekali Aline menyesap minuman cokelatnya yang sudah terlalu dingin. Ia membuka halaman tengah catatannya, menggambar sebuah coretan tak beraturan, yang kemudian ia sebut sebagai Trapunto Maps. Tapi sepertinya hanya Aline saja yang dapat membaca peta buatannya tersebut.
"Sekarang sudah selesai. Aku akan menyimpan ini untuk besok." Aline beranjak dari kursi belajar, melangkah menuju tempat tidurnya.
Di saat semua orang tengah sibuk beraktivitas di luar, Aline memilih untuk menyegarkan dirinya di kamar. Membaca majalah fashion, menonton acara Met Gala dan melakukan hobinya.
Sebentar lagi akan senja. Aline menggelar karpet yoga di balkon, ia memasang musik klasik dan menutup kupingnya dengan earphone—lanjut bermeditasi. Sebetulnya, ini adalah cara yang disarankan Dokter Gita agar Aline dapat lebih rileks dan terhindar dari gangguan delusinya.
Di jam makan malam, biasanya sih, Aline selalu ikut makan di kantin. Tetapi karena hari ini ia sedang bosan, Aline hanya meminta beberapa potong roti dan membawanya ke kamar.
Begitulah, selama satu tahun Aline berada di asrama ini, ia selalu melakukan berbagai hal baru, yang terkadang terasa membosankan.
Tetapi, di balik semua itu, ada banyak keuntungan besar yang didapatkan Aline selama ia tinggal di asrama ini; Aline jadi dapat berbaur dengan orang lain, mempelajari karakter, dan terlibat dalam organisasi kebersihan. Dan—keuntungan besarnya, ia lebih dekat dengan Dokter Gita, seorang perancang busana yang juga lulusan Universitas Trapunto Djakarta.
Aline sudah mulai terbiasa menguasai pikirannya. Tidak seperti dulu; emosional dan kadang bertingkah aneh. Aline yang sekarang sudah berbeda. Ia dapat berbincang dengan orang di luar ruangannya tanpa merasa takut—Juga berkat rutin melakukan konseling, dan mendapat dukungan khusus dari Margin, kini, Aline benar-benar merasa siap menghadapi kehidupan di kampus esok hari.