Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa yang tahu.
Karie menatap Aileen dengan mata berbinar. Kebahagiaan dan kesedihan bercampur di wajahnya. “Eh, apa yang dikatakan Sintra itu benar? Ada yang akan mengadopsi kamu?” Suaranya bergetar sedikit, mencerminkan keraguan yang ia rasakan.
Aileen mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Ya, seperti itu. Jadi ini minggu terakhir aku bersama kalian.” Matanya berkaca-kaca, meskipun ia berusaha terdengar tegar. Dalam hatinya, Aileen merasa cemas. Ia selalu mengikuti keputusan orang lain, dan sekarang ia harus menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Karie mengerutkan kening, kebingungan melintas di wajahnya. “Tapi kenapa aku tidak pernah melihat wali atau seseorang datang untuk bertemu denganmu? Biasanya mereka akan melihat terlebih dahulu seperti apa anak yang akan mereka adopsi.” Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Sebelum Karie bisa bertanya lebih lanjut, Sintra muncul dari balik pintu, rambutnya masih basah setelah mandi. “Mereka bangsawan tidak punya waktu untuk datang ke sini,” katanya dengan nada tegas sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Mereka hanya menyuruh kepala penampungan, semuanya beres.” Sintra menatap Karie dengan tajam. “Jangan buat Aileen bingung dengan pikiran negatifmu. Seharusnya kau senang Aileen dapat tempat yang lebih baik.”
Karie menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Aku ikut bahagia, Kak Aileen. Kamu berhak mendapatkan tempat yang lebih baik.” Namun, di dalam hatinya, Karie merasa ada yang tidak beres dengan situasi ini.
Sintra mengangkat bahu, mencoba mengalihkan suasana. “Sudahlah, sedih-sedihnya kita masih ada kuota yang harus dipenuhi di tambang,” katanya dengan nada datar. Karie tahu bahwa Sintra hanya peduli pada kuota karena itu berarti lebih banyak keuntungan untuk dirinya sendiri.
Bunga-bunga bermekaran di pinggir Tjimala dan di Sentral Kereta usang. Kereta itu membawa mereka pergi dan kembali, menembus daratan hijau menuju tanah gersang berpasir. Butiran pasir terbawa angin, mengiringi perjalanan mereka untuk menambang kristal mana. Tambang keabadian, begitu masyarakat sekitar menyebutnya, karena kristal-kristal itu akan tumbuh kembali jika disisakan sedikit. Minggu ini, akhir dari kebersamaan mereka bertiga.
Di ruangan Aileen, sebuah acara perpisahan kecil diadakan. Karie, dengan pakaian terbaiknya, menatap Aileen. “Ini sudah waktunya ya?” tanyanya, suaranya bergetar. Ia merasa identitasnya sebagai teman yang selalu ada untuk Aileen mulai goyah.
Aileen tersenyum lembut. “Ini bukan akhir dari pertemuan kita. Aku tidak ingin ada yang sedih saat aku pergi.” Meskipun ia berusaha terdengar tegar, dalam hatinya, Aileen merasa takut. Ia selalu merasa tidak berharga dan takut gagal di tempat barunya.
Anak-anak lain mengucapkan selamat tinggal, kecuali Sintra. Sebelumnya, Sintra meminta Karie untuk menyampaikan salam perpisahannya. “Ada hal penting yang harus kulakukan,” katanya. Aileen mengangguk, memahami keadaan Sintra. Karie tahu bahwa Sintra hanya menggunakan alasan itu untuk menghindari momen emosional yang tidak menguntungkan baginya.
Karie mendekat, memberikan kalung yang pernah mereka buat bersama. “Kak Aileen, ambil ini. Dengan serpihan kaca di liontin itu, kita akan tetap terhubung.” Karie merasa sedikit lebih percaya diri, menyadari bahwa ia bisa memberikan sesuatu yang berarti.
Aileen merasakan berat kalung itu di tangannya, simbol dari kenangan dan persahabatan mereka. Ia memeluk Karie erat, merasakan kehangatan dan cinta dari sahabatnya. “Terima kasih, Erhu. Aku akan selalu mengingat kalian.”
Hari-hari Karie terasa kelabu dan sepi sejak Aileen meninggalkan penampungan. Tanpa kehadiran Aileen, perdebatan antara Karie dan Sintra semakin sering terjadi tanpa ada yang bisa menengahi. Karie sering mempertanyakan keputusan Sintra, membuat Sintra semakin jengkel.
“Kenapa kamu selalu menentangku, Karie?” Sintra melemparkan pandangan tajam, matanya menyala penuh kemarahan. “Aku hanya mencoba bersenang-senang di sini.”
“Aku tidak menentangmu, Sintra. Aku hanya mengingatkan bahwa berjudi dengan kartu-kartu itu hanya akan menghambatmu dalam mengumpulkan uang,” jawab Karie dengan suara tegas, mencoba menahan emosinya.
Sintra mendengus, “Menyingkir dari jalanku. Kamu tidak senang dengan jalan yang kuambil.” Ia melemparkan kantong berisi ratusan koin ke arah Karie. “Ambil itu dan jangan kembali ke tambang karena kamu bukan bagian dari kelompokku lagi. Lihat apa yang bisa kamu lakukan tanpa aku.”
