Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Provokasi Di Tengah Aksi
Keesokan paginya, suasana kampus sudah terasa berbeda. Para mahasiswa tampak lebih gelisah dari biasanya. Ada desas-desus tentang aksi besar-besaran yang akan terjadi hari itu, dan semua mata tertuju pada para aktivis yang diam-diam mulai memobilisasi massa. Di berbagai sudut kampus, mahasiswa berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berbicara dengan nada serius, seolah ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi.
Haki, yang sejak pagi sudah tiba di kampus, bergerak cepat. Ia berjalan dari satu fakultas ke fakultas lain, bertemu dengan mahasiswa yang telah dia ajak bergabung dalam gerakan mereka. "Kita harus hati-hati," bisiknya kepada salah satu rekrutan dari Fakultas Ekonomi. "Mereka udah mulai curiga sama pergerakan kita, jadi kita harus siap dengan segala kemungkinan."
Di sudut lain kampus, Dito berada di perpustakaan, duduk di depan laptopnya dengan wajah serius. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, memastikan bahwa setiap kanal media sosial yang mereka gunakan tetap aktif, meskipun pemerintah telah mulai memblokir beberapa platform. "Kita harus lebih cepat dari mereka," gumam Dito sambil mengamati bagaimana beberapa akun media sosial mahasiswa mulai diblokir.
“Gue bakal pastiin kita tetap ada di mana-mana,” katanya dalam hati, sambil terus memantau jaringan dan mencari cara untuk menyebarkan informasi tanpa terdeteksi. Ia sudah mengatur server-server alternatif dan menggunakan beberapa jaringan yang lebih aman untuk menjaga konten mereka tetap hidup.
Di jurusan Teknik, Yudi berdiri di depan sekelompok mahasiswa yang siap untuk turun ke jalan. Mereka semua mengenakan jaket berwarna hitam, simbol solidaritas yang telah mereka sepakati. "Ingat, kita nggak cuma turun buat teriak-teriak. Kita turun untuk membuat perubahan," ujar Yudi dengan nada tegas. "Kalau kita solid, mereka nggak akan bisa melawan kita."
Mahasiswa-mahasiswa Teknik itu mengangguk dengan serius, siap menghadapi segala risiko. Mereka tahu, apa yang akan mereka lakukan bukan hanya sekedar aksi protes biasa. Ini adalah momen di mana mereka akan menghadapi kekuatan yang lebih besar, tapi mereka yakin bahwa bersama, mereka bisa membuat perbedaan.
Di Fakultas Hukum, Mayuji berada di ruangan kecil bersama beberapa temannya. Mereka semua sibuk menyusun argumen hukum yang bisa mereka gunakan jika aksi hari itu berujung pada bentrokan dengan aparat. "Gue udah siapin dokumen ini. Kalau ada yang ditangkap atau ditahan, kita punya dasar hukum untuk menentang penangkapan itu," kata Mayuji dengan tenang namun penuh keyakinan.
Teman-temannya membaca dokumen itu dengan saksama. Mereka semua tahu bahwa pergerakan ini bisa mengakibatkan tindakan represif dari pemerintah. Namun, dengan dasar hukum yang kuat, mereka merasa siap untuk melawan.
Di sisi lain, Luvi sudah bersiap di studio kecilnya, merekam pesan terakhir sebelum mereka turun ke jalan. "Hari ini, kita nggak akan tinggal diam," katanya dengan penuh semangat di depan kamera. "Ini bukan lagi soal satu kampus atau satu undang-undang. Ini soal masa depan kita semua. Kalau kita nggak bertindak sekarang, kita akan terus ditindas."
Setelah selesai merekam, Luvi segera mengunggah video tersebut, memastikan bahwa pesan itu menyebar sebelum aksi dimulai. Ia kemudian mematikan laptopnya dan bersiap bergabung dengan teman-temannya di jalan.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika mereka semua bertemu di lapangan utama kampus. Ribuan mahasiswa sudah berkumpul, sebagian dengan spanduk dan poster yang menyerukan kebebasan berekspresi, sebagian lagi mengenakan simbol-simbol perlawanan yang mereka buat sendiri. Ada ketegangan di udara, tapi juga ada semangat yang sulit disembunyikan.
