Di balik kehidupan mereka yang penuh bahaya dan ketegangan sebagai anggota organisasi rahasia, Alya, Alyss, Akira, dan Asahi terjebak dalam hubungan rumit yang dibalut dengan rahasia masa lalu. Alya, si kembar yang pendiam namun tajam, dan Alyss, yang ceria serta spontan, tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan berubah drastis setelah bertemu Akira dan Asahi, sepupu yang memimpin di tengah kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azky Lyss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Jalan yang Sepi
Malam itu, jalanan diselimuti salju tipis yang perlahan jatuh, menciptakan suasana sunyi yang mencekam. Asahi dan Akira baru saja meninggalkan kafe setelah berbincang panjang, namun perjalanan pulang mereka terhenti di jalan yang sepi. Dua sosok muncul dari bayangan gelap, menghadang langkah mereka.
Sagaras berdiri di tengah jalan, senyum dingin menghiasi wajahnya. Di belakangnya, hanya satu pria berdiri, tenang namun tidak berniat terlibat. Asahi langsung mengenali musuh lamanya itu, dan seketika darahnya mendidih.
“Sagaras…” gumam Asahi, matanya menyala penuh kebencian dan ketegangan.
“Lama tidak bertemu, Asahi,” jawab Sagaras dengan nada santai, seolah mereka hanya berjumpa di tengah kota secara kebetulan, bukan musuh bebuyutan.
Tanpa perlu banyak bicara, ketegangan berubah menjadi pertarungan. Asahi maju tanpa ragu, mengepalkan tangan dengan erat. Akira, yang memahami emosi sahabatnya, memberi ruang dengan mundur perlahan, membiarkan Asahi menyelesaikan urusannya sendiri.
Sagaras yang terlihat percaya diri memulai dengan agresif. Ia menyerang lebih dulu, tendangannya keras menghantam perut Asahi yang terlambat menangkis. Asahi mundur beberapa langkah, merasakan tendangan itu cukup kuat untuk membuatnya terhuyung. Sagaras melanjutkan dengan serangkaian pukulan, mendominasi Asahi yang masih mencoba mengimbangi ritme serangannya.
“Masih lamban seperti dulu,” ejek Sagaras, sambil melayangkan pukulan ke arah wajah Asahi.
Asahi menghindar dengan susah payah, namun serangan Sagaras terus mengalir tanpa henti, menekan Asahi hingga tidak sempat membalas. Akira, yang mengamati dari pinggir jalan, tampak tegang, tapi ia percaya pada kemampuan Asahi. Ini bukan pertarungan pertamanya, dan ia tahu sahabatnya tidak akan menyerah semudah itu.
Sagaras terus mendominasi, setiap pukulan dan tendangan menghantam dengan presisi. Di satu sisi, Sagaras memang sudah merencanakan ini lama. Ia tahu kelemahan Asahi, dan malam ini, ia berencana memanfaatkannya. “Kau tidak pernah berubah, Asahi. Selalu terlambat.”
Asahi terjatuh ke tanah setelah sebuah tendangan menghantam rusuknya. Napasnya memburu, namun ia masih mencoba bangkit. Meski situasinya tampak buruk, matanya menyiratkan tekad untuk tidak menyerah.
“Aku belum selesai, Sagaras,” kata Asahi dengan nada rendah, mulai bangkit dari tanah, sambil memegang sisi rusuknya yang terasa nyeri. Sagaras tertawa kecil, tidak gentar sedikitpun.
Namun di mata Akira, ini baru awal dari pertarungan. Meski Sagaras mendominasi awalnya, ia tahu bahwa Asahi bukan tipe yang mudah dikalahkan—ia selalu kembali lebih kuat saat terpojok.
Suasana malam semakin mencekam ketika Asahi bangkit dengan susah payah. Walaupun ia merasakan sakit di tubuhnya, tekadnya untuk tidak kalah masih menyala. Sagaras melihatnya dengan sinis, siap melanjutkan serangan.
Sagaras melangkah maju, mengarahkan tendangan rendah ke arah kaki Asahi. Dengan refleks cepat, Asahi melompat sedikit ke samping, menghindari tendangan tersebut, tetapi Sagaras tidak memberi kesempatan untuk bernapas. Ia mengikuti dengan serangan pukulan cepat, mengincar wajah Asahi.
