Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta yang Tak Pernah Usai.
Hari itu hujan deras. Angin menggugurkan daun-daun dari pohon di tepi jalan, membawa serta dingin yang meresap sampai ke tulang. Di tengah kesunyian yang nyaris total, sebuah mobil hitam melaju di jalan raya yang basah. Di balik kemudi, seorang pria berusia tiga puluhan duduk dengan tangan yang menggenggam erat setir. Wajahnya tegang, tatapannya tajam menerobos tirai air yang menghantam kaca depan mobilnya.
Andi, nama pria itu, terus memacu mobilnya menuju sebuah desa kecil di pinggiran kota, tempat yang sudah lama tak ia kunjungi. Dulu, desa itu penuh kenangan indah bersama Laras, wanita yang pernah menjadi bagian besar dari hidupnya.
Lima Tahun Lalu
“Jangan pergi, Laras. Aku mohon...” Andi meraih tangan Laras yang gemetar. Matanya memohon, penuh dengan kesedihan yang tak terungkapkan. Di depan mereka, koper besar Laras sudah tertutup rapat, menunggu untuk dibawa pergi.
“Aku harus pergi, Andi. Ini bukan tentang kita lagi,” Laras menjawab dengan suara bergetar, tapi tegas. “Kau tahu ini tidak akan pernah mudah. Kita telah mencoba segalanya, tapi…” Ia menunduk, air mata mulai menggenangi matanya. “Aku tidak bisa lagi.”
Andi menggeleng, menolak kenyataan yang berada di depan matanya. “Kita bisa memperbaikinya. Aku bisa berubah. Laras, aku mencintaimu. Jangan pergi...”
Laras terdiam sesaat, lalu menghapus air matanya dengan cepat. “Aku juga mencintaimu, Andi. Selalu mencintaimu. Tapi kadang cinta saja tidak cukup.” Dengan itu, Laras membalikkan badan dan pergi, meninggalkan Andi yang masih terdiam mematung di ambang pintu.
Hujan mulai turun saat Laras melangkah pergi, seolah alam ikut menangis bersama mereka.
Kembali ke Masa Kini
Andi memejamkan mata sejenak, mengusir kenangan pahit itu dari benaknya. Hatinya terasa seolah hancur kembali, meskipun sudah lima tahun berlalu sejak hari itu. Lima tahun penuh dengan keheningan, ketiadaan kabar dari Laras, dan ruang kosong di hatinya yang tak pernah bisa diisi oleh siapa pun. Hingga suatu malam, sebuah pesan datang di ponselnya, pesan yang datang dari seseorang yang tak ia duga—Laras.
"Aku butuh bicara denganmu. Ini penting. Tolong temui aku di tempat biasa, besok malam."
Tempat biasa. Andi tahu betul apa maksud Laras. Sebuah rumah tua di pinggir desa, tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Tempat itu menjadi saksi bisu dari cinta mereka yang dulu terasa begitu kuat, tak terpisahkan. Tapi mengapa sekarang, setelah semua waktu berlalu, Laras tiba-tiba ingin bertemu lagi?
Hujan belum berhenti ketika Andi sampai di desa itu. Desa yang dulu penuh kehidupan kini terlihat sepi dan hampir terlupakan. Rumah-rumah tua berdiri kokoh, meskipun tampak kusam dan tak terawat. Jalan setapak yang menuju ke rumah tua itu penuh dengan lumpur, membuatnya harus berhati-hati saat melangkah. Rasa was-was mulai merambat di hatinya, tapi ia tak bisa berhenti sekarang. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa takut yang memaksanya terus maju.
Sesampainya di depan rumah, Andi merasakan getaran aneh di udara. Rumah itu masih berdiri seperti yang ia ingat, tapi ada sesuatu yang berbeda. Jendela-jendelanya gelap, dan pintu depan yang sudah lapuk setengah terbuka, berderit tertiup angin.
