Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Jejak di Tengah Kota
Pagi pertama setelah malam yang panjang. Jakarta perlahan menggeliat, hiruk-pikuk kembali memenuhi jalanan. Namun bagi Raka dan Nadia, hari itu bukanlah awal yang tenang. Di balik derasnya arus lalu lintas dan gemuruh aktivitas warga, mereka tahu waktu semakin sempit.
Setelah berpisah dengan Pak Hasan, Raka dan Nadia melaju menuju pusat kota. Tujuan mereka jelas: mencari petunjuk lebih lanjut tentang "Brahmana," sosok misterius yang disebut Viktor sebagai salah satu penggerak utama jaringan kriminal ini.
“Kita akan mulai dari informasi yang diberikan Viktor,” ujar Raka sambil menggenggam erat setir mobil. “Dia menyebut sebuah perusahaan di kawasan Sudirman. Tempat itu jadi prioritas kita.”
Nadia menatap peta yang ada di ponselnya, mencoba memahami rute dan gedung-gedung yang disebutkan Viktor. “Perusahaan itu besar. Mereka pasti punya pengamanan ketat, terutama kalau benar mereka adalah bagian dari jaringan ini.”
Raka mengangguk. “Makanya kita harus berhati-hati. Kita cari cara untuk masuk tanpa menarik perhatian.”
Sesampainya di kawasan Sudirman, gedung-gedung pencakar langit berdiri megah. Salah satunya adalah gedung tempat perusahaan yang disebut Viktor. Dengan kaca-kaca reflektif yang bersinar terkena cahaya matahari pagi, gedung itu terlihat seperti bangunan korporat pada umumnya. Tapi Raka dan Nadia tahu lebih baik: di balik tampilan megah itu, ada rahasia besar yang tersimpan.
Mereka memarkirkan mobil di sebuah pusat perbelanjaan yang tak jauh dari gedung tersebut. Dari tempat itu, mereka bisa mengamati gerak-gerik di sekitar tanpa terlalu mencolok. Nadia memotret beberapa penjaga keamanan yang berjaga di lobi utama gedung.
“Penjagaan mereka cukup ketat. Ada CCTV di setiap sudut, dan orang yang masuk harus punya akses khusus.”
Raka memperhatikan sekeliling.
“Kalau kita mau masuk, kita butuh kartu akses. Cara tercepat adalah mendapatkannya dari karyawan mereka. Tapi bagaimana caranya?”
Mereka terus mengamati selama beberapa jam, mencoba memahami pola pergerakan di gedung tersebut. Saat itulah Nadia melihat seseorang keluar dari pintu utama, seorang pria muda dengan setelan rapi yang tampak seperti karyawan. Di tangannya tergantung sebuah kartu akses dengan logo perusahaan.
“Dia target kita,” bisik Nadia. “Kalau kita bisa mendekatinya, mungkin kita bisa mendapatkan sesuatu.”
Raka dan Nadia mengikuti pria itu dari kejauhan, memastikan langkah mereka tidak mencurigakan. Pria itu berjalan menuju sebuah kafe kecil di sudut jalan, tampak terburu-buru. Sesampainya di sana, dia memesan kopi dan duduk di salah satu meja.
Raka dan Nadia saling berpandangan. Ini adalah kesempatan mereka.
“Biar aku yang bicara,” ujar Nadia sambil berdiri. “Kamu awasi dari sini.”
Nadia mendekati pria itu dengan senyum ramah. “Maaf, saya tidak sengaja mendengar tadi. Kamu kerja di gedung itu, ya? Saya sering lewat sana dan selalu penasaran, perusahaan apa sih sebenarnya?”
Pria itu tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum.
“Oh, itu perusahaan konsultan keuangan. Kebanyakan kerjaan kami berkutat di bidang investasi.”
“Oh, keren banget,” jawab Nadia antusias. “Kamu pasti sibuk banget kerja di sana.”
Percakapan mereka berlanjut dengan santai. Nadia, dengan kemampuannya berbicara, berhasil membuat pria itu merasa nyaman. Hingga akhirnya, dia berhasil mendapatkan informasi penting: jadwal pergantian shift penjaga keamanan dan lantai-lantai yang memerlukan akses tambahan.
Ketika pria itu akhirnya pergi, Nadia kembali ke meja Raka. Di tangannya, dia membawa sebuah kartu akses yang berhasil dia ambil dengan cepat tanpa disadari pria tersebut.
