Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Modus Doang
...----------------...
"Mit, lo nulis kisi-kisi yang ditulis di papan tulis sama Bu Amelia tadi, nggak?" Rara bertanya kepada sahabatnya ketika mereka sedang belajar kelompok bersama di rumahnya.
"Nggak. Si Heri nulis kali," unjuk Mita menggunakan dagu pada lelaki yang mempunyai rambut sama sepertinya, keriting juga.
Akan tetapi, lelaki itu menggelengkan kepalanya juga, membuat Rara berdecak sebal karenanya. Gadis itu merasa bernasib sial karena punya teman sekelompok yang malas semua.
"Parah banget, sih, kalian! Nih, lihat catetan gue!" Rara melemparkan bukunya ke tengah meja bundar tempat mereka belajar. "Gue cari materi nomor 1 dan lo cari materi di kisi-kisi nomor 2!" titahnya pada Mita, lalu beralih pada Heri, "lo nomor terakhir!" titahnya membagi tugas.
"Oke." Kata sepakat itu terlontar bersamaan dari mulut Mita dan Heri. Ketiganya pun sibuk membaca dan membolak-balikan buku referensi.
Di tengah-tengah kegiatan mereka, Heri yang mulai bosan pun mencari topik yang lebih menarik daripada mengerjakan tugas. Dia pun ingin mengalihkan kegiatannya sesaat.
"Eh, Ra. Lo udah dapat tawaran main film sama pak Sutradara?"
Perhatian Rara pun sontak beralih kepada Heri yang bertanya. Sejenak bayangan kemarahan Ryan di malam itu tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Walaupun Rara berusaha untuk tidak peduli dengan sikap Ryan yang tidak setuju dengan keinginannya untuk bertemu Danang, hal itu tetap mengganggu pikirannya. Waktu itu, pertemuan mereka hanya dengan sepupu Heri yang bernama Deni saja. Kemudian, Rara disuruh menunggu kabar selanjutnya dari dia.
"Belum. Katanya Pak Danang masih sibuk dan belum ada pencarian bakat untuk casting film baru lagi," jawab Rara apa adanya.
"Kalau udah ada, lo mau langsung ikutan, Ra?" Giliran Mita yang ikut nimbrung dengan perbincangan tersebut. Tugas yang mereka kerjakan sejenak diabaikan.
"Iyalah. Udah gue tungguin. Gue pasti langsung ikutan kalau ada kesempatan casting film."
"Ikutan apa?" Suara bariton yang tiba-tiba terdengar dari dalam rumah membuat Rara terkesiap. Itu adalah suara bapaknya—Aji.
Kepala Rara langsung menoleh ke arah Aji, lalu menyengir ketika melihat tatapan Aji yang begitu mengintimidasi.
"Rara mau ikutan casting film, Pak."
"Mita!" Rara langsung melotot ke arah temannya yang menjawab dengan lantang.
Mita langsung mengigit bibir bawahnya merasa keceplosan. "Gue lupa," ucapnya lirih.
"Film apa? Bukannya bapak udah ngelarang kamu melakukan hal itu, Rara? Bapak nggak suka." Aji langsung geram mendengarnya. Bukannya Aji tidak mendukung apa yang menjadi cita-cita anaknya, melainkan lelaki paruh baya itu hanya takut Rara salah jalan saja.
Aji pernah mempunyai kenalan yang anaknya terjebak dalam skandal film vulg4r. Orang tuanya tidak pernah tahu pada awalnya. Namun, suatu ketika bangkai itu pun akhirnya tercium juga. Pada akhirnya, hanya membuat malu keluarga.
Terkenal di dunia keartisan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh perjuangan panjang. Ada yang memulai dengan jalur langit, jalur darat, dan ada pula yang melalui jalur nekad. Namun, semuanya juga bergantung pada keberuntungan yang didapat.
Aji tidak mau anaknya mengundi nasibnya di jalur tersebut. Lebih baik menjadi orang biasa saja. Bekerja sewajarnya dengan kapasitas yang kita punya.
"Udahlah, Pak. Kalau memang Rara mau jadi artis juga nggak apa-apa. Toh, jadi artis itu banyak duitnya." Salma yang baru datang dari dalam rumah pun ikut menimpali. Berbarengan dengan keluarnya dari rumah sebelah.
