Kembali lagi mommy berkarya, Semoga kalian suka ya.
Mahreen Shafana Almahyra adalah seorang ibu dari 3 anak. Setiap hari, Mahreeen harus bekerja membanting tulang, karena suaminya sangat pemalas.
Suatu hari, musibah datang ketika anak bungsu Mahreen mengalami kecelakaan hingga mengharuskannya menjalani operasi.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Mahreen, sebelum dia menandatangani surat persetujuan operasi.
"500 juta, Bu. Dan itu harus dibayar dengan uang muka terlebih dahulu, baru kami bisa tindak lanjuti," terang Dokter.
Mahreen kebingungan, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Hingga akhirnya, pertolongan datang tepat waktu, di mana CEO tempat Mahreen bekerja tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tak pernah Mahreen duga sebelumnya.
"Bercerailah dengan suamimu, lalu menikahlah denganku. Aku akan membantumu melunasi biaya operasi, Hanin," ucap Manaf, sang CEO.
Haruskah Mahreen menerima tawaran itu demi Hanin?
Atau, merelakan Hanin meninggal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Om Manaf
Tatapan mata Hanin tak lepas dari Manaf, yang kini berdiri di samping ibunya. Wajah mungilnya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam. Mahreeen tahu betul, anak kecil itu pasti bertanya tanya siapa pria yang kini membantu mereka. Dengan lembut, Mahreeen duduk di samping Hanin, mengusap kepala putri kecilnya.
“Sayang, ini Om Manaf. Orang baik yang sudah bantu Hanin dan Ibu. Kita harus berterima kasih, ya?” ucap Mahreeen.
Hanin memiringkan kepalanya, menatap ibunya, lalu kembali melihat Manaf.
“Om Manaf? Kok Hanin belum pernah ketemu?” tanyanya dengan polos.
"Hanin memang baru bertemu dengannya, tapi Ibu sudah mengenalnya. Salim dulu sama Om Manaf, Hanin," pinta Mahreeen.
"Manaf," bisik Mahreeen kala Hanin mengulurkan tangannya untuk salam pada Manaf.
Manaf tersenyum gugup, meski ada rasa takut yang tak bisa dia hilangkan. Sentuhan wanita, bahkan meski sekadar berjabat tangan, selalu membuat tubuhnya bereaksi buruk. Tapi melihat Mahreeen yang memberi isyarat agar dia mendekat, Manaf akhirnya menahan diri dan mencoba menenangkan hatinya. Dia pun menunduk sedikit, mengulurkan tangan ke arah Hanin membalasnya dan telah di cium telapak tangannya.
“Hai, Hanin. Maaf ya, Om baru bisa ketemu sekarang.” ucapnya. Walau dalam hatinya jangan di tanyakan lagi.
Untung aku bawa obat, batin Manaf.
Manaf merasakan degupan jantungnya semakin kencang. Namun, tak ada reaksi dari tubuhnya. Tak ada gatal-gatal atau bercak merah seperti biasanya.
Aneh, kenapa tidak ada reaksi? pikir Manaf, matanya sempat melirik Mahreeen, yang tersenyum penuh kebahagiaan.
Sementara itu, Hanin menyipitkan matanya ke arah Manaf. “Om, kok Om gak kayak yang di cerita Ibu? Katanya Om sibuk terus. Tapi kok Om bisa datang ke sini?” tanyanya polos, mengedipkan mata beberapa kali.
Mahreeen tertawa kecil dan mengelus pipi Hanin.
“Om Manaf lagi libur, sayang. Makanya sekarang dia bisa menemani Hanin dan bantu kita,” jawabnya dengan lembut.
"Oh, gitu..." Hanin mengangguk angguk, seakan mengerti, meski wajah kecilnya masih penuh rasa penasaran.
"Mahreeen aku ke kamar kecil sebentar," ucap Manaf. Dirinya harus segera mengecek tubuhnya.
Hanya menganggukkan kepalanya Mahreeen. Dengan cepat Manaf pergi. Setelah itu, Mahreeen mengambil ponselnya.
"Sekarang kita VC sama Kakak kakak di rumah, ya? Mereka pasti senang lihat Hanin udah baikan," ucap Mahreeen sambil mempersiapkan panggilan video untuk anak anaknya di Indonesia.
Tak lama kemudian, wajah dua kakak Hanin muncul di layar. “Assalamualaikum, Rasya dan Chana!” sapa Mahreeen dengan senyum lebar.
“Waalaikumsalam, Ibu!” jawab kompak keduanya bersamaan, suara mereka terdengar penuh kegembiraan.
"Bagaimana Hanin? Dia udah sadar?" tanya kakak pertamanya dengan nada penuh harap.
“Udah, Kak,” jawab Mahreeen dengan mata berkaca kaca. “Alhamdulillah, Hanin sudah sadar. Masih lemah, tapi dia kuat. Tuh, lihat, dia ada di sini,” lanjutnya sambil mengarahkan kamera ke arah Hanin.
“Kakak!” Hanin melambaikan tangannya lemah ke arah layar. “Hanin kangen sama Kakak...” lanjutnya
“Kami juga kangen banget sama kamu, Hanin! Syukur alhamdulillah, kamu udah sembuh. Allah sayang sama kita,” ucap Rasya, suaranya bergetar karena menahan tangis bahagia.