Pukulan pertama meleset, namun Sagaras dengan cepat menyusul dengan pukulan kedua. Kali ini, Asahi tidak bisa menghindar dan merasakan hantaman keras di pipinya. Sakitnya menjalar, tetapi ia tetap berdiri, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit.
“Apakah itu semua yang kau punya?” Sagaras mengejek, matanya bersinar dengan kebanggaan. “Kau seharusnya tahu lebih baik dari ini.”
Dengan penuh kemarahan, Asahi mengerahkan tenaga, berusaha mengubah arah pertarungan. Ia melancarkan serangan balasan, mencoba mengejar momentum. Dengan gerakan cepat, ia melayangkan jab ke arah wajah Sagaras. Namun, Sagaras, yang sudah mengenal gaya bertarung Asahi, berhasil menghindar dengan mudah.
Sagaras lalu merespons dengan serangkaian serangan yang lebih brutal. Ia mengayunkan tinjunya dengan cepat, mengincar perut dan wajah Asahi. Setiap pukulan yang mengenai Asahi membuatnya terhuyung, namun ia terus berdiri, berusaha tidak menunjukkan kelemahan.
“Datanglah, Asahi! Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan,” tantang Sagaras, merasakan semangatnya semakin meningkat saat melihat musuh lamanya itu berjuang.
Setelah menerima beberapa pukulan beruntun, Asahi memutuskan untuk mengambil langkah berani. Ia menunggu hingga Sagaras meluncurkan pukulan kembali, dan pada saat yang tepat, Asahi berusaha menangkap tangan Sagaras dan menariknya ke depan, berusaha menjatuhkannya.
Namun, Sagaras sudah siap. Dengan lincah, ia melepaskan tangannya dari cengkeraman Asahi, dan dalam gerakan yang cepat, ia melayangkan tendangan balik yang menghantam dada Asahi. Asahi terjatuh ke tanah, napasnya tercekat.
Melihat ini, Akira berusaha meraih perhatian Sagaras. “Berhenti, Sagaras! Ini bukan cara menyelesaikan masalah!”
Namun Sagaras hanya tersenyum sinis. “Biarkan dia merasakan sakit ini. Dia butuh pelajaran.”
Asahi terengah-engah, namun ia tidak menyerah. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha untuk bangkit kembali. Dalam hatinya, ia merasa sakit bukan hanya dari pukulan, tetapi juga dari semua kenangan masa lalu yang kembali menyerangnya—kenangan tentang persahabatan mereka yang dulunya erat, sekarang terpecah oleh kebencian dan persaingan.
Sagaras kembali menyerang, tapi Asahi kali ini lebih waspada. Ia menggunakan langkah-langkah defensif, mencoba membaca gerakan Sagaras. Dengan pelan-pelan, ia mulai menyesuaikan ritmenya.
Sagaras, merasa tertekan oleh perubahan ini, meningkatkan intensitas serangannya. Ia melayangkan tinju ke arah perut Asahi, dan saat Asahi mencoba menghindar, Sagaras dengan cepat berputar, menyusul dengan tendangan memutar yang menghantam pipi Asahi lagi.
"Nah, I'd win.. ", kata Sasaran sembari tersenyum sinis.
Asahi terhuyung kembali, tetapi kali ini ia berusaha memfokuskan pikirannya. Ia mengingat semua pelatihan yang telah dilalui, semua hal yang telah dipersiapkannya. Ia tidak boleh menyerah begitu saja.
Dengan napas dalam-dalam, Asahi bersiap untuk mengambil langkah baru. Ia harus memanfaatkan kelemahan Sagaras. Mungkin, jika ia bisa menarik Sagaras ke dalam pertarungan yang lebih strategis, ia bisa mendapatkan peluang untuk membalas.
Sagaras tidak menyadari bahwa Asahi sedang memikirkan rencananya. Dalam semangat pertarungan yang semakin meningkat, keduanya saling berhadapan dengan penuh tekad, berjuang tidak hanya untuk kemenangan, tetapi untuk menghadapi masa lalu yang menghantui mereka.