Lelaki itu pulang kuliah sebelum Rara pulang sekolah. Hari ini tidak ada jadwal syuting, makanya lelaki itu ada di rumah.
"Nggak semua artis banyak duitnya, Bu. Tuh, buktinya Nak Ryan. Dia juga katanya artis dan suka main film, tapi malah ngontrak di rumah kita. Kalau jadi artis banyak duitnya, harusnya dia udah bisa beli rumah."
Tentu saja perkataan itu didengar oleh Ryan. Telinganya berdengung seperti dihantam suara genderang. Sakit hati? Tidak juga. Memang begitu kenyataannya. Namun, Aji tidak pernah tahu jika Ryan sebenarnya adalah anak orang kaya.
"Ehem."
Ryan berdehem, membuat perhatian semua orang beralih kepadanya. Aji langsung bungkam. Ia yakin jika Ryan mendengar perkataannya. Namun, suara tawa menggelegar yang terlontar dari mulut Heri membuat semua perhatian beralih pada pemuda itu.
"Ah, si Bapak nggak tahu aja. Saya yakin dia juga kaya. Orang dia ngontrak di sini cuma modus doang, sebenarnya dia mau mengejar si Rara aja."
Perkataan itu sontak membuat semua orang ternganga. Heri bisa berkata seperti itu atas dasar apa?
"Heri, kalau ngomong jangan sembarangan! Bang Ryan kenal si Rara juga belum lama. Mau modus apa dia?" Mita dengan cepat menyanggah perkataan Heri. Sebagai penggemar berat Ryan, gadis itu tidak rela jika idolanya difitnah seperti itu.
"Dih, memangnya lo lupa insiden waktu Rara lomba peragaan busana? Bukannya lelaki itu yang tiba-tiba naik panggung terus meluk si Rara. Padahal katanya Rara nggak kenal sama dia."
Bukan hanya wajah Ryan yang terlihat panik dengan perkataan Heri, Rara pun sama paniknya. Gadis itu sudah berjanji dengan Ryan agar tidak mengungkit masalah tersebut di depan orang tua Rara. Sesuai kesepakatan mereka semenjak merawat kucing kesayangannya.
Kedua mata Rara langsung melotot tajam kepada Heri agar lelaki itu berhenti berkata. Ingin sekali rasanya membungkam mulut lelaki itu. Benar-benar tukang ikut campur.
"Memangnya ada kejadian kayak gitu, Ra? Kok, kamu nggak pernah cerita sama ibu dan bapak?" tanya Aji penasaran.
Pandangan Rara langsung beralih kepada Aji, lalu menggigit bibir bawahnya sembari berpikir. Ekor matanya melirik ke arah Ryan seolah meminta pertolongan, tetapi lelaki itu masih terdiam. Dia juga bingung mau berkata apa untuk menjelaskan.
"Ehm ... sebenarnya ... itu cuma kesalahpahaman aja, Pak. Bang Ryan cuma salah orang waktu itu. Iya, kan, Bang?" Rara bertanya pada Ryan sambil menautkan kedua alisnya diiringi kode kedipan mata. Seolah memberikan kode agar Ryan selaras dengan alasannya tersebut.
Akan tetapi, Ryan masih enggan membuka mulutnya. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Sangat sulit untuk dilontarkan.
"Bohong, Pak. Aku yakin laki-laki itu memang punya modus jahat sama Rara. Waktu itu dia sampe berdebat dengan Kepala Sekolah. Dia kekeuh ngaku-ngaku pacarnya Rara. Padahal Rara aja nggak kenal sama dia. Semua orang di sekolah juga nyangka kalau dia itu 'si psikop4t gila'." Heri langsung menyanggah. Ia menjelaskan kejadian waktu itu sekaligus menuduh Ryan yang tidak-tidak.
Tak berhenti di sana, tatapan Heri pun beralih kepada Rara dengan tatapan tajam, "Lo kenapa jadi belain dia, sih, Ra? Bukannya lo benci banget sama dia? Jangan-jangan dia udah ngelakuin sesuatu sama lo ...."
