NovelToon NovelToon
Logika & Hati

Logika & Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Teman lama bertemu kembali / Slice of Life
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Arifu

Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sang Dosen kertas HVS

Di dunia kampus, ada satu nama yang sangat terkenal di antara mahasiswa dan dosen, bukan karena prestasi atau penemuan besar, melainkan karena kebiasaannya yang sangat... hemat. Dia adalah Pak Seno, seorang dosen senior yang sudah mengajar selama hampir 20 tahun. Mahasiswa memanggilnya “Dosen Kertas HVS” karena kecenderungannya untuk menggunakan kertas HVS secara irit hingga ke tingkat yang absurd.

Rehan, sebagai asisten dosen, sering bersinggungan dengan Pak Seno. Meskipun mereka berada di dua generasi yang berbeda, interaksi mereka kerap mengundang tawa, setidaknya bagi Rehan.

Suatu pagi, di ruang dosen yang selalu penuh dengan aroma kopi instan, Pak Seno memanggil Rehan untuk sebuah tugas sederhana.

“Rehan, ini kertas ujian. Jangan sampai hilang, ya,” kata Pak Seno sambil menyerahkan setumpuk kertas HVS yang sudah terlihat lusuh meskipun belum dipakai. “Ini saya beli pakai uang pribadi.”

Rehan mengernyitkan dahi sambil memandangi kertas itu. “Pak, bukannya ini tanggung jawab kampus?”

Pak Seno mendengus dan melipat tangannya di dada. “Kampus nggak kasih dana. Logis kan kalau saya hemat? Saya cuma beli satu rim, jadi kamu harus jaga baik-baik.”

Rehan ingin tertawa, tapi ia tahu itu bukan ide yang bagus. Ia hanya mengangguk pelan sambil memegang kertas itu seperti benda pusaka. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana seorang dosen senior yang begitu ahli di bidangnya bisa begitu terobsesi dengan penghematan kecil seperti ini.

Namun, ini bukan pertama kalinya Rehan menghadapi situasi aneh bersama Pak Seno.

Beberapa hari kemudian, Rehan sedang mempersiapkan materi untuk kelas. Ia duduk di ruang dosen dengan laptopnya, mencoba merangkum poin-poin penting dari slide yang akan ditampilkan. Saat ia sedang fokus mengetik, suara khas Pak Seno tiba-tiba memecah keheningan.

“Rehan, kenapa kamu bikin slide PowerPoint?” tanyanya dengan nada serius.

Rehan menoleh bingung. “Karena itu lebih mudah untuk menjelaskan materi ke mahasiswa, Pak.”

Pak Seno menggeleng dengan tegas. “PowerPoint itu buang-buang listrik. Kamu tahu nggak, proyektor kampus ini butuh daya 200 watt per jam? Kalau kamu pakai proyektor selama dua jam, itu setara dengan listrik untuk nyalakan lampu di lima rumah selama setengah hari.”

Rehan mengerjap, mencoba mencerna logika Pak Seno. “Jadi, maksud Bapak saya nggak usah pakai PowerPoint?”

“Pakai papan tulis aja. Tulis semua materi pakai kapur. Itu lebih hemat.”

Rehan hampir tertawa, tapi ia berhasil menahannya. Dalam pikirannya, ia membayangkan dirinya menulis seluruh persamaan fisika kuantum di papan tulis sementara mahasiswa mulai tertidur satu per satu.

“Baik, Pak. Saya pertimbangkan,” jawab Rehan dengan nada diplomatis.

Namun, kebiasaan hemat Pak Seno bukan hanya soal kertas HVS atau listrik. Suatu kali, ia bahkan mengajarkan prinsip penghematan kepada mahasiswa di tengah-tengah kelas.

“Anak-anak, kalian tahu nggak, kenapa saya selalu suruh kalian tulis jawaban ujian di selembar kertas kecil?” tanyanya di depan kelas.

Salah satu mahasiswa, Andika, mengangkat tangan. “Karena Bapak hemat, Pak?”

Pak Seno mengangguk puas. “Betul! Saya hemat bukan karena pelit, tapi karena ini prinsip. Bayangkan, kalau setiap mahasiswa pakai dua lembar kertas, dan saya punya 50 mahasiswa per kelas, itu 100 lembar per minggu. Dalam sebulan, 400 lembar. Dalam setahun, hampir 5.000 lembar! Itu sama dengan satu pohon yang harus ditebang.”

Mahasiswa lain, Lina, mencoba menyela. “Tapi, Pak, kertas yang kita pakai kan biasanya sudah dari pohon yang memang untuk produksi kertas...”

Pak Seno langsung memotong. “Tapi tetap saja, prinsip hemat harus dijaga! Kalau kalian mau sukses, kalian harus mulai hemat dari sekarang.”

