Jihan yang polos dan baik hati perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar tagihan medis ibunya yang sakit parah. Terpaksa oleh situasi, dia menandatangani kontrak pernikahan dengan CEO perusahaan, Shaka. Mereka menjadi suami istri kontrak.
Menghadapi ibu mertua yang tulus dan ramah, Jihan merasa bersalah, sedangkan hubungannya dengan Shaka juga semakin asmara.
Disaat dia bingung harus bagaimana mempertahankan pernikahan palsu ini, mantan pacar yang membuat Shaka terluka tiba-tiba muncul...
Bagaimana kisah perjalanan Jihan selama menjalani pernikahan kontrak tersebut.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Bukan sulap bukan sihir, tapi semua itu benar-benar nyata. Antara bingung dan tidak mungkin, tapi suhu tubuh Shaka sudah kembali normal. Pria yang tadinya menghabiskan waktu dengan berbaring seharian di ranjang, kini kelihatan segar bugar. Malah sudah berkutat lagi dengan laptop. Rasanya sulit di percaya, sebab baru kali ini Jihan melihat orang demam bisa disembuhkan dengan ciuman.
Entah kebetulan atau memang ciuman tadi benar-benar bisa memberikan efek positif untuk kesehatan Shaka. Yang jelas Jihan masih sulit mempercayainya, meski itu nyata.
"Baru juga sembuh, sudah cari penyakit lagi Pak." Sindir Jihan seraya lewat di depan Shaka hanya untuk pergi ke balkon kamar. Padahal masih ada jalan lain menuju balkon tanpa harus melewati tengah-tengah sofa.
"Asal masih banyak stok obatnya, " Jawab Shaka penuh arti. Jihan berdecak kesal ketika tau maksud ucapan Shaka.
"Pak Shaka sebenarnya cuma mau modus aja kan.?!" Sewot Jihan. Dia tidak jadi ke balkon, melainkan putar balik dan berdiri di depan Shaka sambil berkacak pinggang.
"Minta ciuman dengan alasan menyembuhkan demam, padahal curi kesempatan dalam kesempitan.!" Jihan mencebik, bibirnya mengerucut seperti bebek.
"Nggak usah protes Jihan, bukannya kamu juga menikmati." Balas Shaka santai. Kalau Jihan tidak membalas ciumannya, Shaka juga tidak akan berani bicara seperti itu. Nyatanya Jihan memang membalas ciumannya, artinya memang menikmati meski awalnya menolak.
Pipi Jihan jadi merona seperti tomat.
"Ya mau bagaimana lagi, mau melawan juga percuma.!" Sewotnya memberi pembelaan. Jihan gengsi kalau harus mengakuinya.
Shaka terkekeh kecil, ada seringai mengejek di balik senyum miringnya. Dia tau Jihan malu menjawab jujur, jadi berusaha mencari alasan.
"Sudah jangan marah-marah terus. Lusa kita kembali ke Jakarta, sebaiknya simpan energi kamu untuk perjalanan pulang." Shaka mematikan laptop dan menutupnya.
"Pak Shaka nggak sadar siapa yang sudah bikin saya marah-marah.?" Jihan memutar malas bola matanya, dia kemudian beranjak ke balkon tanpa menunggu respon dari Shaka.
"Dasar women." Gumam Shaka lirih. Dia mengomentari sikap wanita yang menurutnya aneh, padahal sikapnya jauh lebih aneh. Shaka mungkin tidak menyadari hal itu. Sekarang lebih banyak jahilnya dan modus. Bicaranya pun sudah tidak irit lagi.
...*******...
Malam ini terakhir keduanya tidur di kamar hotel, karna besok pagi sudah harus pergi ke bandara. 2 minggu honeymoon terlewatkan begitu saja tanpa ada kejadian yang spesial, namun banyak kemajuan pesat untuk kedekatan mereka. Interaksi keduanya jadi lebih santai, tidak kaku seperti di awal-awal datang ke Swiss.
"Pak Shaka nggak dingin.?" Tanya Jihan. Tubuhnya meringkuk dan di balut selimut tebal. Saking merasa kedinginan, Jihan memakai beberapa lapis baju dan coat tebal.
Shaka menggeleng. Lagipula ada penghangat ruangan di kamar itu. Suhunya masih terbilang normal di saat sedang musim dingin seperti ini.
"Kalau kamu butuh kehangatan, bilang saja. Dengan senang hati saya mau membantu." Kata Shaka dengan menahan senyum jahil.
Jihan melotot, dia meninju lengan Shaka yang berbaring di sebelahnya.
"Dasar tukang modus." Cibir Jihan. Daripada kesal berhadapan dengan Shaka, Jihan memilih berbalik badan memunggungi pria itu.
