Kamila gadis yatim piatu mencintai Adzando sahabatnya dalam diam, hingga suatu malam keduanya terlibat dalam sebuah insiden.
Adzando seorang artis muda berbakat.
Tampan, kaya, dan populer. Itulah kata-kata yang tepat disematkan untuknya.
"Apapun yang kamu dengar dan kamu lihat, tolong percayalah padaku. Aku pasti akan bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan. Kumohon bersabarlah."
Karena skandal yang menimpanya, Adzando harus kehilangan karier yang ia bangun dengan susah payah, juga cintanya yang pergi meninggalkannya.
"Maafkan aku, Do. Aku harus pergi. Kamu terlalu tinggi untuk aku gapai."
"Mila... Kamu di mana? Aku tidak akan berhenti mencarimu, aku pasti akan menemukanmu!"
Kerinduan yang sangat mendalam di antara keduanya, membuat mereka berharap bahwa suatu hari nanti bisa bertemu kembali dan bersatu.
Bagaimana perjalanan cinta mereka?
Mari baca kisahnya hanya di sini ↙️
"Merindu Jodoh"
Kisah ini hanya kehaluan author semata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
...*...
Kamila mengangkat kepala dan perhatiannya teralihkan saat mendapati seseorang tengah berdiri tegak di depannya. Menatap dirinya dengan pandangan menelisik tertuju padanya.
"Kamila,...!" ujar pemuda itu dengan keterkejutannya.
Kamila sendiri tak kalah terkejut dengan pertemuan itu. Tidak menyangka akan bertemu dengan teman sekolahnya dulu saat SMA. Alih-alih menjawab Kamila justru menampilkan wajah bengongnya di depan pemuda itu.
"Kamu Kamila, kan? Yang anak IPS dua. Iya, kan?" tanya pemuda itu lagi.
"Oh ... iya, benar. Dan kalau tidak salah kamu Heru, kan? Teman Zando di tim basket dulu." Kamila tersenyum kikuk untuk menutupi kecanggungannya.
"Weeeh, kamu masih ingat?"
"Iya ... kamu kan, yang paling kocak setelah Hakan."
"Aku tidak menyangka kalau di balik sikapmu yang pendiam, kamu ternyata perhatian juga." Heru tersenyum lebar, hatinya merasa senang karena ada teman yang masih mengingat dirinya.
"Zando yang sering bercerita sama aku," sahut Kamila.
Senyum di bibir pemuda bernama Heru perlahan luntur, lalu dia bertanya, "Apa kabarmu, Mila? Kenapa kamu ada di sini?"
"Kabarku baik. Aku sedang menunggu adikku datang menjemput. Kamu sendiri apa kabar, Her?"
"Seperti yang kamu lihat, aku juga baik-baik saja. Memangnya kamu kerja di mana?"
"Itu di puskesmas."
"Oooh ... kok, kita tidak pernah bertemu, ya? Sudah berapa lama kamu kerja di Puskesmas itu?"
"Baru mau jalan dua bulan. Kamu sendiri sedang apa di sini?"
"Itu rumah orangtuaku." Heru menunjuk pada sebuah rumah bangunan inpres yang tak jauh dari mereka berdiri.
"Tapi aku memang pulang ke rumah hanya seminggu sekali, dan kebetulan ini weekend, jadi aku ada di rumah. Ayo mampir, daripada kita ngobrol di pinggir jalan," ajak Heru.
Kamila berpikir antara menerima atau tidak, tapi Heru justru menarik tangan Kamila, sehingga membuat dirinya tersentak lalu dengan segera menarik tangannya kembali dari cekalan Heru.
Sementara di seberang jalan tak jauh dari mereka berdua, seseorang nampak mengetatkan rahangnya dengan tangan terkepal.
"Lihatlah dia, sudah menebarkan perangkapnya. Dasar wanita murahan, berlagak polos dan sok suci, tapi ternyata jalang." Seseorang yang tak lain Ikhsan itu segera berlalu. Hatinya terus diliputi berbagai prasangka terhadap Kamila, tanpa mengetahui hal yang sebenarnya.
