Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pengkhianat
Setelah percakapan yang mendalam di kafe, Diana dan Adrian semakin merasa terjebak dalam permainan yang tak terlihat ini. Mereka telah menggali lebih dalam, namun bahaya semakin mendekat, dan mereka tahu mereka harus bertindak cepat.
Diana tidak bisa tidur semalam suntuk. Pikirannya terus berputar, mencoba merangkai semua informasi yang baru saja mereka peroleh. Max, siswa baru yang tampaknya bekerja dengan kelompok yang mengancam mereka, benar-benar menjadi ancaman yang lebih besar dari yang mereka duga. Jika dia berhasil membuat mereka semakin terperangkap, mereka akan kehilangan segala kesempatan untuk keluar dari situasi ini.
Di sekolah keesokan harinya, Diana merasa ada sesuatu yang aneh. Suasana di sekitar kelas terasa lebih mencekam. Beberapa siswa tampak lebih waspada dari biasanya, dan ada banyak tatapan yang tak bisa dijelaskan. Diana tahu bahwa mereka mulai menjadi target, dan ketegangan ini hanya membuatnya semakin cemas.
"Sesuatu tidak beres," kata Adrian, yang duduk di sampingnya di kelas. "Aku merasa mereka sudah mulai mengetahui kalau kita tahu lebih banyak tentang mereka."
Diana mengangguk, matanya menatap lurus ke depan, mencoba untuk tetap fokus. "Kita tidak bisa terjebak dalam permainan mereka. Aku merasa mereka sedang mengawasi kita lebih dekat sekarang."
Sebagai langkah selanjutnya, mereka sepakat untuk bertemu dengan Nanda lagi. Diana merasa bahwa Nanda mungkin sudah mulai mengumpulkan lebih banyak informasi yang bisa membantu mereka. Mereka tahu, semakin banyak yang mereka ketahui, semakin besar kemungkinan mereka untuk melawan kelompok itu.
Mereka bertemu dengan Nanda di tempat yang aman, jauh dari jangkauan siapa pun yang mungkin mengintai mereka. Di sana, Nanda memberitahukan sebuah informasi yang mengguncang hati mereka.
"Jadi, aku menemukan sesuatu yang sangat penting," kata Nanda dengan suara pelan, wajahnya tampak cemas. "Aku mendapat informasi dari salah satu sumberku, ada sebuah rencana besar yang sedang mereka persiapkan. Rencana itu melibatkan beberapa orang penting dari luar kota. Mereka ingin menggunakan sekolah ini sebagai tempat untuk memulai sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bisa membuat mereka tak terkalahkan."
Diana menatap Nanda, perasaan cemas melanda hatinya. "Apa yang mereka rencanakan? Apa yang bisa kita lakukan?"
Nanda menghela napas panjang. "Aku tidak tahu detailnya, tapi yang jelas mereka akan membuat langkah besar dalam waktu dekat. Kita harus menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat."
Adrian yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama berkata, "Bagaimana kita bisa menghentikan mereka? Apa kita bisa melaporkan semuanya ke polisi?"
Nanda tampak ragu. "Polisi... mereka tidak akan bisa menangani ini. Kelompok ini sangat besar, dan mereka punya banyak cara untuk mengelabui pihak berwajib. Bahkan kalau kita melaporkan mereka, bisa jadi itu malah membahayakan kita."
Diana menundukkan kepala, berpikir keras. "Jadi, apa kita harus berhenti mencari tahu? Aku nggak bisa begitu saja membiarkan mereka menang. Ada banyak orang yang akan jadi korban kalau kita tidak bertindak sekarang."
Nanda tampaknya semakin tertekan. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Tapi yang pasti, mereka sudah tahu bahwa kita mulai mencurigai mereka. Mereka akan semakin berbahaya."
Diana merasakan ketegangan semakin memuncak, dan perasaan takut mulai merasuki dirinya. Namun, dia tahu satu hal pasti—dia tidak bisa menyerah. Mereka harus mencari cara untuk melawan, tidak peduli seberapa sulitnya.
Setelah beberapa hari penuh kecemasan, mereka akhirnya mengetahui bahwa kelompok itu berencana untuk melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Rencana tersebut melibatkan penyusupan besar-besaran ke dalam sistem sekolah dan memanfaatkan para siswa yang tidak sadar untuk tujuan jahat mereka. Diana merasa dunia seakan runtuh di sekitarnya. Mereka harus bertindak, dan mereka harus melakukannya dengan cepat.
