Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
satu hari sebelum pertandingan.
Saat Bagas melaju dengan motornya menuju rumah, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sore tadi. Rasa pegal di tubuhnya mengingatkan dia pada ketegangan yang baru saja mereka lalui. Meski sedikit babak belur, perkelahian itu membuktikan bahwa ia dan April adalah tim yang tangguh, tak hanya di lapangan basket tetapi juga dalam menghadapi situasi tak terduga.
Malam semakin larut, angin malam menyapu wajah Bagas yang masih sedikit nyeri. Sesampainya di rumah, lampu teras sudah menyala, tanda bahwa ibunya, Irana, menunggu kepulangannya. Bagas memarkir motor di garasi dan menarik napas panjang sebelum masuk.
"Bagas, kamu baru pulang?" suara lembut ibunya menyambutnya begitu ia membuka pintu.
Bagas tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya. "Iya, Bu. Latihan tadi agak lama," jawabnya sambil melepas sepatu.
Irana memerhatikan wajah putranya yang terlihat sedikit memar. "Wajahmu kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja?" tanya ibunya, nadanya penuh kekhawatiran.
Bagas terdiam sejenak, tak ingin membuat ibunya khawatir. "Ah, nggak apa-apa, Bu. Cuma kecapekan aja. Tadi di jalan ada sedikit insiden kecil, tapi Bagas baik-baik saja kok," katanya, berusaha meyakinkan ibunya.
Mata Irana menyiratkan rasa ragu, tetapi ia memilih untuk tidak mendesak. "Kalau begitu, segera bersihkan dirimu dan istirahat, ya. Besok kamu pasti butuh tenaga lebih untuk pertandingan," ujarnya sambil menepuk pundak Bagas dengan lembut.
Bagas mengangguk, lalu menuju kamarnya. Sesampainya di sana, ia duduk di tepi tempat tidur, memandang pantulan dirinya di cermin kecil di meja belajar. Wajahnya memang masih menunjukkan sisa-sisa luka kecil, tetapi semangat di matanya tidak surut.
"Pasti bisa," gumamnya kepada diri sendiri, mengingat pertandingan uji coba melawan SMA Setia Bangsa yang akan dihadapi besok. Ia tahu, tantangan bukan hanya soal kemampuan fisik, tetapi juga mental. Pertandingan itu akan menjadi ajang pembuktian dirinya di hadapan tim dan pelatih.
Setelah membersihkan diri dan mengobati luka-lukanya dengan salep antiseptik, Bagas berbaring di tempat tidur. Pikiran tentang strategi permainan dan pergerakan lawan berputar di kepalanya. Di sela-sela itu, ingatan tentang Ara dan masa-masa kebersamaan mereka kembali mengisi benaknya, memberikan semangat tambahan.
Malam itu, meski tubuhnya terasa letih, hati Bagas penuh tekad. Esok adalah hari penting, dan ia harus siap menghadapi apa pun yang terjadi di lapangan. Perlahan-lahan, rasa kantuk mulai menguasai, dan Bagas pun tertidur dengan senyum tipis di wajahnya, bersiap menyambut hari baru penuh tantangan.
Keesokan paginya, Bagas bangun dengan perasaan sedikit lebih segar meski memar di wajahnya masih terasa nyeri. Ia bersiap-siap ke sekolah seperti biasa, mengenakan seragam SMA Pelita Bangsa dengan rapi. Ia tak ingin rekan-rekan satu timnya atau para guru melihatnya lemah hanya karena insiden semalam.
Di sekolah, suasana sibuk seperti biasanya. Siswa-siswi berlalu lalang di koridor, sebagian membahas tugas-tugas, sementara yang lain berbicara tentang berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Bagas berjalan menuju ruang kelasnya, mengangguk sesekali pada teman-teman yang menyapanya. Ketika ia sampai di kelas, ia disambut oleh beberapa teman sekelasnya.
“Gas, kok muka lu ada bekas lebam?” tanya Diki, teman sekelas yang dikenal humoris, sambil tersenyum usil.
“Ah, cuma kejadian kecil di jalan,” jawab Bagas singkat sambil meletakkan tasnya di atas meja. Dia tak ingin membahas lebih lanjut dan mengalihkan perhatian dengan bertanya, “Sudah siap buat pelajaran hari ini?”
Diki mengangkat bahu. “Siap nggak siap, kita hadapi aja, bro. Eh, nanti sore jadi latihan, kan?”
Bagas mengangguk. “Jadi. Kita harus persiapkan strategi buat uji coba besok.”
Percakapan terputus ketika bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Guru matematika mereka, Pak Hendro, masuk ke kelas dengan senyum tenang seperti biasanya. Pelajaran dimulai, dan suasana kelas berubah hening dengan suara pensil dan gesekan kertas terdengar di sana-sini.
Di tengah-tengah pelajaran, Bagas sesekali melirik ke luar jendela, melihat lapangan basket yang mulai ramai dengan siswa dari kelas olahraga. Pikirannya sejenak melayang ke strategi yang akan digunakan nanti sore. Fokusnya terpecah, tetapi ia cepat kembali memperhatikan pelajaran saat Pak Hendro menatapnya tajam, seakan tahu bahwa pikirannya melayang.
Waktu berlalu dengan cepat, dan bel istirahat pun berbunyi. Bagas segera keluar kelas, berencana menemui April di kantin untuk mendiskusikan latihan sore itu. Di kantin, ia melihat April duduk bersama beberapa anggota tim basket lainnya, termasuk Dion dan Daniel yang sibuk bercanda.