.
Mereka kini telah berada di teras rumah orangtua Heru. Perbincangan keduanya terus berlanjut, dengan ditemani segelas teh manis yang Heru suguhkan untuk Kamila, dan secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
Heru tampak sesekali tertawa lebar, karena lelucon yang dibuatnya. Sedangkan Kamila, hanya tersenyum saja menanggapinya.
Fika datang beberapa menit kemudian, setelah Kamila memberitahu pada gadis belia itu di mana dirinya berada.
"Maaf ya, Kak Milky. Fika telat menjemputnya," ucap Fika dengan wajah menyesal.
"Ya sudah, tidak apa-apa," sahut Kamila.
Kamila mengalihkan wajahnya pada Heru, lalu pamit pada teman SMA nya itu, yang baru saja bertemu lagi setelah 6 tahun lamanya.
"Aku pulang dulu ya, Her. Terimakasih, suguhannya," pamit Kamila.
"Iya, Mil. Hati-hati, ya. Aku berharap masih ada pertemuan selanjutnya," ucap Heru.
Kamila hanya tersenyum, lalu berjalan menghampiri Fika. Ia lantas naik ke atas motor dan duduk belakang. Fika langsung menjalankan kendaraannya meninggalkan pekarangan rumah Heru.
Di perjalanan seperti biasa Fika pasti akan bertanya, demi memuaskan rasa keingintahuannya.
"Siapa cowok tadi, Kak? Gebetan Kak Milky, ya?" tanya Fika sedikit berteriak karena bising suara motor.
"Hush ... Ngawur kamu! Mana ada kakak punya gebetan, ada-ada aja!" protes Kamila.
"Ya gak papalah, Kak! Dedek bayi kan perlu ayah. Memangnya Kak Milky tidak berpikir ke arah sana?"
"Kakak tidak tahu!"
"Atau Kak Milky masih berharap Zando akan menjemput Kakak?"
"Entahlah, Fika! Kakak tidak ingin berharap, kakak takut kecewa."
"Perut Kak Milky semakin lama semakin besar. Fika tidak ingin orang berbicara yang bukan-bukan tentang Kakak."
Deggg
Seketika Kamila teringat kata-kata Ikhsan yang sangat melukai perasaannya. Kamila menghela napasnya yang terasa berat. Lalu menunduk dan mengelus perutnya dengan lembut. Kata-kata Fika membuat pikirannya berkecamuk. Hingga mereka sampai di rumah, Kamila masih terdiam dan berlalu begitu saja tanpa berkata sepatah katapun.
Fika yang melihatnya jadi merasa bersalah. "Apa Kak Milky tersinggung dengan ucapan Fika, ya?" gumamnya seorang diri.
Gadis itu bahkan masih enggan beranjak dari tempatnya berhenti dan memilih menatap Kamila yang berjalan menuju pintu rumahnya, lalu masuk ke dalam rumah.
"Apa ucapan Fika tadi, keterlaluan? Masa sih, perasaan tidak tuh? Aaah, tahulah besok saja ditanya lagi," ujar Fika.
Dia lantas menyalakan kembali motornya dan pergi meninggalkan Rumah Ibu Rahayu.
.
.
.
.
.
Zando dan Nino telah sampai di studio rekaman. Mereka berdua langsung menemui produser rekaman, kebetulan di sana juga ada seseorang yang menginginkan lagunya dinyanyikan oleh Zando.
"Selamat malam, Bang," sapa keduanya. Kemudian bersalaman dengan sang produser dan seorang lagi yang belum Zando dan Nino ketahui.
"Selamat malam, kalian sudah datang! Silakan duduk!" sahut Benny sang produser.
Zando lantas duduk di sofa single, sedangkan Nino, dia mengambil bangku plastik yang tak jauh darinya, lalu mendudukkan dirinya di samping Zando.
"Begini Zando, Perkenalkan ini Bang Henry, beliau menciptakan lagu dan ingin dirimu yang menyanyikannya." beritahu Benny.
"Bukan begitu saudara, Henry?" tanyanya pada Henry.
"Betul, Bang. Dan saya sudah mencermati bahwa karakter suara saudara Zando ini sangat cocok dengan lagu saya," ujar Henry.
"Baiklah, kalau begitu silakan kamu pelajari dulu, Do. Setelah itu kita merekam suaramu," timpal Benny.
Zando mengambil kertas berisi lirik dan not lagu dari atas meja. Setelah mempelajarinya sebentar, ia lalu mengambil gitar yang ada di dekatnya. Ia lantas menyanyikan lagu tersebut dengan diiringi oleh petikan gitar yang mainkan.
Henry bertepuk tangan memberikan applause pada Zando yang menyanyikan lagu ciptaannya dengan sempurna.
"Perfecto ...." ucapnya dengan bangga.
Maka malam itu juga dilakukan rekaman, untuk membuat mini album Zando yang mereka beri label Merindu Jodoh. Dalam mini album tersebut berisi dua lagu ciptaannya sendiri, sedangkan tiga lagu lainnya ciptaan Henry.
Hingga lewat tengah malam proses rekaman itu baru selesai. Zando merasakan lelah yang luar biasa.
"Oke .... untuk proses rekaman udah selesai, kalian boleh istirahat. Mau di sini boleh, atau kalau ingin pulang, silakan," ucap Benny memberi solusi.
"Kami pulang saja, Bang!" sahut Zando.
"Oke, Silakan. Hati-hati kalian di jalan. Jangan ngebut, ya!" pesan Benny.
"Baik, terimakasih, Bang! Mari, Bang Henry." Zando dan Nino lalu bersalaman pada Benny dan Henry. Tak lupa mereka juga bersalaman dengan para kru yang sudah bekerja keras.
Jalanan yang lengang di malam hari, membuat mereka sampai di apartemen lebih cepat daripada jika pada siang hari. Setiba di unit apartemennya, Zando langsung masuk kamar, dan membersihkan diri. Kemudian dia memutuskan untuk tidur karena lelah yang dirasakannya.
Nino yang melihat Zando telah tertidur, berniat untuk kembali ke unit apartemennya sendiri yang berada dua lantai di bawah unit hunian Zando.
.
.
.
.
.
Hari Senin, Kamila bersiap lebih pagi dari hari biasanya untuk pergi ke tempat kerjanya. Semenjak bangun tidur hingga saat ini akan berangkat bekerja, hatinya diliputi oleh perasaan tidak enak. Namun sebisa mungkin dia tidak mau menampakkannya di depan Ibu Rahayu. Dia tidak ingin membebani pikiran wanita paruh baya yang baik hati itu dengan segala permasalahan dirinya.
Fika datang, ia pun segera pamit pada ibu angkatnya tersebut. "Mila berangkat ya, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati, yo!" pesan Ibu Rahayu.
"Iya, Bu."
"Hati-hati yo, Fika!" seru Ibu Rahayu ketika Fika mulai menyalakan motornya.
"Siap, Budhe! Bye ...!"
Fika mengendarai motor maticnya meninggalkan halaman rumah Ibu Rahayu. Dalam perjalanan tidak ada pembicaraan di antara mereka. Kamila sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu pula halnya dengan Fika.
Hingga lima belas menit berlalu, dan motor yang dikendarai Fika berhenti di depan Puskesmas. Kamila turun dari boncengan lalu melepaskan helm yang dipakainya, dan menyerahkannya pada Fika.
"Makasih ya, Fik! Kamu hati-hati!"
"Siap,.... bye, Kak Milky."
Kamila membalikkan badannya setelah Fika berlalu dari hadapannya. Wanita itu berjalan perlahan menuju pintu masuk Puskesmas dengan jantung berdebar kencang. Sesampai di dalam dia segera masuk ke dalam ruangannya, namun terkunci.
"Kok dikunci, tumben? Siapa yang menguncinya?" gumam Kamila. Kemudian dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, hingga mata membelalak seketika. Dia pun lantas membekap mulutnya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
...*...
.
.
.
.
.
yang ada zando yang meminta kmu dibawa ke markas/Sweat//Panic/
trus gimana dgn bayinya