Koin-koin keluar dari kantong, berserakan di tanah. Karie, merasa direndahkan, hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Sintra. Namun, seorang warga yang kebetulan lewat menghentikan gerakannya. “Hei, nona, belum cukupkah koin-koin itu untukmu? Jangan ada kekerasan di sini,” katanya dengan nada tegas.
Sintra, dengan wajah penuh kepura-puraan, merintih, “Tolong, ia terus memeras dan meminta lebih dari kesepakatan.”
Karie berdiri dengan mata membelalak, suaranya bergetar saat ia berkata, “Apa maksud kalian? Aku tidak tidur dengannya, aku hanya menjemputnya untuk segera kembali pulang.” Kemarahan dan kebingungan terpancar dari setiap kata yang diucapkannya, mencoba menjelaskan situasi yang sebenarnya.
“Tapi aku melihat kau keluar dari distrik merah, jangan berbohong dasar pelacur.” Namun, warga itu tidak terpengaruh. Mereka memanggil penjaga, dan sebelum Karie sempat menyadari apa yang terjadi, ia sudah ditahan. Dari kejauhan, ia melihat Sintra perlahan menjauh, melambaikan tangan dengan senyum tipis di wajahnya.
***
Di sebuah ruangan sempit yang hanya diterangi oleh cahaya lilin, suasana tegang terasa kental. Qisqa berdiri dengan tangan bersilang di dada, matanya menyipit penuh kecurigaan.
“Sister, kapan uangnya cair? Ini sudah seminggu dari kepergiannya, jangan-jangan uangnya kamu habiskan untuk sekotak donat lagi,” celetuk Qisqa dengan nada mengejek, suaranya memecah keheningan.
Sister, yang duduk di kursi kayu tua, menatap tajam. “Apa urusanmu,” balasnya dingin, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Qisqa melangkah mendekat, bayangannya menari di dinding karena cahaya lilin. “Kita membaginya sesuai kesepakatan awal. Anda dapat 20% dari mengurus surat-suratnya, sisanya milik kami. Jika ada satu koin saja yang hilang, anda akan berurusan dengan pedang ini. Kami sudah bersikap baik, tidak perlu kekerasan, bukan?” Suaranya berubah serius, penuh ancaman.
Sister mendengus, merasa terpojok namun berusaha tetap tenang. “Mengapa kalian yang mengancam? Seharusnya kalian yang takut. Jika aku membongkar kedok kalian, kalian akan merasakan dinginnya jeruji.”
Qisqa mendekat, wajahnya semakin dekat dengan Sister. “Apakah rumor-rumor buruk tentang diriku di kalangan penampungan sudah hilang ya?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kamu tahu kenapa? Karena orang yang menghalangi kami…” Qisqa menunjukkan gesture menggorok leher, matanya bersinar penuh ancaman. “Atau ingatan mu akan semua hal ini terjadi seperti mimpi.” tiba-tiba menebas leher sister yang entah pedang itu berasal
Tentu, mari kita tambahkan dialog untuk memperjelas situasinya.
Sister itu terbangun di meja kerjanya, terkejut oleh mimpi yang begitu nyata. Rasa sakit di lehernya masih terasa, seolah-olah benar-benar terjadi. Ia bangkit tiba-tiba, membuat rekan kerjanya di sampingnya terkejut dan menatapnya dengan bingung.
“Hei, kamu kenapa?” tanya rekan kerjanya, wajahnya penuh kekhawatiran.
Sister mengusap lehernya, masih merasakan sensasi aneh. “Aku… aku mimpi buruk,” jawabnya dengan suara bergetar. “Rasanya begitu nyata.”
Rekan kerjanya mengerutkan kening, lalu melihat ke arah meja. “Peti dari pelayan bangsawan itu bukannya kamu harus berikan pada Sintra? Di sini tertulis ‘sebuah kenangan dari Aileen’.”
Sister menatap peti itu dengan mata melebar, ingatan dari mimpinya kembali menghantui. “Ya, aku harus memberikannya pada Sintra,” katanya pelan, masih mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Rekan kerjanya menatapnya dengan prihatin. “Kamu yakin baik-baik saja? Mungkin kamu butuh istirahat sebentar.”
Namun, Sister segera pergi ke ruangan Sintra. Ia tahu peti itu penting dan tidak ingin menunda lebih lama lagi. Tepat sebelum masuk ke ruangan Sintra, ia berpapasan dengannya di koridor. Tanpa curiga dan tanpa tertarik sedikitpun pada isinya, Sister menyerahkan peti itu kepada Sintra.
“Ini, peti dari pelayan bangsawan. Katanya ini kenangan dari Aileen,” kata Sister, mencoba tersenyum meskipun pikirannya masih kabur selepas tidur sorenya.
Sintra menerima peti itu dengan anggukan. “Terima kasih, Sister. Aku akan melihatnya nanti,” jawabnya singkat sebelum melanjutkan langkahnya.