Malam itu, Diana dan Adrian memutuskan untuk menyusup ke ruang data sekolah. Mereka tahu itu berisiko tinggi, tetapi tidak ada pilihan lain. Mereka harus menemukan bukti yang cukup untuk mengungkapkan semua rencana kelompok itu.
Dengan hati-hati, mereka memasuki sekolah melalui pintu belakang yang jarang digunakan. Setiap langkah mereka terdengar seperti gemerincing logam yang menyayat kesunyian malam. Mereka tahu jika mereka tertangkap, akan ada konsekuensi yang tak terbayangkan. Tapi mereka tak bisa mundur.
Di ruang data, mereka mulai mencari dokumen yang dapat memberikan petunjuk. Tiba-tiba, Diana menemukan sesuatu yang sangat mencurigakan—sebuah file digital yang terkunci dengan kata sandi yang rumit. Mereka membutuhkan waktu lebih lama dari yang mereka harapkan untuk membuka file tersebut. Sementara itu, Adrian berdiri berjaga, memastikan tidak ada orang yang datang.
"Ini dia," kata Diana, hampir terengah-engah. "Aku berhasil membuka file-nya."
Adrian mendekat, mencoba membaca layar komputer dengan cepat. "Apa itu?"
Diana menggulirkan halaman demi halaman file yang ditemukan. Ada banyak informasi yang tersembunyi di dalamnya—rencana besar yang melibatkan tidak hanya sekolah mereka, tetapi juga beberapa sekolah lain di kota ini. Tujuannya jelas—mereka berencana untuk mengontrol sebagian besar remaja di kota dengan cara yang tak terlihat, memanfaatkan ketidaktahuan mereka untuk tujuan yang jauh lebih gelap.
"Apa yang harus kita lakukan dengan ini?" tanya Adrian, matanya tampak gelisah.
Diana menatapnya dengan penuh tekad. "Kita bawa ini ke polisi. Kita nggak bisa biarkan mereka melanjutkan rencana ini. Ini kesempatan kita untuk menghentikan semuanya."
Namun, sebelum mereka bisa keluar dari ruang data, suara langkah kaki terdengar mendekat. Diana dan Adrian saling berpandangan, terkejut. "Ada orang datang," bisik Diana.
Tanpa berpikir panjang, mereka segera menyembunyikan diri di balik lemari arsip. Mereka berusaha menahan napas, berharap agar langkah kaki itu tidak mendekat ke arah mereka. Namun, suara langkah semakin jelas, dan mereka tahu, kali ini, mereka mungkin tidak akan berhasil lolos dengan mudah.
Suara langkah kaki itu semakin dekat, dan Diana bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Mereka bersembunyi di balik lemari arsip, menahan napas. Dalam kegelapan ruang data yang sempit, suara napas mereka terdengar lebih keras daripada yang mereka inginkan. Adrian menatapnya dengan ekspresi cemas, sementara Diana berusaha untuk tetap tenang.
"Ssst," bisik Diana, mencoba memberi isyarat pada Adrian agar tetap diam. Jika mereka tertangkap sekarang, semuanya akan berakhir. Mereka harus tetap tenang dan menunggu hingga orang itu pergi.
Langkah kaki itu berhenti tepat di luar lemari arsip tempat mereka bersembunyi. Mereka bisa mendengar suara tangan yang mencoba memutar pegangan pintu ruang data. Diana merasa tubuhnya kaku. Jika pintu itu terbuka, mereka akan terjebak tanpa bisa melarikan diri.
Beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam berlalu, dan akhirnya langkah kaki itu mulai menjauh. Diana dan Adrian saling pandang dengan lega, namun ketegangan belum sepenuhnya hilang. Mereka tidak bisa berlama-lama di sini. Mereka harus keluar sebelum orang itu kembali.
Setelah memastikan suara langkah kaki itu hilang, mereka perlahan-lahan keluar dari tempat persembunyian mereka. Diana menatap layar komputer, memastikan bahwa file yang mereka temukan tetap aman. "Kita harus segera keluar dari sini," kata Diana, suara seraknya menggambarkan betapa tegangnya situasi ini.
Namun, saat mereka berbalik untuk pergi, mereka dikejutkan oleh sebuah suara yang datang dari belakang.
"Apakah kalian mencari sesuatu?"
Diana dan Adrian terdiam sejenak, sebelum perlahan-lahan mereka berbalik. Di sana, berdiri di pintu ruang data, adalah Max—siswa baru yang mereka curigai sejak awal. Wajahnya tampak tenang, namun ada sesuatu yang dalam tatapannya yang membuat Diana merasa ketakutan.
