“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat Belas
Arini sudah memegang surat gugatan yang akan ia berikan pada Heru. Ia tidak mau lagi berlama-lama larut ke dalam drama yang Heru buat dengan Nuri. Biar saja mereka menikah secara sah, Arini tidak mau terlibat lagi dengan urusan mereka. Tidak peduli akan karier yang sedang naik, ia memikirkan kewarasan pikirannya. Biar saja orang berkomentaar apa tentag hidupnya, Arini sudah yakin dan matap, kalau dirinya tidak akan memedulikan ucapan orang nantinya.
Malam ini, Arini bersiap untuk pergi menemui orang tua Heru. Entah apa yang akan dibicarakan oleh ibu mertuanya itu. Paling tak jauh dari masalah Heru dan perempua itu.
Arini mendengar pintu rumahnya terbuka, sudah pasti itu Heru yang datang untuk menjemput dirinya. Terlihat Heru dengan Nuri masuk ke dalam rumahnya.
“Kamu sudah siap, Sayang?” tanya Heru pada Arini.
“Seperti yang kamu lihat,” jawabnya santai.
“Ayo kita berangkat sekarang,” ajak Heru.
Arini berjalan mendahului mereka, Heru berlari lalu membukakan pintu mobil bagian belakang, dan menyuruh Arini masuk ke dalam.
“Maaf aku bawa mobil sendiri, Her,” ucap Arini.
“Kok begitu? Kita akan berangkat bersama lho, Rin?”
“Gak perlu, Her. Kalian berdua saja,” ucap Arini.
Arini masuk ke dalam mobilnya. Ia tersenyum getir meratapi nasibnya sekarang, bahkan sekarang kedudukannya sudah tergeser oleh Nuri. Bisa-bisannya Heru menyuruh dirinya duduk di belakang.
Heru kesal degan sikap Arini yang cuek dengannya, bahkan satu mobil bersama dirinya saja Arini tidak mau.
“Kenapa sih Arini? Disuruh duduk di belakang saja gak mau! Harusnya dia ngalah dong! Aku kan lagi hamil, duduk di belakang aku mual!”
“Sudah, Nur. Lagian kamu lihat dia malah memilih pakai mobil sendiri. Sudah gak usah dipermasalahkan, dan tidak usah diperpanjang masalahnya.”
“Kamu sekarang gitu, ya? Belain dia!”
“Bukan gitu, Sayang? Aku gak mau ribut saja sama dia, karena biar jalan kita mudah untuk melangkah ke depan.”
“Terserah kamu deh, Mas!”
Nuri kesal, karena dari kemarin suaminya lebih mementingkan Arini. Padahal Arini cuek dan tidak merespon apa pun yang Heru lakukan, dengan alih-alih mengambil hati Arini supaya setuju kalau dirinya akan menikahi Nuri. Padahal Arini tidak peduli dengan itu semua, dan hari ini Arini sudah membulatkan tekadnya untuk memberikan gugatan cerai untuk Heru.
Mereka sudah sampai di kediaman orang tua Heru. Heru masuk bersama Arini dan Nuri, mereka disambut hangat oleh mamanya Heru.
“Bagaimana kabar kalian?”
“Baik, Ma,” ucap Heru.
“Rin ... mama kangen lho sama kamu? Kamu sibuk sekali sepertinya, sampai lupa tidak pernah ke sini. Nuri malah dia sering ke sini,” ucap Laras, ibu dari Heru.
“Iya aku sibuk, Ma. Nuri kan banyak waktu luangnya, banyak nganggurnya meski dia kerja. Kan gak pernah urus pekerjaan rumah? Gak kaya aku, kerja, pulangnya harus bergelut dengan pekerjaan rumah juga. Tapi sekarang tidak gitu, aku sudah menyewa asisten sekarang, Ma. Biar sampai rumah, rumahku sudah rapi, sudah ada masakan, akunya tinggal makan, lalu tidur,” ucap Arini dengan nada sombong.