Bukan Shaka namanya kalau berhenti jahil sampai di situ. Dia diam-diam bergeser mendekati Jihan dan memeluk wanita itu dari belakang, mendekap erat tubuh Jihan yang terbungkus selimut.
"Pak Shaka astaga.!!" Pekik Jihan kaget. Tindakan gunung es itu benar-benar tidak terduga. Jihan kesulitan melepaskan diri karna di serang mendadak.
"Saya mau bantu kamu, Jihan. Bukannya kamu kedinginan." Shaka mengulum senyum geli di balik punggung Jihan. Dia menertawakan kekonyolannya sendiri. Bahkan Shaka bingung pada dirinya sendiri yang sering bersikap konyol di depan Jihan akhir-akhir ini. Mau mengakui ada rasa, tapi masih terlalu cepat. Dia dan Jihan baru menikah 3 minggu, dan selama itu dia baru mengenal Jihan. Rasanya sulit di percaya perasaannya tumbuh secepat itu.
"Kalau sekedar kedinginan, saya masih bisa mengatasi sendiri Pak. Disini banyak selimut dan coat tebal." Sahut Jihan menggebu. Dia agak kesal juga menghadapi kemodusan Shaka.
"Kalau Pak Shaka berniat bantu saya, mending Pak Shaka kasih saya banyak uang biar saya nggak usah kerja lagi setelah kita cerai." Seloroh Jihan blak-blakan. Dia tidak peduli dengan anggapan Shaka yang mungkin akan berfikir dirinya matre karna selalu membahas soal uang.
"Kamu sudah nggak sabar jadi janda ya.?" Ujar Shaka.
Jihan terdiam, tiba-tiba pikirannya berkecambuk mendengar kata janda. Dia langsung ingat sangat Mama. Jihan tidak bisa membayangkan sehancur apa perasaan Mamanya jika anak perempuan satu-satunya menjadi janda.
Jihan menghela nafas, menggeleng pelan. Seumur hidupnya dia tidak pernah berfikir akan menjadi janda.
"Sebenarnya saya nggak mau jadi janda, tapi kalau jadi janda kaya raya, bisa di pertimbangkan lagi." Ujar Jihan lalu terkekeh.
Shaka mengetuk kening Jihan.
"Kenapa pikiran mu hanya uang dan uang."
"Ya karna saya nggak punya uang banyak seperti Pak Shaka. Kalau saya sudah banyak uang, untuk apa juga memikirkan uang. Bagi orang seperti saya, uang itu segalanya untuk bertahan hidup. Jakarta itu keras Pak. Nggak punya uang, kita nggak bisa makan." Cerocos Jihan panjang lebar.
Shaka terkekeh, lumayan terhibur juga dengan celotehan Jihan.
"Kamu yakin mau banyak uang.? Saya bisa kasih berapapun yang kamu minta." Tawar Shaka.
Jihan langsung berbalik badan, ada kesempatan yang emas tidak boleh di lewatkan.
"Pak Shaka mau kasih saya kompensasi karna menjandakan saya.?" Tanya Jihan sambil tertawa geli dalam hati.
"Untuk apa kasih kompensasi, bukannya itu sudah menjadi kesepakatan dalam Perjanjian."
"Saya akan kasih kamu uang berapapun kalau kamu mau tidur sama saya." Ucap Shaka to the point.
"Pak, bukannya kita sudah tidur bareng selama menikah." Sahutnya polos.
Lagi-lagi Shaka mengetuk kening Jihan dengan jarinya.
"Kamu itu polos atau bo doh, Jihan.?" Cibir Shaka heran. Bahasa tidur bersama saja Jihan tidak tau.
"Kalau orang dewasa yang bicara seperti itu, artinya ber cinta, Jihan. Masih belum tau juga.?" Tanya Shaka karna Jihan melongo.
Shaka mendekatkan wajahnya ke telinga Jihan.
"Making love,," Bisiknya.
Tubuh Jihan merinding. Bulu kuduknya langsung berdiri ketika merasakan hembusan nafas Shaka di telinganya.
"Pak Shaka mau beli keperawa nan saya.?" Tanya Jihan seraya menjauhkan wajah Shaka.
Shaka mengangguk.
"Kira-kira seperti itu." Ujarnya.
Plakk,,,!!
Jihan memukul lengan Shaka.
"Enak saja.! Saya nggak mau jual keperawa nan walaupun di bayar mahal." Jihan cemberut.
"Yang membeli juga bukan pria lain, tapi suami kamu sendiri, Jihan. Apa masalahnya." Bujuk Shaka.
"Bagaimana.? Saya jamin kamu nggak akan nyesel, saya bisa puasin kamu." Bisik Shaka sambil menahan tawa. Jihan semakin sebal dan memukuli dada Shaka.
"Dasar otak mesum.!"