“Bagas! Sini duduk!” panggil April sambil melambaikan tangan.
Bagas berjalan mendekat dan mengambil tempat di samping April. “Gimana kondisi lo pagi ini?” tanya April dengan nada bercanda sambil menatap wajah Bagas yang masih terlihat lebam.
“Masih bisa main, kok. Gak usah khawatir,” jawab Bagas sambil tersenyum tipis.
“Bagus, soalnya sore ini kita perlu latihan keras. Gue dapat kabar kalau SMA Setia Bangsa juga lagi intens latihannya. Mereka punya pemain baru yang katanya jago di posisi point guard,” ujar April, membuat semua yang ada di meja terdiam sesaat.
“Kalau begitu, kita harus siapkan formasi dan strategi lebih matang,” kata Dion dengan nada serius.
“Iya, nanti sore kita bahas lebih lanjut di lapangan,” ujar Bagas, meneguhkan tekadnya.
Obrolan di kantin berlanjut, membahas berbagai taktik dan rencana untuk latihan sore itu. Sementara itu, Bagas merasa yakin bahwa mereka harus menghadapi tantangan dengan penuh semangat dan kerja sama tim yang solid. Pertandingan uji coba esok akan menjadi kesempatan mereka untuk membuktikan diri, bukan hanya sebagai pemain individu, tetapi sebagai satu kesatuan yang tangguh.
Setelah istirahat selesai, semua siswa kembali ke kelas masing-masing. Bagas menjalani sisa pelajaran dengan serius, meskipun di kepalanya masih terbayang strategi dan latihan yang akan dilakukan nanti sore. Pelajaran terakhir hari itu adalah Biologi, yang diajarkan oleh Bu Indah, guru yang dikenal tegas namun perhatian pada murid-muridnya.
“Baik anak-anak, hari ini kita akan melanjutkan materi tentang sistem pernapasan,” ujar Bu Indah sambil menulis judul materi di papan tulis. Bagas mencoba fokus, meski sesekali matanya mencuri pandang ke jam dinding yang berjalan begitu lambat. Ia tahu, semakin cepat waktu berlalu, semakin cepat ia bisa bersiap untuk latihan sore nanti.
Setelah bel pulang berbunyi, siswa-siswi langsung bergegas meninggalkan kelas. Bagas memasukkan bukunya ke dalam tas dan berjalan keluar kelas bersama Diki dan beberapa teman lainnya.
“Gas, lu langsung ke lapangan kan?” tanya Diki sambil berjalan di sampingnya.
“Iya. Gue mau ganti baju dulu di ruang ganti. Lu gimana?” balas Bagas sambil membetulkan tali ranselnya.
“Aku ikut juga. Kayaknya bakal seru latihan hari ini,” jawab Diki dengan senyum lebar.
Setibanya di ruang ganti, Bagas mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian olahraga. Anggota tim lainnya mulai berdatangan, wajah-wajah mereka penuh semangat dan antisipasi. April sudah menunggu di pinggir lapangan, memeriksa bola basket dan mempersiapkan beberapa alat latihan tambahan.
“Gas, kita mulai dengan pemanasan dulu. Gue mau lihat semua pemain dalam kondisi prima sebelum kita bahas strategi,” ujar April dengan nada tegas.
Bagas mengangguk dan memimpin timnya untuk pemanasan. Mereka berlari keliling lapangan, melakukan peregangan, dan latihan-latihan dasar lainnya. Setiap anggota tim tampak serius; mereka tahu bahwa pertandingan uji coba melawan SMA Setia Bangsa bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Tim lawan dikenal memiliki pemain yang cepat dan berpengalaman, terutama pemain baru yang disebut-sebut akan menjadi ancaman.
Setelah pemanasan selesai, April mengumpulkan semua pemain di tengah lapangan. “Oke, dengar semuanya. Besok kita menghadapi tim yang kuat, jadi hari ini kita akan fokus pada serangan cepat dan pertahanan solid. Gue mau kita semua saling mengerti gerakan dan peran masing-masing,” kata April dengan nada penuh semangat.
“Dion, lu harus lebih gesit di posisi shooting guard. Daniel, pastikan operan lu gak meleset dan support Bagas saat dia bawa bola,” tambahnya.
Latihan pun dimulai. Bagas merasa adrenalin mengalir saat ia berlari, menggiring bola, dan berusaha mencetak poin. Latihan berlangsung intensif; teriakan pelatih dan anggota tim lainnya terdengar bersahut-sahutan. Sesekali, Bagas bertukar pandang dengan April yang mengamati setiap gerakan dengan teliti.
“Bagas, lebih cepat lagi! Jangan kasih celah!” seru April saat Bagas berusaha menembus pertahanan Dion. Bagas mengangguk dan meningkatkan kecepatannya, berhasil melewati Dion dan mencetak poin.
Latihan itu berlanjut hingga senja mulai menjelang. Peluh bercucuran, napas mereka tersengal-sengal, namun semangat tak surut. Setiap pemain merasakan ketegangan yang sama, berusaha sekuat tenaga untuk menyempurnakan strategi tim.
“Bagus, semua. Kita akhiri di sini. Besok tunjukkan apa yang kita latih hari ini,” ujar April sambil bertepuk tangan, menyudahi latihan.
Tim membalas dengan sorakan kecil, saling memberi semangat sebelum bubar. Bagas duduk di pinggir lapangan, meneguk air dari botolnya sambil menatap langit senja. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa besok adalah momen penting bagi timnya—dan ia siap untuk memberi yang terbaik.