“Oh bagus, ya? Di rumah ada pembantu juga sekarang? Gak sayang uangnya di buang-buang untuk bayar orang?”
“Enggak lah? Lagian aku kerja kan untuk menghidupiku? Untuk menyenangkan diriku?” jawab Arini ketus.
“Iya nih Arini, padahal kan masih bisa dikerjain kerjaan rumah sendiri? Ngapain pakai pembantu. Harusnya aku yang ada pembantu di rumah, aku kan sedang hamil, sedangkan kamu itu kan enggak bisa hamil? Bisa lah apa-apa dikerjakan sendiri?”
Ucapan Nuri benar-benar membuat Arini geram. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu.
“Kalau pengin punya pembantu, ya silakan saja. Heru suruh cari orang dong? Biar kamu gak kerepotan, kan lagi hamil? Biar jangan minta masakan di aku terus untuk kamu?” sarkas Arini.
“Sudah jangan berdebat, kita ke sini mau makan malam bersama!” tegas Heru.
“Iya benar, ayo langsung ke ruang makan saja,” ajar Laras.
Arini memilih duduk jauh dari Heru, mereka mulai makan bersama. Arini memilih diam saat ibu mertuanya mengajak Nuri bicara, dan sepertinya bahagia sekali akan mendapatkan calon menantu seperti Nuri, yang bisa memberikannya cucu.
“Ma, Papa gak pulang?” tanya Heru.
“Papamu itu kalau masih ada pekerjaan ya gak akan pulang,” jawab Laras.
“Kebiasaan Papa itu, padahal mau punya cucu dan menantu baru, malah gak mau pulang?” ucap Heru.
“Nanti mama bujuk papamu lagi,” ucap Laras.
“Mama sudah kasih tahu papa soal Nuri, kan?” tanya Heru.
“Jelas sudah dong? Papamu itu senang kamu akan punya anak, Her,” jawab Laras.
Arini hanya diam mendengarkan obrolan mereka. Akan dapat cucu, akan dapat menantu baru? Hah .... lucu sekali mereka, tidak mempedulikan persaan Arini sedikit pun.
“Oh ya, Rin, mama mau bicara sama kamu, soal Heru dan Nuri,” ucap Laras.
“Makan dulu ya, Ma? Makan gak boleh sambil ngobrol lho,” ucap Arini.
“Sok banget sih!” gerutu Nuri kesal.
“Kamu tahu adab kan, Nur? Makan itu tak boleh sambil ngobrol! Kamu harus tahu itu, kamu mau jadi ibu, nanti bisa ajarkan adab yang baik buat anakmu, biar gak sembarangan berbuat tidak baik,” sindir Arini.
Nuri mengepalkan tangannya kesal. Ia benar-benar ingin menampar Arini, dan menjambak rambutnya, tapi ia ingat kemarin saat wajah dan tangannya dicakar Arini.
Selesai makan malam, mereka duduk bersama di ruang keluarga. Mata Nuri memandang setiap sudut rumah Heru, memandang foto-foto yang terpajang di dinding.
“Itu papamu, Mas?” tanya Nuri.
“Ya itu papaku,” jawab Heru.
Nuri terus mengamati foto laki-laki yang gagah, mengenakan jas warna abu-abu, dan di sebalahnya foto mamanya Heru. Sedangkan Arini, dia masih diam, duduk dengan tenang sebelum ia melancarkan niatnya malam ini.
“Rin, mama mau bicara sama kamu soal Heru dan Nuri,” ucap Laras.
“Iya, silakan, Ma,” jawab Arini tenang.
“Nuri kan sudah hamil anaknya Heru, kalau mama minta kamu merestui mereka dan menyetujui pernikahan sah mereka gimana?” tanya Laras to the point, tak memikirkan perasaan Arini sedikit pun.
