Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Hari itu Delisa sedang duduk di taman belakang rumahnya, mencoba menyelesaikan tugas sekolah yang menumpuk. Namun pikirannya terus melayang pada Azka. Setelah beberapa hari sejak kunjungan terakhir ke rumah Azka, ia merasa hubungan mereka semakin harmonis. Tetapi, Delisa tidak bisa menghilangkan rasa khawatir—seolah sesuatu yang tidak terduga akan terjadi.
Saat itu ponselnya berbunyi, menampilkan nama Azka di layar. Senyumnya langsung merekah, ia segera mengangkatnya.
"Halo, Ka," sapanya lembut.
"Halo, Del. Kamu sibuk nggak?" tanya Azka. Suaranya terdengar biasa, tetapi Delisa bisa menangkap sedikit nada tegang.
"Nggak kok, kenapa? Ada apa?"
Azka terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku cuma pengin ngobrol. Nanti aku jemput ya? Kita ketemu di tempat biasa."
Delisa mengangguk meskipun Azka tidak bisa melihatnya. "Baiklah. Aku siap-siap dulu."
Azka menjemput Delisa di rumahnya sekitar pukul empat sore. Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kafe kecil di dekat sekolah, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Namun, kali ini suasana terasa berbeda. Azka terlihat gelisah, dan hal itu tidak luput dari perhatian Delisa.
"Ka, kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Delisa sambil menatapnya dengan cemas.
Azka menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Del, aku cuma pengin bilang kalau mungkin beberapa minggu ke depan aku bakal jarang bisa ketemu kamu."
Delisa tertegun. "Kenapa? Ada apa, Ka?"
"Papahku butuh bantuan lebih banyak di rumah. Setelah kecelakaan kemarin, beliau jadi lebih berhati-hati dengan pekerjaan dan meminta aku untuk lebih sering membantu mengelola beberapa urusan bisnis kecil keluarga," jawab Azka.
Delisa mengangguk, meskipun ada sedikit rasa kecewa yang ia rasakan. Namun, ia tahu ini bukan waktunya untuk mementingkan perasaan sendiri.
"Kalau itu untuk kebaikan keluarga kamu, aku nggak masalah kok. Aku bisa mengerti," ujarnya dengan tulus.
Azka menggenggam tangan Delisa dengan erat. "Terima kasih, Del. Aku tahu kamu selalu pengertian. Aku janji ini nggak akan lama, dan aku akan tetap menyempatkan waktu untuk kita."
Meskipun hatinya sedikit berat, Delisa tersenyum. "Aku percaya sama kamu."
Namun, hubungan mereka tidak selamanya berjalan mulus. Dalam beberapa hari setelah pertemuan itu, rumor mulai tersebar di sekolah. Beberapa teman sekelas Delisa mulai berbisik-bisik tentang hubungan mereka.
"Kamu tahu nggak? Azka katanya sudah jarang ketemu Delisa lagi," bisik seorang siswa di sudut kelas.
"Iya, mungkin mereka bakal putus. Lagian Azka kayaknya lagi sibuk banget, kan?" tambah yang lain.
Caca, yang mendengar percakapan itu, langsung mendekati Delisa setelah jam pelajaran selesai. "Del, kamu baik-baik aja? Aku dengar orang-orang mulai ngomongin kamu dan Azka lagi," katanya.
Delisa hanya tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa, Ca. Aku tahu Kak Azka lagi sibuk, dan aku percaya sama dia."
Caca menghela napas. "Aku cuma nggak suka dengar mereka ngomong sembarangan. Kalau ada yang terlalu jauh, kasih tahu aku ya."
Delisa mengangguk, merasa bersyukur memiliki teman seperti Caca.
...****************...
Sementara itu, Azka merasa semakin terganggu dengan rumor yang beredar. Ia tahu hubungan mereka sedang menjadi sorotan, dan ia tidak ingin Delisa merasa sendirian dalam menghadapi semua itu. Maka, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang istimewa.
Suatu sore, setelah selesai membantu ayahnya, Azka datang ke rumah Delisa tanpa memberitahu sebelumnya. Ia membawa sebuket bunga mawar merah dan sekotak kecil berisi cokelat favorit Delisa.