Air mata Mahreeen mulai mengalir perlahan.
“Ibu juga bersyukur, Nak. Kita semua berdoa, dan Allah mendengar doa kita. Terima kasih sudah jadi anak anak yang kuat dan sabar,” ucap Mahreeen, penuh haru.
"Kalian di asrama apakah betah, Nak?" tanya Mahreeen.
"Betah, Bu. Ga ada lagi Bapak yang suka minta ini dan itu," jawab Chana polos.
"Betah Bu, disini sangat teratur Bu. Semuanya sangat disiplin," jelas Rasya.
"Alhamdulillah, Ibu sangat senang mendengarnya. Ya sudah kalian belajar yang rajin dan tekun. Jangan membuat masalah disana, Ibu akan lama pulang menunggu Hanin sembuh total dulu," ucap Mahreeen.
"Iya, Bu," kembali kompak keduanya menjawab.
Setelah percakapan itu selesai, Mahreeen mengakhiri panggilan video. Namun, saat dia menoleh, Manaf belum juga keluar dari kamar mandi. Hatinya mulai cemas. Dia berusaha untuk tidak berpikir yang macam macam, tapi rasa khawatir tetap muncul.
Apa Manaf baik baik saja?batinnya penuh tanya.
“Om Manaf mana, Bu?” tanya Hanin dengan suara kecil, menarik perhatian ibunya.
“Om Manaf lagi di kamar mandi, sayang. Mungkin dia butuh waktu sebentar,” jawab Mahreeen lembut.
“Hanin lapar, Bu. Hanin mau makan sekarang,” rengek Hanin.
“Baiklah, Ibu ambilkan makanan dulu, ya,” ucap Mahreeen sambil beranjak menuju meja kecil di samping tempat tidur Hanin. Setelah mengambil makanan, dia duduk kembali di samping putrinya dan mulai menyuapi Hanin.
“Om Manaf baik banget, ya, Bu?” Hanin tiba tiba bertanya sambil menyuapkan sendok nasi ke mulutnya.
“Iya, sayang. Om Manaf sudah bantu kita banyak sekali. Makanya kita harus selalu berterima kasih dan mendoakan dia,” jawab Mahreeen sambil tersenyum, meskipun pikirannya masih tertuju pada Manaf di kamar mandi.
“Om Manaf teman baik Ibu?” tanya Hanin lagi, matanya menatap ibunya dalam dalam.
“Iya, Om Manaf teman yang baik,” jawab Mahreeen sambil menepuk tangan kecil Hanin yang menggenggam sendok.
Sementara itu, di dalam kamar mandi, Manaf masih berusaha menenangkan dirinya. Sentuhan tangan Hanin tadi membuatnya merasa aneh.
"Kenapa aku bisa menyentuhnya tanpa ada reaksi apa pun? Apa yang sebenarnya terjadi?" lirihnya yang terus bertanya tanya.
"Viktor! Aku tadi bersentuhan dengan anak Mahreeen yang sakit, kamu tahu apa yang terjadi saat ini padaku?" tanya Manaf lewat telp.
"Tidak! Cepat katakan aku sibuk, Manaf!" pintanya yang memang akan sedang ada pasien.
"Huf, kamu ini. Baiklah! Aku tidak ada ruam dan bintik bintik, mual juga tidak," jelas Manaf.
"Baguslah," jawab viktor.
"Maksudmu?" tanya Manaf.
"Nanti aku telp lagi," ucap Viktor yang di putusnya telp tersebut.
"Shit!!! Buat aku penasaran saja, tapi baguslah aku tidak kambuh," ucap Manaf.
Beberapa menit berlalu, dan Mahreeen semakin khawatir. Setelah memastikan Hanin beristirahat, dia berjalan menuju kamar mandi dan mengetuk pintunya pelan.
“Manaf, kamu baik baik saja?” tanyanya lembut.
Setelah beberapa ketukan, pintu kamar mandi akhirnya terbuka perlahan. Manaf keluar dengan wajah pucat namun matanya penuh syukur. Tanpa berkata apa apa, dia langsung memeluk Mahreeen erat, seolah tidak ingin melepaskannya.
“Terima kasih, Mahreeen. Terima kasih banyak,” bisik Manaf penuh rasa syukur.
Kenapa dengan Manaf? Keluar dari kamar mandi langsung memelukku? Apa yang terjadi saat di dalam sana?
Apa aku harus melepaskan pelukannya ini? Takut Hanin terbangun dan menanyakan ini, aku jujur belum siap untuk memberitahukan ini pada anak anak semuanya. Terlebih Hanin, yang memang alasan utamaku ini karena dia.
Apakah Hanin akan menerimanya? Bagaimana dengan Rasya dan Chana? Ya Allah terlalu pelik hidupku ini. Batin Mahreeen.
...****************...
Hi semuanya, jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya.
bentar lagi up ya di tunggu
Yang suka boleh lanjut dan kasih bintang ⭐⭐⭐⭐⭐
Dan yang ga suka boleh skip aja ya.
Terima kasih para raiders ku.