“Ehm ... gimana, ya?” ucap Arini.
“Rin, anak yang ada di dalam kandungan Nuri, butuh nama ayahnya di akta kelahiran, biar sah,” ucap Laras.
“Bukannya kalau hamil di luar nikah, tetap gak bisa ada nama ayahnya di dalam akta kelahiran ya, Ma? Tetap itu anak haram, hasil dari hubungan di luar nikah,” ucap Arini.
Nuri geram mendengar ucapan Arini, ingin sekali ia marah. Tapi ia tahan, biar nanti saja setelah dari rumah mamanya Heru, dia akan melampiaskan kemarahannya pada Arini.
“Ya tapi kan tetap bisa kalau kita urus sejak dini, dan kamu harus segera memberikan persetujuan mereka untuk nikah,” ucap Laras.
“Oke, aku setuju sih, aku restui mereka menikah sah,” ucap Arini lugas.
“Rin, kamu serius sayang? Terima kasih sayang,” ucap Heru dengan bahagia, ia langsung memeluk Arini dan menciumi pipi dan kening Arini.
“Ehm .... tapi aku minta syarat,” ucap Arini.
“Apa, Rin?”
“Ini syaratnya, silakan mas baca dan tanda tangani. Kalau tidak mau, tinggalkan perempuan itu, tidak ada pernikahan siri, apalagi pernikahan sah!” tegas Arini dengan memberikan amplop berwarna cokelat, bertuliskan Pengadilan Agama.
“Maksud kamu apa ini?!”
“Baca saja,” jawab Arini santai.
Heru membuka amplopnya, dia membaca poin demi poin yang ada di selembar kertas. Arini mengajukan gugatan cerai, benar-benar berani sekali menurut Heru.
“Aku gak akan menceraikan kamu!”
“Ya sudah, tinggalkan dia, tidak ada pernikahan siri, apalagi sah! Carikan dia laki-laki lain untuk menikahinya!” tegas Arini.
“Rin, aku ini mau tanggung jawab atas apa yang sudah aku perbuat padanya. Aku juga mencintainya, sama seperti aku mencintaimu!”
“Aku gak bisa berbagi suami! Kamu mau atau tidak mau tanda tangan, aku tetap melanjutkan gugatan ini! Aku sudah urus semua dengan pengacaraku!”
“Apa ini karena Raka?”
“Gak ada hubungannya dengan dia! Bahkan dia tidak tahu! Kalau tahu kamu dan dia sudah dipecat dari kantor, karena sudah membuat sakit sahabatnya!” jawab Arini.
Benar juga yang dikatakan Arini, kalau Raka tahu, pasti dia murka pada dirinya dan Nuri. Tapi, Raka tidak melakukan apa pun, bahkan dirinya sekarang naik jabatan.
“Aku cinta kamu, Rin. Aku gak mau pisah sama kamu.”
“Aku gak bisa, aku gak bisa berbagi suami, aku gak menerima perselingkuhan.”
“Arini, kamu ini harusnya sadar, kamu itu mandul, gak bisa hamil! Heru ingin punya anak, dan Nuri sedang mengandung anaknya. Kamu harusnya senang, kamu bisa belajar dari Nuri juga, kamu juga bisa merawat anak Nuri sama-sama,” ucap Laras.
“Iya aku memang mandul, tapi maaf, Ma, aku bukan baby sitter, dan aku perempuan biasa yang tidak mau dimadu! Mama paham, kan? Kalau ini menimpa mama bagaimana coba?”
Laras diam, iya kalau semua ini menimpa dirinya bagaimana? Lihat chat suaminya dengan perempuan lain saja Laras sudah geram, dan bertengkar hebat, apalagi suaminya sampai menghamili perempuan lain?
Namun, Laras tetap membujuk Arini, supaya tidak berpisah dengan Heru, dan Arini merestui mereka menikah sah. Hanya karena ambisinya ingin memiliki cucu.