Ketika Delisa membuka pintu, ia terkejut melihat Azka berdiri di sana dengan senyum lebar. "Azka? Kok nggak bilang dulu mau datang?"
Azka mengangkat bahu. "Aku cuma pengin lihat kamu, Del. Aku tahu akhir-akhir ini kita jarang ketemu, dan aku nggak mau kamu merasa sendiri."
Delisa tersenyum lebar, matanya berbinar. "Terima kasih, Ka. Kamu selalu tahu gimana caranya bikin aku merasa lebih baik."
Mereka menghabiskan sore itu di ruang tamu Delisa, berbicara tentang segala hal dari sekolah hingga rencana masa depan. Delisa merasa hatinya kembali tenang, dan ia semakin yakin bahwa Azka adalah orang yang tepat untuknya.
...****************...
Beberapa hari kemudian, Azka mengusulkan ide untuk liburan singkat bersama. "Del, gimana kalau kita jalan-jalan ke tempat yang lebih santai? Aku pengin kita punya waktu berdua lagi," katanya saat mereka berbicara melalui telepon.
Delisa setuju dengan antusias. "Itu ide bagus, Ka. Aku juga merasa kita butuh waktu untuk melepaskan stres."
Mereka sepakat untuk pergi ke taman kota di akhir pekan, tempat yang tenang dan jauh dari keramaian.
Ketika hari itu tiba, Azka datang menjemput Delisa tepat waktu. Mereka membawa bekal sederhana yang disiapkan oleh mamah Delisa, serta beberapa perlengkapan piknik.
Di taman, mereka menemukan tempat yang nyaman di bawah pohon besar. Azka membantu Delisa menggelar tikar, dan mereka mulai menikmati makanan sambil berbicara tentang hal-hal ringan.
"Del, aku senang kita bisa punya waktu seperti ini lagi," kata Azka sambil menatapnya.
Delisa tersenyum. "Aku juga, Ka. Aku merasa lebih tenang ketika kita bersama."
Azka mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Delisa. "Aku janji akan selalu ada untuk kamu, apapun yang terjadi."
Momen itu terasa begitu damai, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
...****************...
Setelah liburan singkat itu, Delisa dan Azka semakin berusaha menjaga hubungan mereka dari gangguan luar. Mereka belajar untuk lebih percaya satu sama lain dan tidak terlalu memikirkan apa yang dikatakan orang-orang.
Meskipun perjalanan cinta mereka penuh dengan rintangan, baik Azka maupun Delisa tahu bahwa mereka memiliki fondasi yang kuat. Mereka saling mendukung dalam setiap langkah, berusaha untuk tumbuh bersama sebagai pasangan yang lebih dewasa.
Ketika Azka mengantar Delisa pulang malam itu, ia berkata dengan lembut, "Del, aku bersyukur kita bisa melewati semua ini bersama. Aku yakin, selama kita saling percaya, kita bisa menghadapi apapun."
Delisa mengangguk, hatinya penuh dengan cinta dan keyakinan. "Aku juga, Ka. Aku tahu kamu selalu ada untuk aku, dan itu sudah cukup."
Mereka berpisah dengan senyuman, membawa kenangan indah dari hari itu sebagai pengingat bahwa cinta mereka lebih kuat dari apapun yang mencoba memisahkan mereka.
Skip
Delisa duduk di teras rumah setelah Azka pulang, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang. Hatinya terasa hangat, seperti diberi kekuatan baru untuk menghadapi apa pun yang ada di depan. Ia memegang buket bunga yang diberikan Azka tadi dan tersenyum sendiri.
Mamahnya keluar menghampiri, membawa secangkir teh hangat. "Kamu kelihatan bahagia sekali, Del," ujar mamahnya sambil duduk di sebelahnya.
Delisa menoleh, tersenyum lebar. "Iya, Mah. Aku merasa semua akan baik-baik saja. Azka membuat aku yakin, walaupun banyak cobaan, kami bisa melalui semuanya."
Mamahnya menepuk lembut bahu Delisa. "Itu yang namanya cinta, Nak. Selama kalian saling mendukung, tidak ada yang tidak mungkin."
Delisa mengangguk, semakin yakin bahwa ia tidak salah memilih Azka sebagai pasangannya.