Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Bukan pernikahan impian
Fauzan hanya bisa menatap punggung Alina yang semakin menjauh, dan hatinya seperti diremukkan. Setiap langkah Alina terasa seperti jarak yang semakin tidak mungkin dijangkau. Ia ingin berteriak, ingin menghentikan semua ini, tetapi tenggorokannya tercekat. Rasa bersalah dan ketidakberdayaan membuatnya diam.
Malam itu, pernikahan Liam Damien dan Alina akan segera berlangsung dalam suasana yang jauh berbeda dari pesta pernikahan besar yang biasanya dihadiri kalangan elit. Acara ini lebih sederhana, penuh ketenangan, dan kental dengan nuansa Islami.
Ruang akad dipenuhi oleh keluarga dekat dan beberapa sahabat. Liam duduk di sisi depan, mengenakan setelan jas pengantin berwarna hitam, wajahnya tampak tegang dan sorot matanya selalu mengintimidasi. Sementara itu, Alina duduk di belakang tirai tipis, dengan balutan gaun putih panjang dan cadar yang menutupi wajahnya.
"Bismillahirrahmanirrahim. Hari ini, kita berkumpul untuk menyaksikan ijab kabul pernikahan saudara Liam Damien bin Louis Damien dengan saudari Alina binti Hamza Rasyid Al-Mu'tasim. Semoga Allah memberkahi pernikahan ini dan menjadikannya sakinah, mawaddah, dan rahmah. Liam, apakah Anda siap untuk melaksanakan ijab kabul?" Suara penghulu menggema di ruangan memalui microfon tanda ijab kabul akan dimulai.
Liam mengangguk sedikit gugup, namun suaranya terdengar tegas. Ia melirik ayahnya yang duduk di dekatnya, wajahnya yang berwibawa menunjukkan ketegasan dan harapan besar. Sementara itu, Alina menundukkan kepala di balik cadarnya, meski tak ada kontak mata langsung, namun hati Alina berusaha tenang menghadapi momen ini.
Sementara Fauzan, ia memilih meninggalkan tempat resepsi daripada hadir dalam momen di mana wanita yang ia cintai akan menjadi milik orang lain. Langkahnya tegas membawa harapan yang sudah hancur di remas kenyataan. Sesekali ia menoleh ke belakang saat suara penghulu mulai mengalun, menandakan awal ikatan yang tak bisa ia miliki.
Fauzan mundur perlahan, matanya berkaca-kaca, menatap rumah Alina dengan luka yang tak terucapkan.
"Semoga kau bahagia Alina, semoga kau bahagia" Fauzan membatin, di antara kepedihan dan penyesalan yang ia rasakan, pria itu hanya ingin wanita yang di cintainya selalu bahagia.
"Saudara Liam Damien, saya nikahkan dan kawinkan Anda dengan saudari Alina binti Hamza Rasyid Al-Mu'tasim, dengan mas kawin berupa perhiasan emas 500 gram, dibayar tunai."
Liam menarik napas dalam, lalu dengan suara yang sedikit bergetar, ia menjawab, "Saya terima nikahnya Alina binti Hamza Rasyid Al-Mu'tasim dengan mas kawin tersebut, tunai."
Seketika suasana hening, menunggu konfirmasi dari penghulu. Penghulu tersenyum tipis dan menganggukkan kepala.
"Sah?"
Seluruh saksi dan hadirin serentak menjawab. "Sah!"
Suara gemuruh doa terlantun dari bibir penghulu, serta para saksi dan hadirin seluruhnya mengaminkan.
Liam menghela napas panjang, merasa beban berat di pundaknya semakin nyata. Dia menikahi Alina bukan karena cinta, melainkan karena tuntutan keluarga dan keadaan. Di balik kebingungannya, dia menyadari bahwa ini adalah jalan yang harus ia lalui.
...[••••]...
Liam masuk ke kamar pengantin dengan langkah tegas, sorot matanya dingin, seolah-olah tidak peduli dengan perasaan siapa pun, termasuk Alina. Dia melepaskan jas pengantinnya dengan gerakan cepat dan melemparnya ke atas kasur.
Alina, yang duduk di tepi tempat tidur dengan gaun pengantinnya yang masih terjuntai indah, dari balik cadarnya ia menatap Liam dengan hati-hati. Dia tidak tahu apa yang diharapkan dari pria ini, pria yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya karena perjodohan. Liam tidak mengatakan apa-apa ketika masuk, hanya memberikan tatapan dingin yang membuat suasana semakin kaku.
