"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikah Untuk Bercerai
Kami berduka. Kami dilanda kenyataan yang menyakitkan. Kepergian yang nyata, mengakibatkan kesedihan yang mendalam.
Sepasang kakiku terasa tidak bisa lagi berpijak di bumi. Dengan sisa tenagaku, aku menopang tubuh sendiri. Sekujur tubuhku bergetar sesaat setelah gundukan tanah basah pemakaman Elma mulai ditinggalkan para pelayat.
Hatiku seperti tersengat ribuan belut listrik, diserang dari berbagai arah, sakitnya ... tak bisa kukatakan lagi. Aku limbung ke samping, ayah menahan tubuhku. Berusaha tegar, Ayah menyembunyikan kesedihannya. Namun, mata sayu dan warnanya yang keruh tidak bisa berbohong.
"Ikhlaskan, San. Elma akan tenang di sana," kata Ayah dengan suara yang terdengar sengaja berusaha tegar.
"Ini seperti mimpi, Ayah. Kita kehilangan ibu, lalu sekarang Elma," gumamku.
Aku berusaha berbicara, padahal rasa-rasanya seluruh kosakata dalam tenggorokanku tertahan. Namun, melihat makam Elma yang baru saja digali dan kini sudah tertutup lagi, hatiku hancur berserakan.
Kulihat Niklas berjongkok di depan makan, memegangi nisan Elma seraya menunduk dalam-dalam. Wajah Niklas begitu kentara memamerkan kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Dia seperti ayah, dia kehilangan separuh jiwanya.
"Elma ... apa yang dia pikirkan tentang permintaan terakhirnya, Ayah?" gumamku.
"Kita bahas nanti saja, Tsania."
"Ayah tahu aku nggak akan bisa melakukannya. Lihatlah, Niklas. Dia sangat mencintai Elma. Dia tidak akan pernah bisa menghilangkan dukanya dengan cepat."
"Tsania ...."
Aku berusaha melepaskan diri dari ayahku, lalu bergegas menjauh. Langkah kakiku terseok-seok, tak peduli dengan beberapa orang yang melihat. Bahkan Tante Julia dan Om Sandy yang masih di sana hanya bisa tertegun saat aku menyeret langkah.
Nyeri yang bercokol dalam dadaku makin terasa parah. Mataku terasa lelah karena menangisi jasad Elma sejak tadi pagi. Sampai-sampai air mataku kering, tak bisa jatuh lagi.
"Jangan menyetir sendiri, Tsania. Kamu sedang dalam kondisi tidak tenang begini," kata Ayah yang berhasil menyusul aku. Beliau menahan lenganku saat aku hendak masuk ke mobil. "Tsania!"
Ayah berteriak sambil meraih kedua bahuku. Sepasang matanya memerah; entah oleh kemarahan atau kesedihan atau mungkin dua-duanya. Sepasang mataku menatap kosong wajah Ayah yang terlihat lelah. Air mataku menetes pelan untuk ke sekian kali membasahi pipi.
"Ayah ...." gumamku di sela tangis.
Tanpa berkata apa pun, Ayah menarikku ke dalam pelukannya. "Tenanglah, Tsania. Elma tidak ingin kamu bersedih begini."
"Kenapa Tuhan tidak adil begini, Ayah?" Aku mulai meracau.
"San, jangan bicara seperti itu. Tuhan telah menentukan ini bahkan sebelum Dia menciptakan kita. Tuhan sudah menakdirkan ini pada kita. Memang tidak akan semudah itu untuk ikhlas, tapi kita juga tidak bisa larut dalam kesedihan."
Kacau sekali! Aku mendengar kata-kata itu dari seseorang yang separuh dunianya telah hancur. Ayah yang berusaha menguatkan aku di saat dia juga berusaha menguatkan diri sendiri atas kehilangan istri dan anak kandungnya.
"Tsania, sekarang hanya kamu yang Ayah miliki. Ayah tidak kamu kehilangan lagi, Nak," imbuh Ayah.
Tubuhku terasa makin lemas, bukan hanya karena musibah ini. Namun, aku baru ingat, tak sedikitpun makanan berhasil tertelan mulutku hari ini. Kepalaku terasa berat dan penglihatan mulai tidak jelas.
"Tsania ...." panggil Ayah seraya menggerakkan badanku.
"Ada apa, Mas?"
Samar-samar kudengar suara Tante Julia mendekat. Ayah menopang tubuhku yang mulai ambruk; nyaris saja terjatuh ke trotoar.
"Kita bawa dia pulang sekarang," ucap Om Sandy yang juga ternyata masih ada di sana.
