Ariana tak sengaja membaca catatan hati suaminya di laptopnya. Dari catatan itu, Ariana baru tahu kalau sebenarnya suaminya tidak pernah mencintai dirinya. Sebaliknya, ia masih mencintai cinta pertamanya.
Awalnya Ariana merasa dikhianati, tapi saat ia tahu kalau dirinya lah orang ketiga dalam hubungan suaminya dengan cinta pertamanya, membuat Ariana sadar dan bertekad melepaskan suaminya. Untuk apa juga bertahan bila cinta suaminya tak pernah ada untuknya.
Lantas, bagaimana kehidupan Ariana setelah melepaskan suaminya?
Dan akankah suaminya bahagia setelah Ariana benar-benar melepaskannya sesuai harapannya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bolehkah ...
"Na," panggil Danang membuat Ariana yang sedang memainkan ponselnya menyahut tak acuh.
"Hmmm ... "
"Itu ... Giandra kenapa kok kayaknya akrab banget dengan laki-laki itu?" tanya Danang. Saat ini Giandra sedang pergi dengan Athariq. Katanya ada keperluan sebentar saja.
"Laki-laki mana? Ngomong yang jelas."
"Itu ... Laki-laki yang menabrak kamu itu."
"Oh. Ya karena emang mereka saling kenal. Memangnya nggak boleh."
"Bu-bukan begitu. Tapi aneh aja. Adik kamu kan masih duduk di bangku kuliah, sementara dia ... "
"Memangnya karena adikku masih kuliah, dia nggak boleh berteman dengan orang yang lebih dari dia? Aneh!" cibir Ariana.
"Na, kok kamu jadi ketus begini sih dengan aku? Memangnya aku ada salah?" Seperti mengalami amnesia, Danang justru menanyakan apa kesalahannya sehingga membuat sikap Ariana berubah padanya. Tak ada lagi senyum lembut, tak ada lagi tatapan penuh cinta, tak ada lagi keramahan apalagi perhatian. Ariana seakan acuh tak acuh dengan keberadaannya. Bahkan ia memilih minta bantu perawat ke kamar mandi daripada dirinya. Padahal ada dirinya di sini sejak tadi.
Ariana menoleh dan tersenyum sinis, "Mas tanya Mas ada salah apa? Apa Mas amnesia sehingga tidak menyadari apa kesalahan Mas? Padahal yang kecelakaan aku, tapi kok. bisa yang amnesia malah Mas," cibirnya.
Danang tertegun dengan kalimat yang barusan Ariana ucapkan.
"Tapi Mas memang benar-benar tidak tahu apa kesalahan Mas. Oke kalau ini tentang apa yang terjadi lagi tadi. Mas akui Mas nggak peka banget sebagai seorang suami, tapi kan Mas sudah bilang kalau sakit lebih baik nggak kerja dulu daripada ... "
"Daripada merepotkan Mas, begitu? Kalau Mas Danang merasa direpotkan, Mas bisa pulang. Tenang saja, banyak yang dengan senang hati menemaniku di sini. Bahkan bila tak ada seorang pun yang bisa menemani, aku bisa sendiri. Aku bukan perempuan lemah. Kau juga bukan perempuan cengeng yang akan merengek untuk tidak ditinggal sendiri. Pulang saja. Oh, Mas punya janji ketemuan sama kekasih tercinta Mas itu? Silahkan, aku nggak melarang kok, tenang aja," sembur Ariana kesal dengan gigi bergemeletuk.
"Ana, kamu ngomong apa sih? Bukan itu maksud aku. Aku juga nggak ada janji sama siapa-siapa kok. Jangan sembarangan ---"
Belum sempat Danang menyelesaikan kata-katanya, ponselnya tiba-tiba bergetar hebat. Ia pun segera merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Setelah melihat nama yang menghubunginya, terlihat ekspresi keraguan di wajah Danang. Ariana dapat melihat itu dengan jelas.