Rehan yang duduk di belakang kelas sebagai pengawas ujian hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Ia tidak tahu apakah mahasiswa Pak Seno benar-benar terinspirasi, atau hanya menganggapnya sebagai hiburan.

Meskipun kebiasaan hemat Pak Seno sering membuat Rehan terheran-heran, ia tidak bisa memungkiri bahwa dosen itu memiliki sisi lain yang mengagumkan. Di balik sikapnya yang keras kepala, Pak Seno sebenarnya sangat peduli pada mahasiswa dan sering memberikan bantuan secara diam-diam.

Suatu hari, Rehan sedang mengantar berkas ke ruang dosen ketika ia mendengar percakapan antara Pak Seno dan seorang mahasiswa.

“Pak, saya mau minta izin nggak ikut ujian minggu depan,” kata mahasiswa itu dengan suara pelan.

Pak Seno mengangkat alis. “Kenapa nggak ikut? Ujian itu penting.”

“Saya nggak punya uang buat bayar biaya ujian, Pak,” jawab mahasiswa itu dengan nada malu.

Rehan memperhatikan dari kejauhan, penasaran dengan reaksi Pak Seno. Setelah beberapa detik hening, dosen itu menghela napas.

“Baik. Saya akan bayar biayanya. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa itu, Pak?”

“Kamu harus belajar sungguh-sungguh dan lulus dengan nilai bagus. Kalau tidak, uang saya sia-sia.”

Mahasiswa itu langsung mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Rehan yang mendengar percakapan itu merasa terkejut. Ia tidak menyangka bahwa seseorang yang terkenal hemat seperti Pak Seno bisa begitu murah hati.

Hari itu, Rehan mulai melihat Pak Seno dari sudut pandang yang berbeda. Meskipun ia sering kesal dengan kebiasaan aneh dosen itu, ia tidak bisa memungkiri bahwa ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari cara hidupnya.

“Pak Seno itu seperti hukum termodinamika kedua,” kata Rehan kepada Aryo malam itu di kos.

Aryo yang sedang makan mi instan menoleh dengan bingung. “Apaan tuh maksudnya?”

“Dia menunjukkan bahwa di dunia ini, ada energi yang terbuang sia-sia. Tapi dia mencoba mengurangi entropi itu dengan caranya sendiri, meskipun caranya sering nggak masuk akal,” jelas Rehan sambil tersenyum.

Aryo tertawa kecil. “Lo tuh emang aneh, Han. Tapi gue setuju, Pak Seno itu unik. Cuma dia yang bisa bikin mahasiswa ketawa sekaligus stres dalam waktu bersamaan.”

Namun, interaksi mereka tidak selalu mulus. Ada kalanya Pak Seno dan Rehan berselisih pendapat, terutama soal metode mengajar.

“Rehan, saya dengar kamu pakai simulasi komputer untuk praktikum?” tanya Pak Seno suatu hari.

“Betul, Pak. Saya pikir itu cara yang efektif untuk menjelaskan konsep-konsep abstrak,” jawab Rehan dengan percaya diri.

Pak Seno menggeleng dengan tegas. “Komputer itu terlalu modern. Mahasiswa harus belajar cara tradisional dulu sebelum pakai teknologi. Kalau mereka terlalu bergantung pada simulasi, mereka nggak akan paham inti dari pelajaran.”

Rehan mencoba menjelaskan bahwa simulasi komputer bisa membantu mahasiswa memahami konsep yang sulit dengan cara visual. Namun, Pak Seno tetap pada pendiriannya.

“Rehan, ingat ini. Teknologi itu alat, bukan solusi. Kalau kamu lupa prinsip dasarnya, teknologi itu nggak ada gunanya.”

Meskipun Rehan tidak sepenuhnya setuju, ia menghormati pendapat Pak Seno. Bagaimanapun, dosen itu telah mengajar jauh lebih lama darinya, dan ada kebijaksanaan tertentu dalam caranya memandang dunia.

Pada akhirnya, Rehan menyadari bahwa Pak Seno adalah salah satu orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, meskipun dengan cara yang tidak biasa. Ia belajar bahwa bahkan di balik kebiasaan yang aneh dan terkadang menyebalkan, ada nilai-nilai yang bisa dipelajari.

Dan meskipun Rehan sering kesal dengan julukan “Dosen Kertas HVS,” ia tidak bisa membayangkan kampus tanpa kehadiran Pak Seno yang unik.

1
pisanksalto
bagus tata kalimatnya. dialognya juga enak, ngalir. cuma tiap pergantian scen entah kenapa kurang mulus rasanya. tp overall ok. aku penasaran sama masa kecil bayu dan rara
Arifu: Terima kasih, tapi kak mohon maaf untuk cerita ini mau saya hapus, kakak mungkin bisa cari yang lain di profil saya, siapa tau suka dengan cerita yang lain
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!