Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Happy In the Morning
Valeska terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, seperti dipukul palu semalaman. Begitu matanya terbuka sepenuhnya, yang pertama kali dirasakannya adalah kebingungan.
"Ini di mana?" gumamnya pelan, suara serak karena tidur terlalu lama.
Ia meraih kepalanya yang berdenyut nyeri, lalu memandang sekeliling ruangan. Nuansa kamar asing itu membuatnya semakin cemas. Tidak ada tanda-tanda yang dikenalnya di sini. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, menarik selimut putih yang menutupi tubuhnya.
Namun langkahnya tertahan. Sebuah rasa nyeri menusuk di antara pahanya.
"Aduh!"erangnya, membungkukkan badan sambil meringis.
Rasa sakit itu membuatnya kaku. Matanya lalu terarah ke sprei putih di atas tempat tidur. Ada noda merah kecil di sana—noda yang langsung membuat jantungnya mencelos seolah ditimpa beban tak kasatmata.
"Tunggu, ini ... apa?"
Valeska memegangi dadanya, mencoba menenangkan napas yang mulai tersengal. Tetapi pikirannya langsung melesat ke arah yang paling buruk.
"Enggak. Ini enggak mungkin," bisiknya, menepis pikiran yang bahkan tak sanggup ia sebutkan dengan lantang.
Namun tubuhnya tidak bisa berbohong. Nyeri yang menusuk di area Miss. V itu semakin terasa, membangunkan rasa sadar yang perlahan menghantamnya dengan brutal.
Ia terduduk di tepi ranjang, kedua tangan meremas rambutnya. Mencoba mengingat. Tapi yang ia temukan adalah serpihan-serpihan kecil yang menghancurkan hatinya perlahan.
Bayangan lelaki tampan. Tubuh yang sama sekali tak berbalut kain. Bisikan berat yang penuh nafsu. Sentuhan panas di kulitnya. Dan desahan rendah yang di luar dugaan terdengar begitu menguasai.
"Nggak ... ini nggak mungkin! Enggak mungkin ini terjadi!"
Valeska berteriak, air matanya mulai mengalir tanpa henti.
Namun semakin keras ia menolak, ingatan itu justru semakin jelas. Hingga akhirnya, satu kesadaran pahit menghantamnya.
"Aku... kehilangan semuanya," lirihnya, suara tercekat di tenggorokan.
Matanya yang basah oleh air mata tertuju ke sebuah amplop cokelat di dekat bantalnya. Tangannya gemetar saat meraih benda itu. Amplopnya berat. Ketika ia membukanya, isinya langsung mengagetkan.
Uang. Begitu banyak uang.
Tubuh Valeska langsung lemas. Amplop itu terlepas dari genggamannya, menjatuhkan lembaran uang yang tertebar di kasur.
"Gue ... gue jual keperawanan gue?"
Kalimat itu meluncur dari bibirnya, lirih dan tak terdengar. Tapi dampaknya begitu menghancurkan. Air matanya tak lagi bisa dibendung, jatuh membasahi uang di tangannya.
Semua ini terlalu nyata. Terlalu cepat. Dan terlalu menghancurkan.
***
Vincent duduk di kursi kerjanya. Di dalam ruangan dia hanya sendirian. Segelas kopi yang dibawakan oleh sekretarisnya belum dia minum sama sekali. Pikirannya melayang ke momen tadi malam.
Paras cantik Valeska terus memenuhi ruang pikirannya. Bagaimana cara gadis itu menggigit bibirnya ketika menikmati hentakan yang diberikan Vincent. Bagaimana ketika ia mendesah saat Vincent menikmati setiap jengkal leher hingga ke dadanya. Bagaimana tangan Valeska yang menjambak gemas rambut Vincent saat mulut lelaki itu penuh dengan dua bagian indah milik Valeska.
"Shit!" gerutu Vincent ketika dia merasakan keanehan dalam dirinya.
Jantung Vincent mendadak berdebar kuat hanya karena mengingat kembali momen tak terlupakan itu. Bagian kejantanannya kembali mengeras dan membuatnya tidak karuan.
"Ergh! Gila, gila, gila! Kenapa gue kepikiran tuh bocah, sih?" Vincent menggerutu sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Kedua sikunya bertumpu di atas meja kerja, seolah mencoba menopang beban pikiran yang semakin berat.
Dia membanting tubuhnya ke sandaran kursi, mencoba mengalihkan perhatian dengan melirik dokumen-dokumen di mejanya. Percuma. Pikiran Vincent tetap melayang ke satu sosok yang seharusnya nggak perlu dia pikirkan: Valeska Si Gadis SMA.
Tok, tok, tok.
