Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pertemuan dengan itu berlalu begitu saja.
Aku lebih fokus pada Bulan. aku lega karena melihatnya tidur di kamar.
"Syukurlah.. Dia sudah tidur." ucapku sambil membelai rambutnya.
Astaga..! Keningnya panas sekali. matanya terlihat berair.
Dia setengah mengigau.
"Bulan .!" Aku terpaku menatapnya.
Seluruh badannya panas sekali.
Lalu dimana ibu? Bukannya Bulan aku titipkan ke dia?
Dengan sigap aku mengambil air hangat dan mengompresnya.
Beberapa kali ku coba hubungi mas Sigit tapi tidak bisa.
Saat itu datang ibu menghampiriku. Wajahnya terlihat santai. Sama sekali tidak ada rasa khawatir melihat keadaan Bulan yang merengek di gendonganku.
"Ibu darimana? Kenapa Bulan di tinggal sendirian?" cecar ku kesal.
"Ibu ke warung sebentar." jawabnya enteng.
"Ibu? Bulan demam. Dan ibu tinggal sendirian?" aku tidak tahan lagi dengan air mataku yang mengalir deras.
"Hanya demam biasa. Semua anak pernah mengalaminya. Waktu ibu tinggal juga dia tidak rewel..." dia masih bisa menjawab.
Ampun ibu, dia cucumu. darah daging mu juga. Ke apa kau tega sekali padanya? batinku memberontak. Tapi tidak bisa terucap.
Dia bahkan merampas handphone ku saat tau aku berusaha menghubungi mas Sigit.
"Tidak usah ganggu Sigit dengan hal sepele ini. Dia sudah berpesan jangan di ganggu."
"Panasnya semakin tinggi, Bu. Ibu bilang ini hal sepele?"
"Ini ibu sudah bawakan obat dari warung. dengan obat itu juga sembuh."
walau ingin berontak. Aku menurut. Aku biarkan ibu mem berikan obat yang di jual bebas di warung itu.
Tapi semakin sore, bukannya tambah membaik. kondisi Bulan malah semakin memburuk. Di mulai muntah-muntah dan menolak makan dan minum
Aku semakin panik. mana Mas Sigit belum muncul juga.
Ibu masih juga terlihat tenang. apa memang hatinya terbuat dari batu. Sama sekali tidak iba melihat kondisi cucunya. Coba saja Tara yang ada di posisi itu. aku yakin perlakuannya akan berbeda.
"Bu, aku minta uang. Aku mau membawa Bulan ke dokter. Kondisinya sangat parah." ucapku mengiba. Berharap wanita itu memberiku sedikit uang.
Aku menyesal uang aku habiskan membeli cincin waktu itu.
Memang masih ada sisa, tapi di pinjam oleh tetangga. Aku berikan karena memang sengaja aku kumpulkan untuk modal usaha. Dan sudah coba aku tagih. dia bilang karena mendadak dia tidak bisa menyiapkan uangnya.
"Percaya sama ibu. Bulan tidak akan kenapa-napa. Rawat di rumah saja. Lagi pula Sigit sedang tidak ada. Ibu takut dia akan marah kalau membawa Bulan tanpa sepengetahuan nya."
Aku menangis sendirian di kamar. dimana aku mendapatkan uang untuk pengobatan putriku?
Aku harus segera mengambil keputusan.
Ya, Aku harus membawa. Bulan berobat. Ini tidak boleh di biarkan. Tanpa uang di tangan, dan tanpa sepengetahuan ibu, aku membawa Bulan ke tempat Bu dokter yang sedang mengabdi di kampung kami.
Tekadku hanya satu. menyelamatkan Bulan. Tentang kemarahan mertua, tentang pertanyaan mas Sigit aku abaikan.
Dan tentang uang? Ah biarlah di pikirkan Belakangan.
Tanpa perduli apapun, aku bawa Bulan masuk ke tempat praktek.
Mala, seorang gadis yang biasa membantu Bu Dokter menyongsong ku.
"Kenapa anaknya, Mbak?"
"Demam tinggi. Bu Dokter ada, kan? tolong lah segera." pintaku dengan cemas.