“Ini,” ujarnya sambil tersenyum bangga.
Raka menatap kartu itu dengan serius. “Bagus. Sekarang kita punya jalan masuk. Tapi ini baru langkah pertama.”
Dengan kartu akses di tangan mereka, Raka dan Nadia semakin dekat dengan pusat operasi jaringan yang mereka buru. Namun, mereka tahu langkah ini penuh risiko. Satu kesalahan kecil saja bisa membuat mereka terjebak dalam perangkap yang tidak akan membiarkan mereka keluar hidup-hidup.
Raka menatap kartu akses itu dengan pandangan tajam.
“Kalau kita masuk, kita harus pastikan semuanya serapi mungkin. Tidak ada ruang untuk kesalahan.”
Nadia mengangguk pelan, meski matanya menyiratkan sedikit keraguan.
“Aku tahu. Tapi, kalau ini benar-benar sebesar yang Viktor katakan, apa kita punya cukup waktu? Maksudku, mereka pasti punya sistem keamanan canggih yang bisa mendeteksi kita begitu kita mencoba mengakses data di dalam.”
“Kita tidak punya pilihan lain,” jawab Raka tegas.
“Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan mereka mencurigai Viktor sudah membocorkan sesuatu. Mereka bisa saja menghancurkan bukti atau memperketat pengamanan.”
Nadia menghela napas panjang. “Baiklah. Kalau begitu, kita harus merencanakan semuanya malam ini. Tidak ada detail yang boleh terlewat.”
Malam perlahan tiba, membawa suasana yang lebih tenang di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Namun, ketenangan itu terasa seperti jeda sebelum badai besar. Di sebuah apartemen kecil yang mereka sewa sementara, Raka dan Nadia duduk di meja dengan berbagai peta, sketsa gedung, dan catatan kecil berserakan di hadapan mereka.
“Aku akan menangani sistem keamanan digital mereka,” ujar Nadia sambil menunjuk ke lantai tertentu yang disebut-sebut sebagai pusat data perusahaan itu.
“Kamu fokus pada dokumen fisik yang mungkin mereka simpan di ruang arsip.”
Raka mengangguk.
“Dan kalau sesuatu tidak berjalan sesuai rencana?”
Nadia terdiam sejenak. Pertanyaan itu melayang di udara, memberatkan suasana. “Kalau itu terjadi... kita keluar secepat mungkin. Tidak ada alasan untuk bertahan lebih lama daripada yang diperlukan.”
Di luar jendela, lampu-lampu kota Jakarta berkilauan, memantulkan bayangan gedung-gedung pencakar langit di sungai yang mengalir perlahan. Pemandangan itu kontras dengan apa yang mereka rasakan di dalam hati: ketegangan, kekhawatiran, dan ketidakpastian.
Namun, di balik semua itu, ada semangat yang terus menyala. Mereka tahu, perjuangan ini lebih besar dari sekadar mereka berdua. Ini tentang semua orang yang menjadi korban dari jaringan kriminal yang mereka hadapi. Ini tentang membuktikan bahwa kebenaran, betapa pun sulitnya, selalu layak diperjuangkan.
“Besok pagi,” kata Raka pelan. “Besok pagi kita mulai.”
Nadia mengangguk, matanya menatap lurus ke arah Raka.
“Kita akan melewati ini. Apa pun yang terjadi, kita harus percaya pada satu hal: kita tidak sendirian. Selama kita bekerja bersama, mereka tidak akan bisa menghentikan kita.”
Malam itu, di bawah langit Jakarta yang gelap, mereka bersiap untuk menghadapi apa yang mungkin menjadi misi paling berbahaya dalam hidup mereka. Bahaya mengintai dari setiap sudut, tapi di dalam hati mereka ada keyakinan kuat bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya sendiri.
Langkah ini adalah langkah kecil menuju akhir, tetapi mereka tahu, akhir itu masih jauh. Dan meski jalan di depan terlihat penuh rintangan, mereka tidak akan berhenti hingga semua rahasia yang tersembunyi terungkap.
Jakarta, dengan segala gemerlap dan kelamnya, menjadi saksi atas tekad dua jiwa yang tidak akan pernah menyerah. Perjuangan mereka baru saja memasuki babak yang lebih dalam—babak yang akan menentukan segalanya.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)