“Ini dia, momen yang kita tunggu,” kata Haki dengan mata berkilat-kilat saat dia melihat jumlah mahasiswa yang terus bertambah. “Kita nggak sendirian.”
Luvi berdiri di sampingnya, menatap kerumunan yang begitu besar. “Mereka semua siap. Ini lebih dari yang gue bayangkan.”
Dito, Yudi, dan Mayuji bergabung dengan mereka, membawa kabar baik dari fakultas mereka masing-masing. “Kita udah siap,” kata Dito dengan suara pelan namun tegas. “Tapi kita harus hati-hati. Gue denger polisi udah mulai berjaga di sekitar kampus.”
Haki mengangguk, “Kita harus tetap damai. Aksi kita bukan buat bikin kerusuhan, tapi buat ngirim pesan. Kalau mereka nyoba nyerang, kita harus siap buat bertahan.”
Mahasiswa-mahasiswa mulai bergerak, berjalan perlahan menuju pusat kota di bawah pengawasan aparat keamanan yang sudah mulai berdiri di sepanjang jalan. Mereka membawa spanduk besar yang bertuliskan, “Kebebasan Berekspresi adalah Hak Kami!” Teriakan-teriakan mereka mulai menggema, semakin keras seiring dengan semakin banyaknya mahasiswa yang bergabung.
“Ini dia,” gumam Luvi, sambil meraih kamera kecilnya dan mulai merekam momen bersejarah ini. “Kita bakal bikin dunia denger suara kita.”
---
Mahasiswa terus bergerak menyusuri jalanan, semakin banyak yang bergabung dengan mereka di sepanjang perjalanan. Teriakan mereka semakin keras, dan suasana semakin memanas. Di barisan depan, Haki, Dito, Luvi, Yudi, dan Mayuji berjalan dengan langkah mantap, memimpin massa mahasiswa. Mereka telah mempersiapkan diri untuk momen ini selama berminggu-minggu, dan kini semua perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil.
Spanduk besar yang mereka bawa menjadi simbol perlawanan. Kata-kata seperti "Kebebasan Berekspresi adalah Hak Kami" dan "Tolak Rezim yang Menindas!" terpampang jelas di atas kain putih yang dipegang oleh beberapa mahasiswa. Mereka tahu, dunia sedang menonton, dan pesan mereka harus terdengar.
Di kejauhan, barisan aparat keamanan mulai terlihat. Mereka berdiri berjaga dengan senjata lengkap, memantau setiap gerak-gerik mahasiswa. Suasana tegang mulai terasa di antara barisan mahasiswa, namun tidak ada yang berniat mundur. Mereka terus bergerak, meskipun tatapan dingin dari aparat semakin mengintimidasi.
“Gue rasa mereka bakal nyoba provokasi kita,” bisik Dito kepada Haki sambil melirik ke arah aparat. “Kita harus tetap tenang.”
Haki mengangguk, merasa bahwa ketegangan semakin meningkat. Ia tahu, jika mereka terpancing oleh provokasi aparat, aksi damai ini bisa berubah menjadi kekacauan. “Ingat, kita nggak boleh terpancing. Ini harus tetap damai,” kata Haki dengan tegas kepada mahasiswa-mahasiswa di sekitarnya.
Luvi, yang terus merekam dengan kamera kecilnya, menjaga jarak dari barisan depan. Ia tahu betapa pentingnya momen ini, dan ia ingin memastikan bahwa setiap detik terekam dengan baik. Di dalam hatinya, ada sedikit rasa takut, tapi semangatnya untuk melihat perubahan membuatnya terus maju.