"Bu Dokter tidak ada Mbak. Beliau sedang ada acara keluarga, makanya pulang ke jakarta." jawab Mala.
Aku menggigit bibir mendengarnya.
"Tapi tenang saja, ada Dokter lain yang menggantikannya sementara." jawab Mala, lalu dia bertindak cepat.
Dengan cekatan Mala melakukan tugasnya.
setelah itu datang dokter yang di maksud.
Karena fokus pada keadaan Bulan, sampai-sampai aku tidak sempat memperhatikan dokter itu.
"Sejak kapan demamnya..?" tanya si Dokter.
"Sejak siang tadi, Dok." ujarku sambil
mendongak karena bukan suara perempuan yang ku dengar.
Tatapan kami bertemu.
Bukannya dia yang menolongku memberi tumpangan tadi?
"Kau yang tadi siang itu, kan?" tanyanya sambil tetap melakukan pekerjaan nya.
Aku baru paham kalau Dokter Agam adalah pengganti Bu Dokter. Orangnya ramah dan santun.
Dia bekerja dengan cekatan.
"Anakmu akan baik-baik saja.." ucapnya tersenyum.
Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih.
Karena demamnya tinggi dan kekurangan cairan, Bulan terpaksa di infus.
"Maaf, apa keluargamu tau tentang kondisi Bulan?" tanyanya sambil mengulurkan sebotol air putih.
"Minumlah, jangan terlalu tegang." sambungnya tak lupa dengan senyum ramah.
"Ayahnya Bulan?" dia kembali mengulang pertanyaan nya. Mungkin dia heran karena aku sendirian saja datang kesana.
"Ayahnya sedang bekerja.." jawabku lirih.
Dia hanya mengangguk pelan.
Dia terus bercerita tentang awal mula ada di kampungku.
Aku hanya menanggapinya dengan anggukan.
Yang ada di kepalaku saat itu adalah uang. Darimana aku dapat untuk biaya perawatan Bulan. Aku tidak yakin mas Sigit mau membantu karena aku mengambil keputusan sendiri.
"Dok silahkan beristirahat. Biar saya yang menunggu Bulan."
"Tidak ada apa-apa, aku juga belum mengantuk. Entahlah, selama dua malam terakhir aku agak susah tidur. Jadi kalau ada teman ngobrol aku senang."
Ia bicara sambil mengukur suhu badan Bulan.
"Alhamdulillah panasnya sudah menurun." ucapnya senang.
Saat itu sudah pukul delapan malam. Dokter Agam permisi untuk keluar sebentar.
Aku lega memandangi wajah Bulan yang yang kembali segar. Keringat membasahi rambutnya. Tapi aku juga heran sampai saat ini Mas Sigit belum muncul juga. Padahal aku sudah mengirim pesan padanya.
Aku menoleh saat Bulan merengek dan minta minum.
"Ibu, lapal.." ia berucap dengan logat cadelnya.
"Bulan lapar?" Dia mengangguk. Aku ingat ucapan Dokter Agam kalau perut Bulan sedang kosong.
"Bulan tidak makan tadi siang?" tanyaku pelan.
Dia menggeleng.
"Nasinya abis..!" ucapnya polos.
"Nasinya habis? Siapa bilang begitu sayang..?" tanyaku terkejut.
"Nenek.." aku semakin kaget. Jadi ibu tidak memberi Bulan makan siang? Keterlaluan..! Sambil mengumpat aku menitipkan Bulan kepada Mala.
Aku meraba saku rok yang ku pakai. Ada uang dua puluh ribuan. Cukuplah untuk membelikan Bulan sesuatu.
."May, kau mau kemana?" tegur Dokter Agam saat kami berpapasan di depan.
"Bulan minta makan sesuatu. Saya mau carikan di warung depan itu."
"Tidak perlu. Aku sudah membawanya. Ayok masuk kembali.." ujarnya sambil mengangkat satu kantong penuh makanan.
Aku terharu melihat Bulan makan dengan lahap. Dia benar-benar kelaparan.
Dan Dokter itu seakan memang sengaja membelinya untuk Bulan, karena selain nasi bungkus ada juga susu dan camilan sehat buat anak-anak.
"Terima kasih banyak, Dokter." ucapku bersungguh-sungguh.