"Kamu... kamu di sini?" kata Diana, berusaha tetap terlihat tidak terkejut. "Kamu tahu kita di sini?"
Max tersenyum tipis, namun senyumnya tampak sangat berbeda dari biasanya. "Tentu saja. Aku sudah tahu dari awal kalian akan mencoba mengungkap semuanya. Kalian tidak tahu, kan, betapa sulitnya menjaga rahasia ini?"
Adrian melangkah maju, mencoba mempertahankan jarak. "Apa yang kamu inginkan, Max? Kenapa kamu terlibat dalam ini?"
Max mendekat sedikit, matanya tetap fokus pada mereka. "Aku tidak punya pilihan. Ini adalah jalan yang harus kuambil jika aku ingin bertahan. Mereka sudah lama mengincar kalian berdua. Sayangnya, kalian terlalu cerdas untuk tidak menyadari apa yang sedang terjadi."
Diana merasa ada yang tidak beres. "Kamu... jadi, kamu terlibat dalam semua ini? Semua yang terjadi di sekolah ini, kamu ada di belakangnya?"
Max mengangguk dengan tenang. "Aku tidak bisa menolak. Mereka punya kekuatan yang lebih besar dari yang kalian bayangkan. Dan sekarang, kalian berdua tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Aku harus memastikan kalian tidak melangkah lebih jauh."
Max kemudian melangkah maju lebih dekat. Diana bisa merasakan udara di sekitar mereka semakin tegang. Apa yang akan terjadi jika Max memutuskan untuk melaporkan mereka?
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki lagi, kali ini lebih banyak orang yang datang. Diana menoleh ke arah suara itu, dan matanya terbelalak. Dari balik pintu ruang data, muncul dua pria lain yang dikenali Diana—pria yang pernah terlihat bersama Max di kafe beberapa hari lalu. Mereka sekarang berdiri di belakang Max, memberikan kesan bahwa mereka sedang mengepung Diana dan Adrian.
"Kalian sudah terlalu jauh," kata salah satu pria itu, suaranya berat dan penuh ancaman. "Tidak ada jalan keluar lagi."
Diana dan Adrian saling pandang. Mereka tahu mereka berada di ujung tanduk. Mereka harus berpikir cepat, atau semuanya akan berakhir. Dalam situasi seperti ini, kepercayaan adalah hal yang paling berbahaya. Dan mereka baru saja menyadari bahwa Max, yang selama ini mereka anggap sebagai teman, adalah salah satu musuh terbesar mereka.
Adrian meneguk ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Kalian pikir kami akan menyerah begitu saja? Kami akan melawan sampai akhir!"
Max tertawa pelan. "Kalian tidak punya pilihan lain. Kalian berdua sudah menjadi bagian dari permainan ini. Dan sekarang, permainan itu berakhir."
Namun, sebelum apa pun bisa terjadi, Diana mengambil keputusan yang sangat berisiko. Dia menoleh ke Adrian dan berbisik, "Kita harus melawan sekarang, atau kita akan terperangkap."
Tanpa memberi kesempatan kepada Max atau dua pria lainnya untuk bertindak lebih lanjut, Diana dengan cepat bergerak ke arah meja, memanfaatkan kelengahan mereka sejenak untuk meraih sebuah benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Sebuah pemutar kabel listrik yang tergeletak di atas meja.
Dengan gerakan cepat, Diana melemparkan pemutar kabel tersebut ke arah pria yang paling dekat dengan mereka. Pemutar itu mengenai kepala pria itu dengan keras, membuatnya terjatuh ke lantai. Adrian segera menarik Diana ke arah pintu darurat yang ada di belakang ruang data, memanfaatkan kebingungannya.
"Segera! Lari!" seru Adrian.
Diana dan Adrian berlari secepat mungkin, mencoba menghindari mereka yang berusaha mengejar. Mereka tahu bahwa kali ini mereka tidak hanya harus melawan secara fisik, tetapi juga harus cerdas dalam merencanakan langkah selanjutnya. Mereka harus mengungkapkan kebenaran sebelum semuanya terlambat.
Mereka akhirnya sampai di luar gedung sekolah, terengah-engah, dan darah mereka berdebar keras. Namun, mereka tahu bahwa pelarian mereka baru saja dimulai. Mereka harus bersembunyi, mencari tahu lebih banyak, dan segera memberi tahu pihak berwajib—sebelum Max dan kelompoknya bisa bergerak lebih jauh.
Tetapi Diana dan Adrian tahu satu hal yang pasti: mereka baru saja menginjakkan kaki dalam peperangan yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan.