Di hancurkan berkeping-keping oleh suaminya dan juga ibu mertuanya, kehidupan Laras sangat hancur. selain harus kehilangan anak keduanya, Laras di serang berbagai ujian kehidupan lainnya. Putranya harus di rawat di rumah sakit besar, suami mendua, bahkan melakukan zina di rumah peninggalan orantuanya.
Uluran tangan pria tulus dengan seribu kebaikannya, membawa Laras bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya mampu beejaya tanpa harus mengemis pada siapapun. Akan dia balaskan semua rasa sakitnya, dan akan dia tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Sehebat apa luka yang Laras terima? apakah dia benar-benar membalaskan rasa sakitnya?
Yuk simak terus ceritanya sampai habis ya 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Cerai
Satu minggu telah berlalu, pengacara Aiman yang mengurus semua proses perceraian antara Laras dengan Jefri pun telah berjalan lancar. Sampai akhirnya surat pengadilan agama yang bertujuan untuk meditasi turun dan sudah berada di tangan Tuti.
Wanita paruh baya tersebut menerima surat dari seseorang yang bekerja mengantar surat resmi dari pengadilan. Di mana Tuti terlihat biasa saja, malah dia sangat senang karena sebentar lagi sang anak akan terbebas dari wanita tidak berguna itu.
“Jefri sayang … Cepat kemari, Nak. Ibu ada berita bagus hari ini!” teriak Tuti membuat sang anak langsung keluar dari kamar.
“Mah, bisa nggak kalau ada sesuatu itu jangan teriak-teriak. Mendingan Mama samperin Jefri, ketuk pintunya. Ini masih pagi, Ma. Lihat, anakku sampai nangis begini karena kaget dengar suara Mama!” tegas Desi sambil mencoba untuk menimang anaknya yang masih rewel.
Pernikahan antara Desi dan sang suami baru dikaruniai satu anak perempuan yang usianya kurang lebih 1 tahun. Suaminya juga merupakan seorang dokter jarang sekali berada di rumah karena pekerjaannya selalu di luar kota sama seperti sang ayah.
“Ya, ya, maaf,” ucap Tuti.
Tak lama Jefri hadir melirik ke arah Desi yang sedang kesal, lalu menatap sang ibu. Di mana Tuti tersenyum melihat anak kesayangannya.
“Ada apa ini, Ma? Kenapa Desi terlihat kesal sama Mama? Terus kenapa juga Mama manggil aku sampai teriak-teriak gitu?” tanya Jefri bingung.
Tuti langsung menarik tangan anak laki-lakinya untuk duduk di sofa, membuat Desi yang melihatnya merasa curiga terhadap sikap sang ibu di pagi hari yang sangat aneh.
Desi hanya bisa memperhatikan semua itu sambil menggendong sang anak yang sudah mulai tenang.
“Mama ada kabar bagus buat kamu,” ucap Tuti senang.
“Apa?” tanya Jefri bingung.
“Nih,” jawab Tuti sambil memberikan surat pengadilan untuk Jefri.
Desi mencoba untuk mendekat melihat lebih jelas amplop cokelat yang terdapat tulisan pengadilan. Matanya seketika terbuka lebar karena berpikir bahwa itu merupakan surat perceraian dari Laras.
Benar saja, ketika Jefri membuka surat itu dengan rasa penasaran matanya langsung tertuju pada nama Laras yang telah menggugat cerai.
“I-ini surat perceraian antara aku dan Laras, Ma?” tanya Jefri memastikan.
“Iya, Nak. Itu berarti sebentar lagi kamu akan bebas dari jeratan wanita kampungan yang sudah tidak berguna. Lagian ngapain kamu masih dipertahankan coba, sekarang kamu sudah ada Dania. Lebih baik fokus aja sama hubungan kalian biar bisa secepatnya diresmikan, ya, ‘kan?”
Perkataan Tuti ada benarnya. Jefri menganggukkan kepala karena sudah tidak sabar ingin segera menikahi Laras. Namun terbesit pikiran kecil yang mengganjal di dalam isi kepalanya.
“Tunggu, Ma. Untuk menggugat cerai itu butuh biaya yang tidak sedikit bukan? Apalagi di dalam surat ini terlihat jelas kalau mereka mengajukan surat perceraian menggunakan pengacara. Bagaimana bisa orang miskin itu menyewa pengacara yang terkenal ini?”
Jefri menunjukkan nama pengacara yang tertulis di dalam surat sebagai penguasa hukum dari Laras. Tuti pun heran, tetapi dia masa bodo yang terpenting anak serta menantu tak tahu diri itu bisa segera berpisah.
“Udahlah Jefri jangan mikirin itu. Palingan juga mereka sewa pengacara dari hasil hutang atau jual rumah warisan bapaknya itu. Lagipula kamu dengarkan Mama ya, pengacara mahal itu paling hanya akan hadir di persidangan pertama dan kedua selebihnya pasti dia tidak punya pengacara karena uangnya sudah habis. Di situ kita bisa manfaatkan. Kita berbelit aja jalan persidangan biar Laras semakin keluar uang banyak untuk bayar pengacara itu. Lagian gaya banget dewa pengacara makan aja masih senin kamis hahah ….”
Tuti dan Jefri tertawa setelah menghina keadaan Laras yang menurut mereka masih sangat susah. Desi hanya bisa menggelengkan kepala, beristighfar atas sikap ibu dan adiknya yang tidak punya rasa malu menjelekkan seseorang.
“Benar banget, Ma. Lagian sok-sok’an banget nyewa pengacara. Cerai mah, tinggal cerai aja. Lagian juga aku udah nggak cinta sama dia. Mending Dania ke mana-mana. Udah cantik, baik, body bagus, muka mulus, penampilan oke, walaupun janda dia selalu bisa membuatku tergila-gila daripada Laras. Taunya cuma uang, uang, dan u—”
“Jefri!”
Degh!
Semua orang menoleh ke arah seseorang yang baru saja pulang dinas dari luar kota. Di mana wajah pria itu terlihat sangat marah ketika mendengar semua hinaan terhadap Laras, menantu kesayangan.
“Pa-papa?” ucap Desi dengan mata berbinar, “Akhirnya Papa pulang juga. Desi kangen sama Papa. Desi nggak kuat melihat semua penyiksaan ini terhadap Laras, Pah, Desi nggak bisa hiks ….”
Desi memeluk sang ayah sambil menggendong anaknya. Membuat Daryono selaku ayah mereka dan suami Tuti merasa sangat kecewa terhadap sikap binatang yang semena-mena menjatuhkan harga diri wanita baik seperti Laras.
“Kamu tenang, bawa anakmu ke kamar. Kasihan dia jika sampai mendengar pembicaraan yang tidak baik,” ucap Daryono mengusap kepala Desi.
“Iya, Pa, aku taruh anakku dulu di kamar,” jawab Desi langsung pergi ke kamar untuk menaruh anaknya di box bayi, lalu menutup kembali pintu supaya tidak mengganggu tidur sang anak ketika mendengar suara perdebatan orang-orang di ruang tengah.
“Apa maksud kalian berbicara itu sama Laras? Dan apakah yang aku dengar barusan benar, jika Laras dan Jefri akan segera bercerai?” tegas Daryono dengan mata beredar menatap istri juga putranya.
“Ya ampun, Papa sudah pulang. Ayo, duduk dulu sini, kita bicarakan baik-baik. Papa pasti capek banget, ‘kan? Nanti Mama jelasin pelan-pelan,” ucap Tuti berdiri sambil menarik lembut tangan suaminya untuk duduk di dekat mereka demi mengambil perhatiannya.
Daryono duduk tetap dalam posisi wajah yang sangat datar. Dia mulai curiga ketika mendengar istri dan putranya melakukan hal yang sudah kelewat batas.
“Mbak tolong buatkan Bapak min—-”
Tuti yang berteriak kepada pembantunya, tetapi terhenti ketika Daryono langsung membentaknya lantaran tidak ingin basa-basi.
“Cukup, Tuti! Aku ingin penjelasan tentang Laras dari kalian berdua, bukan untuk minum. Cepat katakan apa yang telah terjadi sampai Laras mengajukan perceraian seperti ini. Ada apa? Kenapa tidak ada satu orang pun di rumah ini yang memberitahuku jika hubungan rumah tangga Jefri dan Laras sedang terkena badai. Kenapa!”
Tuti terlonjak kaget. Baru kali ini suaminya berani membentaknya hanya demi membela Laras. Kebencian wanita paruh baya itu terhadap mantan menantunya semakin membesar, seakan-akan dia berpikir Laras telah membuat suaminya terhipnotis akan kebaikan yang palsu itu.
“Pah, jangan bentak Mama seperti itu. Ini semua salah Laras. Dia yang selalu menuntut Jefri untuk memberikan uang bulanan jauh lebih besar dari gaji Jefri, lebih parahnya dia tidak mengizinkan Jefri untuk memberikan sedikit kerja keras Jefri kepada Mama, ibu kandung Jefri sendiri. Jefri sudah muak, Pah, sama Laras. Wanita itu selalu saja buat Jefri kesal setiap pulang ke rumah. Papa bayangkan saja setiap hari Laras selalu menanyakan soal uang, uang, dan uang terus. Jefri capek, Pah, Jefri capek!”
Sang putra memberanikan diri membela haknya sendiri di depan sang ayah. Jefri tahu dari tatapan Daryono yang pro ke arah Laras membuat posisinya mulai terancam, sehingga dia harus berpikir keras untuk mengembalikan keadaan supaya ayahnya berada di pihak keluarga bukan mantan istri.
Hanya saja perkataan Jefri barusan dibantah habis-habisan oleh Desi yang sangat tahu bagaimana keadaan di rumah selama sang ayah tidak ada.