Kesadaranku sepertinya akan menghilang sebentar lagi. Langit sore yang sedikit cerah seperti akan runtuh menghantam kepalaku. Di atas sana, pada awan-awan yang bergerak, aku melihat kamuflase wajah Elma yang tersenyum lemah. Hatiku kian dibuat pedih.
Ayah memanggilku beberapa kali, tetapi aku tidak sanggup merespons. Suaraku seperti tidak bisa keluar untuk menjawab Ayah. Bahkan saat Ayah menepuk-nepuk pipiku dengan pelan, aku tidak sanggup merespons.
"Ayah, biar saya yang membawa Tsania pulang bersama Ibu. Ayah pulanglah dengan Ayah Sandy."
Sebelum kesadaranku benar-benar hilang, suara Niklas menyapa indra pendengarku.
Niklas ... hatiku berbisik samar. Tahukah dia, bahwa dirinya terkurung jauh di dalam ruang hatiku yang paling jauh.
——oOo——
Mataku samar-samar terbuka, lengkung elips terbentuk memperlihatkan plafon kamar yang putih mulus. Aroma familiar menyergap hidungku. Perasaanku nyeri saat menghirup aroma ini. Aroma yang telah lama hilang dari hidupku. Aroma parfum Niklas.
"Elma ...." gumamku sesaat setelah mataku terbuka sepenuhnya.
Aku terdiam berusaha mengingat apa saja yang terjadi di hari yang telah lewat ini. Sepasang mataku melirik jendela yang gordennya diterbangkan angin dengan lembut. Oh, rupanya hari sudah gelap. Berapa lama ya aku tertidur?
"Baguslah kalau kamu sudah bangun."
Suara berat Niklas membuatku menoleh. Dia duduk tidak jauh dariku, di tepi kasur, di dekat ujung kakiku. Aku berusaha bangkit dan bersandar pada sandaran ranjang, menatap Niklas dengan mata yang lelah karena menangis.
"Makananmu ada di situ," ucapnya lagi seraya menunjuk piring berisi lauk pauk di atas meja. "Makan setelah kita selesai bicara."
"Aku sedang nggak ingin bicara, Niklas." Bibirku bergetar menyebut namanya.
"Saya nggak peduli dan saya akan tetap bicara."
Tak bisa menolak ucapannya lagi, aku hanya menunduk selama mungkin. Mempermainkan jari-jariku dan menunggu kalimat yang akan meluncur dari bibir Niklas.
"Kamu pasti sudah mendengar rencana gila orang tua kita," kata Niklas dan aku yakin memang inilah yang akan dia bahas.
"Bisakah kita membahasnya setelah semuanya agak tenang. Elma baru saja pergi dan ...."
Niklas beranjak membuatku menahan kalimat. Aku mendongak padanya yang masih berdiri seraya menatapku tanpa ekspresi. Sorot matanya yang kemerahan terlihat kosong. Bukan seperti Niklas yang aku kenal bertahun-tahun lalu.
"Saya menyetujuinya karena rasa patuh saya pada orang tua. Karena hanya saya yang mereka harapkan," ucapnya setelah sekian detik terdiam. "Tapi, kali ini saya ingin menikah untuk bercerai. Kamu mengerti, kan, Tsania?"
"Katakan pada mereka, kalau kamu bisa menikahi perempuan lain. Jangan aku karena aku nggak akan pernah bisa melakukan itu meski itulah keinginan terakhir Elma," pungkasku seraya mengalihkan tatapan ke jendela. Tak mau menatap Niklas lebih lama lagi.
Akan tetapi, Niklas seperti tidak mau mendengar kata-kataku. Dia berkata, "Setelah anak itu lahir, kita akan bercerai." Bahkan dia berkata di malam kematian Elma. Sadarkah dia? Istrinya baru saja meninggal!
"Siapa yang ingin hamil anakmu? Aku bilang, aku tidak akan melakukannya," Aku memprotes sedikit menyergah.
Kami saling memandang selama sekian detik. Ucapanku memicu ingatan masa lalu yang tiba-tiba muncul dengan cepat dalam kepalaku. Kurasa Niklas juga terlempar ke masa lalu, mungkin.
Aku melengos lagi. "Elma kakakku, aku selalu melakukan apa pun untuknya. Namun, kali ini aku tidak bisa, Niklas. Sekali saja, aku ingin menolak. Sekali saja ... aku ingin berhenti mengabulkan permintaan Elma."
Niklas berbalik dan melenggang menuju pintu. Sebelum keluar dia berkata, "Pendapatmu tidak diperlukan, Tsania. Kalau kamu merasa ini menyakitimu, mungkin memang inilah yang tepat. Balasan untukmu yang sudah menyiksa perasaan tulus orang lain di masa lalu. Kamu sedang dihukum atas kesalahanmu sendiri."