Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Kelana melepas dekapan Kadara dari tubuhnya, lantas menilik wajah istrinya sangat intens. Namun gara-gara setitik kebohongan yang didapat, kepercayaan yang dulu mengalir deras itu pun seolah sudah terkuras habis.
“Mas –“
“Jangan kasih alasan apa pun lagi. Saya udah nggak percaya sama semua kata-kata kamu. Atau jangan-jangan, penyakit kamu itu didapat dari Adipati? Kalian sudah khianati saya sampai segitunya?” tanya Kelana.
“Bukannya aku udah pernah bilang, aku punya penyakit aneh ini semenjak diperkosa sama bos aku. Aku sama Adipati nggak pernah ngapa-ngapain.”
“Bohong.”
“Apa perlu aku bersumpah kalau aku nggak bohong? Oke, sekarang aku ngaku kalau aku sama Adipati memang pernah pacaran, tapi aku cuma manfaatin dia aja, Mas. Penyakitku ini muncul setelah dilecehkan bos yang suka cobain banyak perempuan.”
“Dilecehkan? Dilecehkan tapi mau dibayar namanya apa?”
Kadara tertegun. “Kamu tau itu?”
“Saya sudah tanya langsung ke Pak Angkasa. Kamu mau terima uang dari dia setelah digituin, kan? Bahkan orang tua kamu juga mau terima uang dari dia. Kenapa kalian malah terima bayaran, hm? Kenapa?”
“Terus aku harus apa, Mas? Aku nggak boleh ambil uang ganti rugi setelah keperawanan aku diambil, gitu? Orang tuaku juga nggak boleh terima uang kerugian itu juga, kah? Terus aku sama orang tuaku harus gimana? Harus lapor polisi buat ngelawan orang yang banyak uang? Atau harus gigit jari nggak dapet ganti rugi apa-apa?”
“Terserah, saya capek bicara sama kamu yang punya seribu satu alasan.”
“Tapi memang itu kenyataannya, Mas. Bahkan di kantor itu bukan cuma aku yang dapat perlakuan seperti itu. Rekan aku juga banyak yang ngalamin hal sama tapi cuma bisa diam dan terima uang untuk tutup mulut. Mereka nggak ada yang berani sama orang berduit. Mereka semua sama kayak aku yang nggak bisa apa-apa selain terima uang ganti rugi dan keluar dari perusahaan.”
“Tapi intinya kamu tetap selingkuh. Mungkin saya masih bisa terima kamu yang nggak perawan karena pelecehan, tapi untuk perselingkuhan, jawabannya enggak. Saya nggak bisa terima kamu yang udah berkhianat sama Adipati. Clear, lebih baik kita ke belakang untuk bicarakan kelanjutan hubungan di depan ibu.”
Kelana meninggalkan Kadara dan sudah malas untuk berdebat lagi. Masalahnya itu harus dibicarakan dengan ke dua belah pihak keluarga karena ibu-ibu mereka lah yang ingin hubungan mereka tetap berlanjut. Namun saat Kelana menerabas gorden, tubuh tinggi tegapnya itu terasa menabrak sesuatu yang hampir terpental.
“Aduh.” Bening mengusap kaki yang terinjak oleh ibunya.
“Bening, Bu Ajeng, ngapain kalian di sini?” tanya Kelana.
“Kita nggak ngapa-ngapain kok, Bang. Aku cuma mau jelasin ke Abang, kalau aku nggak nangis gara-gara Mbak Dara. Tadi aku lagi ngiris bawang merah buat toping sambel jengkol, Bang. Tapi mata aku jadi perih dan akhirnya nangis,” jelas Bening.
“Aku beneran nggak ngapa-ngapain Bening, Mas,” sambung Kadara di belakang Kelana.
“Bulshit.”
“Mas –“
“Ayo kita ke belakang, Bening. Saya punya sesuatu buat kamu.” Kelana menggenggam tangan Bening hingga melangkah.
“Mas, aku juga mau digandeng sama kamu.” Kadara menggenggam jari jemari Kelana, namun tangan istri ke duanya itu langsung ditepis.
“Mas aku juga istri kamu.” Kadara berkaca-kaca.
“Bang, kasian Mbak Dara. Gandeng juga tangannya,” titah Bening yang tak tega.
“Benar, Mas. Mbak Dara juga berhak mendapat perlakuan yang sama. Mas Kelana berdosa kalau bersikap nggak adil gini, Mas. Jangan sakiti hati istri,” ujar Ajeng.
Kelana tak memedulikan tiga wanita yang bicara di sekelilingnya. Ia sudah tak peduli lagi dengan dosa di tengah rasa sakit hatinya. Namun langkah ke empat orang itu pun terhenti di ambang pintu menuju dapur.