"Santai saja, aku suka anak kecil." jawabnya ringan.
Aku dan Mala hanya tersenyum.
"Dokter Agam memang suka anak kecil, Mbak. Anak-anak juga suka padanya. Bahkan pernah ada pasien anak yang tidak mau di ajak pulang ibunya karena masih mau bersama Dokter.." sambungnya lagi.
Kami tertawa bersama.
sejenak Aku bisa melupakan kemelut yang terjadi dalam rumah tanggaku.
Canda dan cerita Dokter Agam membuat suasana hangat di malam dingin itu.
Saat kami sedang tertawa bahagia. Datang Mas Sigit dengan wajah kesalnya.
Di belakangnya mengekor Rani yang ikut berwajah masam.
"Katanya Bulan sakit, tapi kau tertawa-tawa begini." ucapnya ketus.
Dokter Agam terlihat heran melihat sikap suamiku.
"Suami mu?"
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Saya Agam, saya disini menggantikan dokter Ratna ." Dokter itu mengulurkan tangannya. Tapi mas Sigit malah melengos.
Aku semakin tidak enak hati.
"Bulan sudah baikan. Untunglah Dokter Agam merawatnya dengan baik." jawabku berharap bisa meredakan suasana panas itu.
"Itu memang sudah tugasnya.." jawab mas Sigit acuh.
" Benar katanya, jangan di besar-besarkan. itu memang tugasku." jawab Dokter itu bijak.
Aku semakin tidak enak oleh sikap mas Sigit yang arogan.
Bulan sudah di gendongan ayahnya. dia tampak senang dan tertawa-tawa.
"Ayo kita pulang..!" ucap pria itu sambil membayar biayanya ke Mala.
Dengan menahan malu aku mengucapkan terima kasih.
"May...!" suara mas Sigit dari dalam mobil terdengar meninggi.
Aku yang masih berbasa basi kepada Dokter Agam dan Mala langsung bergegas menyusul.
Bulan duduk di pangkuan ayahnya. Sedang Rani juga ikut duduk di depan.
Karena tidak ada pilihan lain, aku masuk dan duduk di belakang sendirian.
Sepanjang jalan suasana hening dan kaku.
Sampai suara Rani memecah keheningan
"Aku pikir Bulan sakit parah. Atau jangan-jangan ini hanya rencana May buat ketemu Dokter itu?"
Tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Aku menjerit tertahan karena khawatir dengan Bulan.
Benar saja Bulan menangis karena terantuk setir.
Aku mengambilnya agar duduk bersamaku.
Jelas sekali wajah mas Sigit terlihat marah. Mungkin dia termakan hasutan Rani barusan.
"Mbak, tolong jangan memfitnah ku. Bulan demam tinggi. Karena itu dia sampai di infus."
"Alasan...! Mas Sigit tidak bodoh. Kau hanya mencari alasan untuk bertemu dokter tampan itu, kan?" desak Rani lagi.
Mulut judesnya terus nyerocos.
"Lain kali kalau ada sesuatu dengan Bulan, kau harus minta ijin dulu padaku."
Suara mas Sigit bergetar.
"Aku sudah menghubungi mu berkali -kali, mengirim pesan juga tapi tidak kau balas, Mas."
"Aku sedang sibuk tidak sempat pegang handphone."
"Sesibuk apa hingga membalas pesan saja tidak sempat?" Rani menoleh kearah ku. Mungkin dia tidak menyangka aku berani bertanya seperti itu.
"Jaga batasan mu. Aku seorang suami. Apapun yang aku lakukan tidak perlu ijin dari mu. Kau harus ingat itu..!"
"Kenapa? Kenapa aku tidak berhak tau, sedang kan kau harus tau semua yang kulakukan?"
Plak..!
Tak ku sangka mas Sigit tega menamparku dengan keras.
"Itu pelajaran bagi mu. Lain kali jangan pernah mempertanyakan ini lagi. Dan satu lagi. Jangan pernah berani bertemu dokter ganjen itu lagi.!" setelah berkata begitu, dia menancap gas mobilnya. Bulan ikut menangis saat melihat ku di tampar ayahnya.
Bersambung...!!