“Itu semua bohong, Pa, bohong! Jefri seperti ini karena hasutan dari Mama yang ingin menjodohkan dengan Dania, janda kegatelan itu! Hubungan Dania dan Jefri sudah sangat jauh, bahkan mereka telah melakukan acara tunangan di rumah ini. Lebih parahnya Laras tahu semua itu. Awalnya dia datang ke sini ingin memberikan kabar mengenai keadaan Langit yang kritis dan membutuhkan biaya untuk dibawa ke rumah sakit besar. Namun apa?”
“Jefri dan Mama malah mempermalukan Laras di depan semua orang tepat di acara pertunangan itu, sehingga Dania pun ikut-ikutan menjatuhkan harga diri Laras. Di saat Laras mati-matian berjuang supaya Langit tetap sembuh, Jefri malah kembali melanjutkan acara sampai selesai. Papa tahu, saat itu Langit terkena penyakit paru-paru. Sedikit saja telat mendapatkan penanganan maka Langit sudah tiada untuk selamanya!”
“Dan satu lagi. Jefri dan Dania dengan santainya tinggal di rumah peninggalan orang tua Laras serta melakukan hubungan suami istri tepat di kamar Laras. Sakit, Pah, sakit! Anak laki-laki Papa memang sudah gila karena Mama yang terus menghasutnya, ditambah janda kegatelan itu terus mengikat Jefri hingga membuatnya terlena dengan rayuan busuknya itu. Satu lagi, saat kejadian Dania sama Jefri di kamar Laras. Semua itu terekam jelas di jejak media sosial sampai mereka berdua dipermalukan di kampungnya, tetapi tidak ada rasa malu di wajah mereka. Namun yang buat aku sakit hati hanya satu!”
“Mama dengan teganya berpihak sama Jefri dan Dania yang jelas-jelas telah bersalah melakukan perzinahan di rumah Laras, sampai akhirnya Mama mendorong Laras sampai dia keguguran. Laras kehilangan anak keduanya, di saat mengetahui perselingkuhan suaminya dengan wanita lain dan harus tetap berjuang demi nyawa Langit!”
Tuti dan Jefri yang mendengar penjelasan dari Desi sungguh memalukan. Dia tidak menyangka ternyata segitu kejamnya anak dan istrinya menyiksa Laras sampai menghancurkan mental yang seharusnya dijaga.
Terlebih Daryono harus kehilangan cucunya hanya karena ulah binatang yang selama ini dipelihara. Sungguh, kekecewaan yang tersorot tajam di mata pria paruh baya tersebut benar-benar telah dipenuhi oleh kebencian.
Dia tidak pernah membayangkan kejadian ini bisa terjadi di keluarganya sendiri, padahal selama ini Laras merupakan menantu yang sangat baik juga pengertian. Tidak pernah menuntut apa-apa dari sang suami, tetapi jika Jefri telah dibutakan oleh cintanya Dania tetap tidak bisa disadarkan.
“Benar-benar bia*dap kalian!”
Bugh …
Duak …
Daryono langsung memberikan pukulan demi pukulan terhadap wajah Jefri sampai membabi buta. Kemarahan juga kekecewaan yang dialami sang ayah kepada anak tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata selain bermain fisik.
Maklum saja, sejatinya seorang pria adalah berduel bukan berargumen. Berbeda sama wanita yang lebih cenderung beradu mulut, daripada berduel jika keadaan masih baik-baik saja.
Akan tetapi, berbeda sama Daryono yang telah kecewa berat oleh sang anak sampai-sampai dia tidak peduli dengan nyawa Jefri. Setidaknya dia puas membalaskan semua rasa sakit yang Laras alami, meski tidak sebanding dengan rasa sakit dihati wanita tak bersalah itu.
“Dari kecil Papa selalu ajarkan kamu tentang pentingnya menyayangi keluarga, hingga Papa selalu menasihati untuk tidak menyakiti perempuan. Namun apa yang Papa dengar kali ini Jefri? Apa! Kamu benar-benar telah membuat Papa murka, dasar baji*ngan penge*cut!”
“Arrrghhh … Papa, hentikan!”
Tuti berteriak mencoba untuk memisahkan Daryono yang suda mengunci tubuh sang anak di sofa sampai di pukul bolak-balik membuat wajahnya terluka hingga mengeluarkan cairan merah.
Daryono tidak memperdulikan teriakan Tuti yang dari tadi berusaha untuk menolong anaknya, sampai tak sengaja tangan sang suami mendorong Tuti hingga terduduk jatuh di sela-sela meja.
Desi melihat itu berusaha menolong Tuti, tetapi malah di tangkis olehnya dan langsung berdiri untuk menampar keras Desi yang telah menghasut ayahnya.
“Dasar anak durhaka! Bisa-bisanya kamu memprovokasi papamu sendiri, ketika kamu tahu yang bersalah itu Laras bukan adikmu!” bentak Tuti melihat Desi jatuh di lantai dalam keadaan sudut bibir terluka.