Ketukan di pintu menghentikan kekacauan di kepalanya. Vincent segera merapikan posisi duduknya, berdeham untuk menenangkan diri. "Masuk," ujarnya, nada datarnya sudah menjadi kebiasaan.
Pintu terbuka, dan masuklah Dena, sekretaris pribadinya. Wanita itu terlihat sempurna seperti biasa—kemeja putih pas badan yang cukup transparan, rok pensil yang membentuk tubuhnya, ditambah wangi parfum yang langsung memenuhi ruangan begitu dia melangkah masuk.
"Pak Vincent, saya cuma mau mengingatkan kalau rapat dimulai lima belas menit lagi,"ujar Dena, nada suaranya lembut dan nyaris menggoda.
Vincent memperhatikan bibir merah Dena saat dia bicara, lalu matanya bergerak ke garis leher wanita itu. Dena ini cantik, terampil, dan selalu tahu bagaimana cara membuat harinya lebih santai. Jujur saja, dia jadi pelarian yang sempurna dari semua kekacauan di kepala Vincent.
"Hmm," Vincent memberi isyarat dengan tangannya, menyuruh Dena untuk masuk lebih jauh.
Dena tersenyum kecil—senyum yang sudah dia pakai berulang kali untuk situasi seperti ini. Wanita itu masuk, menutup pintu pelan, lalu dengan santai memutar kunci hingga berbunyi klik.
Dia tidak butuh arahan lebih. Dena melangkah mendekati kursi Vincent dan tanpa basa-basi langsung duduk di pangkuannya.
"Pak, Anda kelihatan stres pagi ini," gumam Dena sambil menempatkan lengannya di bahu Vincent.
Vincent hanya mendengus kecil. Tubuhnya otomatis bersandar lebih dekat, kedua tangannya kini melingkar di pinggang Dena. "Kamu pintar menebak," jawabnya pendek, bibirnya sudah mendekat ke leher wanita itu.
Begitu wangi parfum itu tercium lebih jelas, Vincent menyusupkan wajahnya ke lekukan leher Dena, menarik napas panjang. Aromanya seperti lavender dan vanilla, memanjakan indra penciumannya.
Dena tersenyum kecil, tapi matanya melebar sedikit ketika merasakan sesuatu yang keras menekan dari balik celana Vincent. "Pak, Anda—"
Kalimatnya terpotong karena Vincent sudah mulai menanamkan ciuman lembut di lehernya. Mulanya lambat, lalu semakin intens, membuat napas Dena semakin tidak beraturan.
Dia membiarkan pria itu memimpin, seperti biasa. Lagi pula, ini sudah jadi bagian dari dinamika mereka—panas, penuh gairah, tapi tanpa ikatan.
Beberapa menit berlalu, Dena mendongak, membetulkan rambutnya dengan tenang. "Rapatnya benar-benar mulai lima belas menit lagi lho, Pak," ujarnya dengan nada centil.
Vincent mendongak, matanya tajam tapi bibirnya melengkung kecil. "Waktu itu pun sudah cukup."
Dena terkekeh, lalu menunduk, bibirnya menyentuh telinga Vincent. "Kalau gitu, jangan buang waktu."
Vincent hanya mengangguk, tangannya semakin erat di pinggang wanita itu. Untuk sesaat, Dena adalah distraksi yang sempurna dari semua kekacauan di hidupnya.
Dibukanya dengan pelan kancing kemeja Dena. Di hadapannya muncul dua hal indah yang dilapisi bra berenda warna hitam. Sangat seksi. Tanpa membuang waktu banyak, Vincent menurunkan bra itu sehingga melihat sesuatu yang mungil berwarna merah muda.
Vincent segera menyesap si mungil pink itu dan memainkan dengan lidahnya. Segera terdengar suara desahan kecil dari Dena. Terlebih saat tangan Vincent mulai menyusup ke bagian rok Dena, melewati dua paha yang sengaja dibuka perempuan itu agar bosnya bisa leluasa bergerak.
Kali ini Dena memakai celana dalam yang pas. Sejenis G-String yang bisa membuat jari Vincent masuk ke sebuah lubang kecil penuh kenikmatan.
"Aaahh~"
Basah. Itu yang dirasakan oleh Vincent.
Tanpa memperpanjang waktu, Vincent meminta untuk Dena berdiri dan membungkukkan punggung Dena di atas meja. Dinaikkannya rok perempuan itu sementara Vincent segera melepaskan sabuk dan celananya. Kejantanannya yang sudah keras segera masuk ke bagian milik Dena.
Hentakan demi hentakan berlangsung. Dalam bayangan Vincent sekarang bukanlah wajah Dena melainkan paras polos dan lugu Valeska yang dia ingat.
***