Mereka semua terkejut karena menyaksikan Agustina dan Dewi yang sedang mencoba beha yang dipasang di luar baju mereka, bahkan isi kado dari direktur Kelana itu sudah berhamburan di atas meja yang menjadi satu dengan sayuran.
“Kenapa kadonya dibuka?” tanya Kelana.
“Kamu yang ngapain taruh kado di sini, Kelana. Ibu penasaran liat kado sebesar ini. Tapi ternyata isinya beha semua?” ujar Agustina yang memakai beha berwarna merah muda di luar bajunya.
“Ini beha dari siapa dan untuk siapa, Kelana?” tanya Dewi yang memasang beha berwarna jingga.
“Itu kado pernikahan dari bos di kantor.” Kelana duduk di hadapan ibu-ibunya yang sedang antusias memilih beha.
“Jadi beha – beha ini untuk Bening dan Kadara?” tanya Agustina.
“Benar, tapi kalau kalian mau, ambil aja. Bu Ajeng juga boleh ambil.”
“Masya Allah, terima kasih, Mas.” Ajeng pun menghampiri Agustina dan Dewi untuk memilih beha juga.
“Saya yang ini ya, Bu.” Ajeng mengambil beha berwarna ungu.
“Ini yang sudah saya pilih, Bu,” Agustina merebut beha Ajeng.
“Dara, sini pilih-pilih juga,” ajak Dewi.
“Bening, kamu mau yang mana?” tanya Ajeng.
“Aku suka warna hitam, Bu.” Bening mengambil semua beha yang berwarna hitam.
“Aku mau yang merah dan biru.” Kadara mengambil beha yang warnanya sama.
“Aku mau yang pink juga, Bu.” Bening merebut beha pink yang sedang dikibarkan Ajeng.
Kelana yang pria sendiri di dalam rumah itu pun, hanya bisa menyaksikan semua makhluk Hawa yang sedang antusias memilih beha.
“Sudah selesai pilih behanya?” tanya Kelana yang ingin bicara.
“Bu, ini apa?” Bening mengangkat kotak yang bertuliskan ‘Sutra’.
“Itu pengaman laki-laki, Bening,” sahut Agustina.
“Oh, berarti ini buat Bang Kelana.” Bening meletakan sekotak pengaman pria itu di hadapan Kelana.
“Saya mohon berhenti dulu.” Kelana menyembunyikan pengaman pria itu di pahanya. “Saya ingin bicara hal penting.”
“Mau bicara apa, Kelana? Tinggal bicara aja,” sahut Agustina yang sedang menerawang beha berenda.
“Saya mau tanya pendapat ibu dan pendapat Bu Dewi tentang hubungan saya dan Dara. Kalau hubungan kami tak bisa diteruskan, apa kalian akan terima?”
Pertanyaan Kelana membuat semua aktivitas terhenti, semua mata itu pun meninggalkan beha untuk memandang Kelana yang sedang serius.
“Mas, aku nggak mau pisah dari kamu,” ujar Kadara.
“Kelana, tolong jangan ceraikan anak ibu. Ibu nggak mau putri ibu jadi janda,” sambung Dewi.
“Kamu kenapa, Kelana? Kamu masih nggak terima Kadara yang udah nggak perawan karena dilecehkan?” tanya Agustina.
“Aku masih akan terima walaupun Dara sudah nggak perawan kalau alasannya hanya dilecehkan. Tapi Dara sudah khianati aku dengan laki-laki lain. Ibu ingat Adipati?”
“Sahabat kamu dari jaman sekolah?” jawab Agustina.
“Ya, Dara sudah selingkuh dengan Adipati dan aku nggak tau mereka pernah ngapain aja. Mungkin mereka sudah melakukan hubungan suami istri.”
“Kamu masih nggak percaya, Mas? Aku nggak pernah lakuin itu sama Adipati. Aku Cuma memanfaatkan waktu, uang, perhatian, dan hal-hal besar yang nggak bisa kamu kasih ke aku.”
“Uang? Bukannya saya selalu kasih kamu uang? Kalau kamu butuh uang, kenapa nggak nikah sama bos kamu aja!” l
“Aku udah ambil uang dari Pak Angkasa, Mas. Tapi untuk menikah sama dia, tentu aku nggak mau. Karena senakal-nakalnya aku, aku juga pilih-pilih untuk urusan suami. Aku mau menikah sama pria yang aku cintai, dan nggak mau punya suami yang suka celup sana-sini sampai penyakitan.”
“Terus perhatian dan hal besar apa yang nggak bisa saya kasih ke kamu, Dara? Semuanya sudah saya kasih buat kamu!”