Danang melirik Ariana. Ia tertegun. Ia pun mencoba mengabaikan panggilan itu. Namun ternyata ponselnya lagi-lagi bergetar.
"Angkat aja, nggak perlu takut-takut gitu..Aku nggak akan ngamuk kok," sinis Ariana.
"Nggak usah. Ini cuma salah sambung kok," kilah Danang.
Ariana terkekeh sinis, "udahlah Mas, kau pikir aku ini bodoh, hah? Ya, aku memang bodoh karena sempat mengira kau melamarku karena memiliki perasaan padaku. Tapi kini aku sudah sadar dan aku serahkan keputusan padamu. Pilih aku atau dia? Kalau kau pilih aku, lepaskan dia dan kalau kau pilih dia, lepaskan aku, simple sekali bukan."
Ariana berbicara seolah acuh tak acuh, padahal dalam hatinya bergemuruh. Tidak semudah itu menghempas cinta yang telah lama tertanam, tapi ia akan mencoba memberikan Danang pilihan.
"Tetap nggak sesimpel itu, Ana. Dan aku ... aku ... Ck, aaargh ... "
Ponselnya lagi-lagi bergetar. Tapi kali ini sebuah pesan masuk ke ponselnya. Mata Danang terbelalak setelah membaca pesan itu. Ia pun segera memasukkan ponsel itu ke saku celananya dan berjalan tergesa ke arah Ariana.
"Na, maaf, maaf Mas harus pergi dulu sebentar. Ini mendesak."
Cup ...
Danang mengecup kening Ariana dan segera berlalu dari sana.
Dengan kasar, Ariana mengusap bekas kecupan suaminya. Bila dulu ia merasa hatinya berbunga-bunga saat Danang mengecup dahinya, tapi kini perlahan getaran itu menghilang. Bahkan rasa bahagia yang pernah ada dulu perlahan terkikis berganti miris.
Kurang lebih 30 menit kemudian, Giandra kembali ke kamar rawat inap Ariana. Ia celingukan saat tidak melihat keberadaan Danang.
"Suami kak Ana mana?" tanyanya.
Ariana mengedikkan bahunya. Giandra sampai melongo melihat respon sang kakak yang sangat berbeda dari biasanya.
"Kenapa kamu natap kakak begitu?"
"Nggak. Nggak papa. Memangnya Kak Danang nggak bilang gitu mau kemana?"
"Nggak ada. Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Mau kemana dia, terserah. Mbak nggak peduli," jawab Ariana datar. "Eh, itu apa? Kamu bawain Kakak makanan?" tanya Ariana saat melihat kantong plastik yang Giandra pegang.
"Oh, ini kari kambing. Tadi kami ke tempat tongkrongan sebentar. Waktu pulang, bang Ariq liat pondok makan gitu yang ada tulisan menunya kari kambing. Jadi bang Ariq minta berhenti. Aku pikir bang Ariq beli untuk dia, eh taunya buat kita dong. Bang Ariq emang paling the best deh."
Giandra bercerita dengan bersemangat.
"Wah, enak tuh! Kakak mau dong. Bantu siapin ya. Kakak laper."
"Siap, Bos! Laksanakan!"
Giandra pun segera menyiapkan makan malam untuk mereka.
"Eh, tadi emangnya kalian naik apa? Dia kan pasti naik mobil, terus kamu bawa motor."
"Bang Ariq nebeng motorku. Dari tempat tongkrongan, balik ke sini lagi soalnya sopirnya jemput di sini."
Ariana mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah makanan siap, mereka pun segera menyantap makan malam mereka.
Sementara itu, Danang sedang melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Setelah tiba di tempat tujuan, ia pun segera turun. Belum sempat membuka pintu, pintu sudah terbuka lebih dulu lalu seorang perempuan yang masih tampak muda segera keluar dan berhambur ke pelukan Danang.