“Laras?” Andi memanggil, tapi tak ada jawaban. Ia melangkah masuk, melewati lorong yang remang-remang. Bau lembab menyeruak ke hidungnya, dan suasana di dalam rumah itu begitu sunyi hingga detak jantungnya terdengar begitu jelas di telinganya. Di tengah ruangan, Andi berhenti sejenak. “Laras, di mana kamu?”
Suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Andi segera menoleh, dan di sana berdiri Laras. Wanita itu tampak persis seperti yang ia ingat. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya masih cantik meski ada kelelahan yang terlukis di sana. Tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Andi merasa tak nyaman—sebuah bayangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
“Andi,” suara Laras terdengar dingin, hampir tanpa emosi. “Terima kasih sudah datang.”
Andi menelan ludah. “Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba menghubungiku?”
Laras tidak segera menjawab. Ia berjalan mendekati jendela yang tertutup rapat, memandangi hujan di luar. “Banyak hal yang berubah, Andi. Setelah kita berpisah, hidupku tidak pernah benar-benar kembali seperti dulu.”
“Begitu juga denganku,” Andi menimpali, melangkah mendekat. “Tapi kenapa sekarang? Setelah lima tahun…”
Laras berbalik dan menatap Andi. Matanya penuh luka, tapi juga ada sesuatu yang lain di sana—ketakutan. “Aku merasa tidak punya pilihan lain. Ada sesuatu yang harus kau ketahui, sesuatu yang aku sembunyikan selama ini.”
Jantung Andi berdegup lebih cepat. “Apa maksudmu?”
Laras menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha mengumpulkan kekuatan. “Aku... aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu. Setiap malam, aku selalu kembali. Ke sini.”
Andi mengernyit. “Kembali? Laras, aku tidak mengerti.”
Laras terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Setelah aku pergi, sesuatu yang gelap mulai menghantuiku. Sesuatu yang bukan dari dunia ini.” Suaranya mulai gemetar. “Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin aku mencoba, semakin kuat bayangan itu. Dan sekarang, ia ingin mengambilmu juga.”
Andi merasa tubuhnya menjadi dingin. “Apa yang kau bicarakan?”
Laras menatap Andi dengan pandangan penuh kepedihan. “Bayangan itu... itu adalah cinta yang tak pernah usai, Andi. Cinta yang tak bisa menerima akhir. Ia mengikutiku kemanapun aku pergi, membawaku kembali ke sini. Dan sekarang, ia menginginkanmu.”
Langit di luar semakin gelap. Angin kencang berdesir di luar jendela, membuat suasana semakin mencekam. Andi merasa sesuatu merayap di belakangnya, membuat bulu kuduknya berdiri. “Laras, ini gila. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi kita harus pergi dari sini.”
Laras tersenyum lemah, sebuah senyum yang penuh kesedihan. “Sudah terlambat, Andi. Ia sudah di sini.”
Tiba-tiba, lampu di ruangan itu padam, membuat segalanya tenggelam dalam kegelapan total. Andi merasakan hawa dingin menyelimutinya, dan suara bisikan samar mulai terdengar, seolah ada sesuatu yang bergerak di sekeliling mereka.
“Laras!” Andi berteriak, tapi tak ada jawaban.
Sebuah bayangan muncul di sudut ruangan, semakin lama semakin jelas. Bayangan itu bukan manusia, melainkan bentuk hitam pekat yang bergerak tanpa suara, seolah-olah menembus kegelapan itu sendiri. Andi merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Bayangan itu mendekat, dan di saat yang sama, Laras berbisik di telinga Andi, “Cinta itu tidak pernah mati, Andi. Ia akan terus mengejar kita, sampai kapan pun.”
Dan di tengah kegelapan yang mencekam itu, Andi menyadari satu hal—cinta yang tak pernah usai bisa menjadi kutukan yang lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.
Keesokan paginya rumah tua itu ditemukan dalam kondisi yang sama. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tapi di tengah ruangan utama, ada dua nama yang terukir di lantai kayu yang sudah lapuk: Andi dan Laras. Seolah-olah cinta mereka memang tak pernah benar-benar berakhir—terperangkap di antara dunia yang nyata dan yang tidak.