“Kamu memang selalu perhatian dan kasih apa pun yang aku mau, Mas. Tapi nggak semuanya, karena keuangan kamu nggak cukup untuk semua itu. Kamu nggak pernah mau kuajak ke konser BTS, ke konser black pink, ke konser artis Indonesia yang lain, kamu juga selalu nolak kalau aku minta tas mahal, kamu selalu lembur malam dan nggak ada waktu buat temenin aku jalan-jalan, bahkan tiap aku minta boneka labubu, kamu selalu nolak dengan alasan barang nggak penting. Kamu cuma penuhi kebutuhan penting aku aja, Mas. Tapi enggak buat semua hobi aku. Cuma mas Adipati yang bisa wujudkan semua keinginan aku yang kata kamu nggak penting itu.”
“Tapi itu memang nggak penting. Intinya saya kecewa sama penghianatan kamu apa pun alasannya!”
“Terus mau kamu gimana, Mas? Aku nggak mau cerai sama kamu!”
“Saya akan serahkan semuanya pada ibu dan Bu Dewi, kalian yang ingin pernikahan kami berlanjut, kan? Saya sudah berusaha jadi anak yang nurut apa kata orang tua, lalu gimana tanggapan kalian setelah tau Dara selingkuh dengan laki-laki lain?” tanya Kelana.
“Kelana, maafkan putri ibu, ya? Dara cuma manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan juga. Tapi Dara kan sudah memutuskan selingkuhannya, apa kamu nggak mau kasih kesempatan ke dua untuk putri ibu?” tanya Dewi.
“Jadi Dara beneran selingkuh, Wi?” tanya Agustina.
Dewi mengangguk. “Dara baru cerita semuanya dan aku baru tau, Tin. Dara memang selingkuh dengan sahabatnya Kelana, tapi Dara menyesal dan sudah tinggalkan laki-laki itu demi Kelana.”
“Benar begitu, Dara?” tanya Agustina.
Kadara mengangguk sambil menangis. “Benar, Bu. Maafin aku, aku menyesal.”
“Oke, ibu serahkan semuanya sama kamu, Kelana,” ujar Agustina.
“Kelana, ibu mohon tolong jangan ceraikan Dara. Apa kata tetangga dan keluarga, kalau Dara jadi janda di usia pernikahannya yang baru seumur jagung? Ibu nggak papa kalau kamu mau marah sama Dara. Tapi tolong jangan ceraikan Dara. Memangnya kamu nggak kasihan sama Dara? Kamu nggak bisa maafkan kesalahan anak ibu? Tuhan aja mau memaafkan, Kelana.”
“Saya bukan Tuhan yang maha memaafkan, Bu.”
“Apa kita yang hanya manusia ciptaan mau lebih sombong dari Tuhan? Yang menciptakan saja bisa memaafkan kesalahan yang diciptakan, lalu yang diciptakan kenapa nggak bisa memaafkan kesalahan sesama yang diciptakan? Atau kalau posisinya dibalik, gimana? Gimana kalau kamu yang selingkuh? Kamu akan minta maaf juga sama Dara, kan? Gimana perasaan kamu kalau Dara nggak mau maafkan kamu?”
“Tapi saya bukan pria yang seenaknya bisa selingkuh. Saya juga nggak punya penyakit menular.”
“Mas, jujur aku juga baru tau kalau kutilku ini penyakit menular. Aku langsung cari tau tentang itu setelah Mbak Harum periksa aku. Kupikir ini cuma kutil biasa, Mas. Tapi aku belum percaya sepenuhnya kalau kutil ini penyakit serius, sebelum ngecek ke dokter spesialis langsung,” jelas Kadara.
“Kelana.” Dewi bersimpuh di kaki Kelana. “Ibu mohon jangan ceraikan Dara. Ibu akan ngerti kalau kamu nggak bisa terima Dara karena penghianatan dan penyakitnya, tapi tolong, jangan singkirkan kami dari hidup kamu, cuma kamu yang selalu baik pada kami. Kalau kamu mau menghukum Dara dengan cara apa pun, ibu nggak papa. Yang penting tolong jangan buat Dara jadi janda.”
“Bangun, Bu.” Kelana mengangkat ke dua bahu Dewi untuk bangkit. Pria yang punya rasa tak tega yang tinggi pada seorang ibu itu pun, merasa durhaka melihat seorang ibu yang mau bersimpuh di kakinya.
“Nggak, ibu nggak mau bangkit sebelum kamu bilang nggak akan tinggalkan Dara dan ibu sendirian.” Dewi kembali bersimpuh di kaki Kelana.
“Oke, Dara akan tetap jadi istri saya, tapi hanya sekedar status. Saya nggak punya kewajiban kasih Dara nafkah batin karena dia penyakitan. Dan saya akan tunggu kalian sampai capek sendiri.”