"Mas, mama, Mas, Mama ... "
"Bagaimana keadaan Tante?"
Perempuan itu menggelengkan kepala, "cepat tolong mama, Mas. Tadi aku sudah melakukan pertolongan pertama, tapi mama malah tidak sadarkan diri. Ayo, Mas, kita bawa mama ke rumah sakit!"
Danang mengangguk. Mereka pun bergegas ke kamar seseorang yang merupakan ibu dari Monalisa.
"Mama masih di kamar mandi. Aku nggak bisa mindahin mama."
Danang menghela nafas. Ia terkejut melihat ibu Monalisa terkapar di lantai kamar mandi dengan mata terpejam. Lalu ia pun segera membawa ibu Monalisa ke dalam gendongannya menunju mobilnya.
"Mas, kok lewat jalan ini? Ini kan justru menjauhi rumah sakit."
"Terus mau kamu gimana? Membawa mama kamu ke Husada? Ini bahaya, Sa. Kalau ada yang lihat aku temenin kamu anterin mama kamu ke rumah sakit, bisa-bisa orang-orang berpikiran negatif tentang aku."
Monalisa berdecak, "bilang aja kamu nggak sengaja ketemu terus aku minta tolong atau apa kek. Kan kalau gini kita sendiri yang ribet. Aku dan kamu kerja di Husada, otomatis aku nggak bisa sambilan jaga mama dong. Ribet juga mondar-mandir ke sana ke mari. Belum lagi kamu pasti bakal sering temenin istri manja kamu itu. Makin sulit dong kita ketemu," ketus Monalisa.
"Ana nggak manja. Dia perempuan mandiri."
"Kamu belain dia, Mas?" Mata Monalisa melotot tak suka.
"Aku nggak bela. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
"Ck, alasan. Dia itu perempuan manja. Demi dapat perhatian kamu, dia sampai pura-pura sakit gitu."
"Ana nggak pura-pura, dia beneran sakit."
Gigi Monalisa mengerat mendengar pembelaan demi pembelaan Danang.
"Asal Mas tahu, dia itu sengaja mencelakakan dirinya sendiri untuk mendapatkan perhatian kamu. Kamu tahu nggak, sebelum pergi kerja tadi, aku sempat bertemu dengannya. Aku telepon kamu, terus dia angkat. Dia ajak aku ketemuan dan marah-marahin aku. Apa kamu tau, dia juga minta aku tinggalin kamu. Dia nuduh aku pelakor karena udah deketin kamu. Mentang-mentang aku bukan istri kamu, jadi dia seenaknya nuduh aku sembarangan. Kamu pikir hati aku nggak sakit, hah? Sakit tau, Mas. Sakit banget. Dan semua gara-gara kamu. Kamu janji nikahin aku, tapi kamu justru nikahin perempuan lain. Kamu nggak tau gimana hancurnya hati aku, Mas. Kalau aja nggak mikirin mama, udah lama aku bunuh diri. Aku ... Hiks ... hiks ... hiks ... "
Monalisa menangis tersedu-sedu. Danang yang tadinya terkejut saat tahu Monalisa telah menemui Ariana kini justru menjadi merasa bersalah. Ia bingung harus mengambil keputusan apa.
Ingin marah pada Ariana karena sudah menemui Monalisa tanpa sepengetahuannya dan memarahinya, tapi ia pun sadar, ini terjadi karena kesalahannya sendiri. Perempuan manapun terutama seorang istri pasti akan marah saat suaminya masih menjalin hubungan dengan perempuan lain. Namun bila disuruh memilih, Danang tidak bisa melakukannya. Keduanya penting dan keduanya berarti.
Bolehkah ia egois ingin memiliki keduanya???
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Soale kan kandungan nya emang udah lemah ditambah pula,sekarang makin stress gitu ngadepin mantannya Wira
bukannya berpikir dari kesalahan
kalou hatinya tersakiti cinta akan memudar & yg ada hanya kebencian...