(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pewaris Tunggal
Siang menjelang sore, di sebuah cafe yang terletak di dalam rumah sakit. Marchel dan salah seorang temannya sedang menikmati makan siangnya sambil mengobrol seru. Kedua dokter tampan itu seperti magnet yang selalu dapat menyihir wanita-wanita di luar sana. Marchel yang memiliki ketampanan mendekati sempurna itu selalu menjadi pusat perhatian. Namun, laki-laki itu selalu mengabaikan lirikan orang-orang di luar sana.
"Kau pernah dengar, desas desus yang beredar di rumah sakit ini?" tanya Willy, salah satu teman Marchel yang juga berprofesi sebagai Dokter Obgyn.
"Yang mana?" sahut Marchel.
"Status kepemikan rumah sakit ini..."
"Oh, dengar! Tapi aku tidak peduli," jawab Marchel dengan santainya. "memang kenapa?"
Willy menghela napas panjang, "Perebutan harta selalu terjadi di kalangan keluarga kaya. Bayangkan jika aset keluarga Darmawan jatuh ke tangan Pak Herdian, aku tidak bisa bayangkan akan seperti apa jadinya rumah sakit ini."
Marchel mendengarkan celotehan temannya itu, namun enggan menanggapinya. Bagi laki-laki itu segala sesuatu yang bukan urusannya tidaklah penting.
"Memang, apa yang akan terjadi?"
"Kita semua tahu, seperti apa dia. Bayangkan saja jika dia menjadi bos kita."
"Aku tidak peduli." Marchel kembali menikmati makan siangnya dengan lahap.
"Sayang sekali, pewaris tunggal yang sebenarnya di kerajaan Darmawan Group tewas dalam kecelakaan. Dan jasadnya tidak ditemukan."
Marchel mengerutkan alisnya mendengar ucapan Willy. Dia belum pernah dengar sebelumnya jika keluarga Darmawan, pemilik rumah sakit tempatnya bekerja memiliki seorang pewaris.
"Pewaris tunggal? Maksudnya?" tanya Marchel.
Willy menengok ke kanan dan kiri, seperti sedang mengamati keadaan, lalu sedikit membungkuk dan bicara dengan nada seperti berbisik.
"Iya, sebenarnya Darmawan Group punya seorang pewaris. Dua belas yang tahun lalu, saat Surya Darmawan tewas dalam sebuah kecelakaan, anak tunggalnya dinyatakan hilang, kemungkinan hanyut di sungai. Kalau tidak salah anaknya perempuan. Seandainya dia masih hidup, dia akan jadi jutawan cilik. Kau bisa bayangkan seberapa kaya kerajaan Darmawan Group. Rumah sakit ini dan sekolah istrimu hanya sebagian kecil dari aset miliknya. Dan anak perempuan yang hilang itu adalah pewaris satu-satunya." lanjut Willy.
Marchel manggut-manggut mendengar penjelasan temannya itu, walaupun sebenarnya ia tidak tertarik. Namun, membicarakan aset keluarga Darmawan yang jumlahnya tidak terhitung itu, adalah pembahasan menarik bagi sebagian orang. Apalagi perebutan harta warisan yang sedang terjadi di keluarga itu.
"Bukankah Pak Herdian juga berhak mendapatkan warisan itu? Dia kan anak Tuan Haris Darmawan juga."
"Apa kau tidak tahu kalau Pak Herdian hanya seorang anak tiri? Tuan Haris Darmawan hanya punya satu anak, yaitu Surya Darmawan, beliau juga hanya punya satu anak. Dan anak perempuannya itulah yang hilang 12 tahun lalu."
"Kasihan sekali," kata Marchel, lalu meneguk air mineralnya.
"Sekarang Pak Herdian dan Pak Arman sedang mendebatkan tentang pewaris Darmawan Group. Pak Arman adalah orang kepercayaan Tuan Surya. Dia yakin putri Tuan Surya masih hidup. Selama jasad anak itu tidak temukan, dia akan tetap meyakini anak itu masih hidup."
Sejenak, Marchel mengalihkan pandangannya pada Willy, "Ternyata menarik juga membicarakan masalah orang kaya. Pantas kau begitu senang membahasnya."