Di tengah kerumunan, Mayuji berjalan dengan langkah cepat menuju mahasiswa-mahasiswa hukum yang telah ia rekrut. Mereka semua membawa dokumen hukum yang siap digunakan jika situasi menjadi tidak terkendali. “Kita harus siap dengan argumen kita. Kalau ada yang ditahan atau diserang, kita bisa langsung memberikan pembelaan hukum,” katanya kepada mereka dengan nada serius.
Yudi, yang berada di sisi lain kerumunan, terus memantau barisan mahasiswa Teknik yang ia rekrut. Ia tahu bahwa banyak dari mereka yang mudah terpancing emosi, dan ia harus memastikan bahwa mereka tetap tenang. “Ingat, kita nggak boleh bikin kerusuhan. Kita di sini buat menyuarakan keadilan, bukan buat bikin masalah,” kata Yudi sambil menepuk pundak salah satu temannya.
Ketika mereka tiba di pusat kota, suasana semakin panas. Di depan gedung pemerintahan, barisan aparat keamanan semakin ketat, membentuk penghalang besar yang memisahkan mahasiswa dengan gedung tersebut. Mahasiswa-mahasiswa berdiri diam di hadapan mereka, memegang spanduk dan poster, sambil meneriakkan tuntutan mereka dengan penuh semangat.
“Hari ini, kita tunjukkan kalau kita nggak takut!” teriak Haki dari barisan depan. “Ini hak kita untuk bersuara, dan mereka nggak bisa membungkam kita lagi!”
Teriakan dukungan dari ribuan mahasiswa lainnya bergema di sekitar mereka, menciptakan suasana yang begitu kuat. Namun, di tengah semangat itu, sebuah momen tak terduga terjadi. Salah satu aparat keamanan tiba-tiba bergerak maju, mencoba memprovokasi mahasiswa di barisan depan dengan sikap agresif. Ia mendorong salah satu mahasiswa dengan kasar, yang langsung memicu reaksi dari beberapa orang di sekitarnya.
“Jangan terpancing!” teriak Dito dengan nada cemas, melihat situasi yang mulai memanas. Namun, mahasiswa yang didorong itu terlihat marah dan hampir membalas. Ketegangan semakin terasa di udara.
Luvi, yang berada di belakang, langsung menyadari bahaya yang mengintai. Dengan cepat, ia meraih kameranya dan merekam momen tersebut, berharap bahwa dokumentasi ini bisa menjadi bukti jika terjadi sesuatu yang buruk. “Kita nggak bisa kalah di sini,” gumamnya sambil terus memutar kamera, menangkap setiap detik dengan cermat.
Yudi bergerak cepat untuk menenangkan mahasiswa-mahasiswa di sekitarnya. “Tetap tenang! Jangan terpancing! Ini yang mereka mau!” teriaknya sambil berusaha menarik teman-temannya yang mulai terpancing emosi.
Namun, provokasi aparat semakin menjadi. Beberapa dari mereka mulai menggunakan tameng untuk mendorong mundur barisan mahasiswa. Tindakan agresif ini memicu ketegangan yang lebih besar, dan beberapa mahasiswa di barisan belakang mulai kehilangan kesabaran. Teriakan-teriakan perlawanan semakin keras, dan suasana damai mulai berubah menjadi kacau.
“Apa yang harus kita lakuin sekarang?” bisik seorang mahasiswa kepada Haki.
“Kita harus tetap damai. Tapi kalau mereka terus serang kita, kita harus siap untuk bertahan,” jawab Haki dengan nada tegas, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa situasi semakin sulit dikendalikan.
Di sisi lain kerumunan, Mayuji yang melihat situasi ini segera menghubungi beberapa pengacara yang sudah siap membantu. “Mereka mulai menyerang kita. Kalau ada yang ditangkap, kita harus siap dengan argumen kita,” katanya sambil berusaha tetap tenang.
Situasi semakin genting, dan semua orang tahu bahwa apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan akan menentukan nasib aksi ini.
---