Liam berdiri di depan cermin, mengendurkan dasinya sebelum akhirnya berkata dengan nada datar,
"Kau tidak perlu berpura-pura, Alina. Aku tahu ini bukan pernikahan yang kau inginkan, dan jujur saja, aku pun sama."
Alina mengangkat alisnya,
"Apa maksudmu?" tanyanya, mencoba menyeimbangkan dirinya dalam situasi yang terasa menyesakkan ini.
Liam menoleh, menatapnya dengan sorot mata tajam,
"Aku menikahimu karena ini adalah keinginan keluargaku dan aku harap kamu tidak meminta lebih dariku," Ia berjalan mendekat, namun tetap menjaga jarak di antara mereka.
"Aku akan memenuhi tugasku sebagai suami di mata masyarakat, tapi itu tidak berarti kita harus berperan sebagai pasangan yang sebenarnya."
Jantung Kalian berdegup lebih cepat.
"Jadi... kau tidak ingin berusaha?" tanyanya, suaranya bergetar, ia bangkit dan berdiri di depan Liam, mata mereka bertemu namun penuh kekakuan.
Liam tersenyum dingin, senyum yang sama sekali tidak memberikan kehangatan.
"Berusaha? Untuk apa? Ini semua hanyalah permainan kekuasaan. Aku sudah mendapatkan apa yang kubutuhkan, status dan perlindungan bisnis keluargaku."
Dia duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar dengan sikap tak peduli.
"Jadi jangan berpikir bahwa pernikahan ini akan berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban." lanjutnya, ia mengeluarkan bungkus rokok di sakunya, mengambilnya satu barang lalu membakarnya dengan korek api.
Alina terdiam, mencoba mencerna kata-kata yang begitu tajam dan menyakitkan itu. Meski sejak awal dia tahu pernikahan ini tak didasarkan pada cinta, mendengarnya langsung dari mulut Liam tetap membuat hatinya perih.
"Kita bisa menjalani ini dengan damai, Alina," lanjut Liam tanpa menoleh ke arahnya sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
"Asal kau tahu batasanmu, aku tidak akan mengganggu hidupmu. Tapi jangan berharap lebih dariku."
Alina mengepalkan tangan di atas gaun pengantinnya, matanya mendadak berkaca maca.
"Kau begitu dingin, Liam. Ini bukan pernikahan yang kubayangkan, tapi setidaknya kita bisa mencoba untuk saling menghargai, sebagaimana agama telah memberikan kewajiban antara suami dan istri untuk saling membahagiakan."
Liam menghembuskan asap lagi, lalu menoleh dengan tatapan tajam, dia berdiri dari kursinya dan melangkah perlahan ke Alina.
"Membahagiakan? Kau tak perlu memberiku ceramah tentang itu. Aku akan memberimu apa yang kau butuhkan, tapi tidak lebih. Jangan berusaha mengubah apa yang sudah diputuskan."
Alina menelan ludah, langkahnya mundur merasa tersudut.
"Aku tak pernah bermaksud mengubahmu, Aku hanya berharap kita bisa menjalani ini dengan cara yang lebih baik."
Liam terus melangkah dengan penuh keangkuhan.
"Sudah ku bilang, Jangan berharap terlalu banyak, Alina, nanti kau menyesal!" ucapnya tajam, disertai serangai sinis.
Setelah itu Liam beranjak ke kamar mandi. Tinggal Alina yang sendirian m, matanya berkaca kaca, Kata-kata itu bagai palu yang menghantam perasaannya, menghancurkan sisa-sisa harapan akan kebahagiaan dalam pernikahan.
Alina mencoba menenangkan dirinya, tetapi rasa sesak di dadanya kian kuat. Harapan kecil yang ia miliki tentang pernikahan itu runtuh dengan cepat. Meski sejak awal ia tahu pernikahan ini bukan berdasarkan cinta, dia tak pernah membayangkan betapa dingin dan acuh tak acuhnya Liam. Dia jadi mengingat Fauzan yang mengkhawatirkan kebahagiaanya, dan itu membuat hatinya semakin nyeri.
"Aku pikir kau tak perlu membuka cadarmu di depanku, anggap saja aku ini orang asing."
...[••••]...
...Bersambung......
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.