"Haha, aku hanya membayangkan jika saja anak itu masih hidup, sekarang usianya pasti sudah 17tahun. Aku yakin dia akan menjadi incaran setiap laki-laki. Siapa yang tidak mau menjadi suami miliarder cilik sepertinya."
"Dasar kau ini!" gumam Marchel.
"Kalau saja dia masih hidup, akan aku putuskan semua pacarku dan mengejarnya."
"Haha, dan kesialanmu karena anak itu sudah meninggal," ujar Marchel seraya tergelak pelan.
Mereka terus mengobrol panjang lebar membicarakan gosip yang simpang siur di kalangan para pekerja di rumah sakit itu. Hingga akhirnya tanpa terasa hari beranjak sore. Marchel melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. "Aku harus pergi! Aku duluan, ya..."
"Kau akan langsung pulang?" tanya Willy.
"Tidak! Aku akan ke klinik dulu. Aku ada janji dengan pasienku." Marchel kemudian berdiri lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari cafe yang berada di dalam rumah sakit itu, menuju area parkir rumah sakit.
Beginilah seorang Dokter Marchel menjalani kehidupan sehari-harinya. Setelah pulang dari rumah sakit, dia akan langsung menuju kliniknya yang tak jauh jaraknya dari rumah sakit tempatnya bekerja. Sehingga pertemuannya dengan Sheila hanya saat sarapan dan mengantarnya sekolah.
Marchel tidak pernah tahu dan seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan Sheila di rumah nya, walaupun sang ibu memperlakukan Sheila seperti sampah.
Sungguh, gadis itu sangat malang. Di rumah, mendapat perlakuan buruk dari ibu mertuanya, dan di sekolah, hanya menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Terlebih, Marchel yang seharusnya menjadi tempatnya mengadu, malah mengabaikan dan tak menganggapnya ada.
*****
Malam hari...
Mobil milik Marchel berhenti di halaman rumah. Laki-laki itu melirik arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dia melihat rumahnya yang sebagian lampu sudah dipadamkan.
Marchel mengusap wajahnya, lalu mengurut pangkal hidungnya. Laki-laki itu kemudian menyandarkan punggungnya, berharap lelahnya berkurang.
Setelah beberapa menit melepas lelah, laki-laki itu turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. Marchel segera menapaki tangga dengan langkah yang sedikit malas akibat lelah yang mendera-nya. Saat melewati kamar Sheila, dia berhenti sejenak, terdiam beberapa saat seperti sedang memikirkan sesuatu. tangan kanannya memegang gagang pintu itu, lalu memutarnya.
Dengan langkah pelan, Marchel memasuki kamar sang istri yang telah tidur. Hanya lampu tidur yang menyala, sehingga pencahayaan di kamar itu menjadi temaram. Marchel mendekat ke tempat tidur dan menatap wajah gadis kecil itu lekat-lekat.
Ada perasaan aneh yang dirasakan Marchel melihat wajah gadis itu.
Pertama kalinya Marchel melihat wajah Sheila tanpa kacamata tebal yang selalu melekat di matanya. Laki-laki itu begitu terpaku dengan wajah polos gadis yang sedang tertidur itu. Rambut panjangnya yang terurai, bulu mata lentik yang begitu indah, serta hidung mancung dan mungil itu begitu menyatu dalam wajahnya.
Ragu-ragu, Marchel mengangkat tangannya, mengusap puncak kepala gadis belia itu, turun ke wajah.
Maafkan aku, Sheila. Aku begitu merasa sakit akan kepergian Shanum. Sehingga aku melupakanmu. Aku belum bisa menerimamu sebagai istriku. Ini masih terlalu berat untukku. batin Marchel.
Setelah puas memandangi wajah polos itu, Marchel melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu, lalu segera kembali ke kamarnya yang tidak jauh dari kamar Sheila.
Di kamar itulah, Marchel terduduk merenung seorang diri, dengan memandangi foto-fotonya bersama Shanum. Gadis yang paling dicintainya. Laki-laki itu tenggelam dalam kesedihannya yang mendalam.
Kepergian Shanum seakan membuat dunianya terhenti.
"Maafkan aku, Shan! Aku tidak bisa menjaga adikmu dengan baik. Aku belum bisa menerima semua ini. Ini masih sangat sulit untukku."
*****