Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Pagi itu, sinar matahari pagi menyelinap pelan melalui celah-celah tirai kamar, menerangi wajah Nisa yang baru saja terbangun. Ia membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Tubuhnya terasa lelah, namun hati Nisa dipenuhi dengan kelegaan dan kebahagiaan yang tak terucapkan. Malam tadi, ia dan Akil baru saja menunaikan janji mereka sebagai pasangan suami istri, menyempurnakan cinta yang mereka ikrarkan.
Saat ia menggeser selimut, Nisa melihat bercak halus di atas seprai. Seketika, wajahnya merona—tanda kesuciannya kini telah ia serahkan kepada pria yang sangat ia cintai. Ada rasa haru yang membuncah di dadanya, sekaligus rasa bahagia yang membuat hatinya terasa penuh. Ini adalah bukti dari momen berharga mereka berdua, sesuatu yang akan selalu ia kenang.
Nisa mengalihkan pandangannya ke wajah Akil, yang masih tertidur lelap di sampingnya. Raut wajahnya terlihat begitu tenang dan gagah, seakan beban dunia lenyap dalam tidurnya. Nisa tersenyum manis, menyadari betapa beruntungnya ia memiliki pria yang begitu tulus mencintainya.
Pelan-pelan, ia menyentuh lengan Akil, membiarkan dirinya larut dalam perasaan hangat dan damai yang memenuhi hatinya. Di tengah kesunyian pagi, Nisa membisikkan doa dalam hatinya, berharap agar cinta mereka tetap bertahan, sekuat momen berharga yang baru saja mereka ukir bersama.
___
Nisa baru saja keluar dari kamar mandi, kulitnya masih basah dan segar, sementara rambutnya yang basah dibalut rapi dengan handuk putih. Ia merasa bersih dan lega setelah merawat dirinya, siap menghadapi hari baru bersama Akil. Dengan hati-hati, ia melangkah ke sisi ranjang, ingin melepaskan balutan handuk di kepalanya dan mengeringkan rambutnya.
Namun tiba-tiba, suara getaran handphone Akil memecah kesunyian pagi. Nisa menoleh, sedikit terkejut. Ia mengambil ponsel suaminya yang tergeletak di atas nakas, penasaran siapakah yang menelepon di waktu pagi. Namun, saat ia menyalakan layar, ternyata hanya muncul notifikasi pesan masuk.
Dengan rasa ingin tahu, Nisa membaca notifikasi tersebut tanpa ia buka. Terlihat pesan dari Sahra, kakak iparnya. Saat membaca pesan itu, Nisa merasa kerut di dahinya semakin dalam. Pesan itu berbunyi tentang keberatan Sahra terhadap adiknya, Akil. Ia menulis tentang kekecewaannya karena Akil telah membuat khawatir ibunya. Dengan nada tegas, Sahra bahkan menegaskan bahwa Akil telah boros dalam pengeluaran.
“Ya ampun,” gumam Nisa, menyadari betapa situasi ini bisa membebani Akil. Rasa cemas mulai menghinggapi dirinya. Ia tidak ingin suaminya merasa terbebani oleh kritik dari keluarganya, apalagi di saat mereka baru saja memulai hidup baru sebagai pasangan suami istri.
Nisa menatap ponsel itu sejenak, berpikir sejenak Ia tahu betul bagaimana keluarga kadang bisa menambah tekanan dalam hubungan, Setelah menenangkan pikirannya, Nisa meletakkan kembali handphone di tempatnya semula. Ia kembali ke cermin, melihat pantulan dirinya yang baru,
Setelah membaca pesan dari Sahra, Nisa merasa gelisah. Pikiran tentang kemungkinan kritik yang lebih keras dari kakak iparnya mengganggu ketenangannya. Ia tahu betapa pentingnya keluarga bagi Akil, dan ia tidak ingin menjadi sumber masalah, terutama di tengah perjalanan baru mereka sebagai pasangan suami istri.
“Bagaimana jika kak Sahra marah padaku?” Nisa bergumam, mengerutkan dahi sambil memandang cermin. “Aku baru di sini. Jika ada keributan, bisa-bisa semuanya jadi tidak nyaman.”
Nisa meraih handuk yang masih membalut rambutnya dan mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan wajah Sahra yang penuh kekecewaan terus menghantuinya. Ia merasa seolah tanggung jawab ada di pundaknya untuk menjaga keharmonisan keluarga ini. Dalam hatinya, ia bertekad untuk membicarakan hal ini dengan Akil, berharap agar suaminya bisa memahami kekhawatirannya dan bersama-sama mencari solusi.
Ketika Akil terbangun, Nisa berencana mengajaknya pulang secepat mungkin. Ia ingin menghindari situasi yang bisa menimbulkan ketegangan, dan sepertinya pulang lebih awal bisa menjadi cara terbaik untuk menjaga suasana hati Akil dan keluarganya.
“Mas, bisa tidak kita pulang nanti?” tanya Nisa ketika Akil membuka mata, terlihat masih mengantuk. “Aku rasa kita perlu berbicara tentang kakakmu.”
Akil menatapnya, sedikit bingung. “Kakak Sahra? Kenapa, ada apa?”
Nisa menelan ludah, merasa tidak enak hati. Ia ingin menjelaskan semua yang ia rasakan, namun takut jika perasaannya malah membuat Akil terbebani. “Aku hanya... tidak ingin membuat masalah di sini. Aku baru saja menjadi bagian dari keluarga ini, dan aku rasa akan lebih baik jika kita menjauh sejenak.”
Akil mengangguk, memperhatikan nada suara Nisa yang terdengar khawatir. “Baiklah, kita bisa pulang jika itu yang kamu mau. Tapi jangan khawatir. Kita akan hadapi semuanya bersama-sama.”
Nisa menghela napas lega, merasa sedikit lebih tenang dengan keputusan mereka. Meskipun ada banyak yang harus mereka hadapi, ia percaya bahwa bersama Akil, ia akan bisa melalui semuanya.