"Ngelakuin apa maksudnya?" Salma yang ikut mendengarkan sedikit terganggu dengan perkataan Heri. Sebagai seorang ibu, tentu dia merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap anak gadisnya itu.
"Lo bisa diem nggak, sih? Omongan lo tadi bisa menimbulkan fitnah tahu!" geram Rara.
"Iya, ih. Lo nggak punya hak buat nggak percaya sama bang Ryan. Dia bukan orang jahat. Buktinya, si Rara baik-baik aja sampe sekarang." Mita ikut menimpali.
Ryan masih bergeming sambil berpikir. Ia tidak menyangka jika lelaki yang bernama Heri itu akan mengungkap kejadian waktu itu di hadapan orang tua Rara. Ryan bingung mau memulai dari mana menjelaskannya. Mau jujur juga tidak akan ada yang percaya.
"Kalau gitu biar Nak Ryan saja yang menjelaskan semuanya. Apa benar apa yang dikatakan oleh Nak Heri tadi?"
Ryan meneguk saliva. Ia belum mendapatkan jawaban yang tepat untuk menyanggah perkataan Heri. Otaknya tiba-tiba saja buntu. Pandangannya menatap wajah setiap orang satu-persatu dengan tatapan yang sulit diartikan. Apakah Ryan harus jujur sekarang?
"Bang Ryan pasti agak berat jika mengingat kejadian itu lagi, Pak." Rara membantu Ryan mengawali pembicaraan.
"Cuma disuruh jawab aja, kenapa berat? Lagian bapak nggak minta kamu yang jawab." Aji tidak mau mendengarkan Rara. Tatapannya seperti mendesak Ryan untuk bersuara.
Hening sejenak melingkupi atmosfer di sana. Tatapan semua orang tertuju kepada Ryan, membuat lelaki itu semakin gugup saja. Rasanya seperti ditodong memakai senjata di kepala. Namun, Ryan harus menghadapinya. Cepat atau lambat kejadian itu pasti akan terdengar juga oleh orang tua Rara. Dia harus punya alasan yang tepat untuk menjelaskannya.
"Ehm ... Heri memang benar. Waktu itu, aku memang seperti psikop4t gila yang tiba-tiba memeluk Rara dan mengaku sebagai pacarnya." Pengakuan Ryan tersebut membuat semua orang di sana sontak ternganga.
Salma sampai bergerak mendekati Rara lalu memeluk tubuh anaknya itu seolah memberikan perlindungan dari Ryan. Ia takut jika Ryan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, tak ada satu pun di antara mereka yang berani menyanggah. Mereka seperti menunggu Ryan untuk melanjutkan kalimatnya.
"Itu karena Rara sangat mirip dengan pacar aku yang sudah meninggal dunia. Mirip sekali ...." Ryan sejenak menjeda kalimatnya. Tatapannya menerawang sambil menatap wajah cantik Rara. Sudut matanya pun mulai berkaca-kaca.
"Aku pikir pacarku telah hidup lagi. Makanya aku terus mencari informasi dan kebetulan rumah kalian dikontrakkan. Aku seperti mendapatkan kesempatan untuk mencari informasi lebih banyak tentang Rara. Tapi ... setelah beberapa saat aku tinggal di sini, aku tahu jika mereka adalah orang yang berbeda. Jujur aku menyesal telah melakukan itu. Aku minta maaf," lanjut Ryan dengan sorot mata penuh penyesalan.
Penjelasan itu tidak cukup meyakinkan keluarga Rara. Tanpa bukti yang nyata sebuah cerita hanyalah omong kosong belaka.
"Ada buktinya?" tanya Aji kemudian.
Ryan berpikir sejenak, kemudian merogoh dompet yang berada di saku celana. Lelaki itu menunjukkan sebuah foto yang menampilkan sosok dirinya yang sedang merangkul perempuan yang wajahnya persis seperti Rara. Sebuah foto yang terselip dalam dompet yang ikut serta ketika melintasi ruang dan waktu karena menempel di tubuh Ryan kala itu.
...----------------...
...To be continued...
ikut dong 😅😅
euleuhhh pdhl mah buat koleksi we
pen dijewer euhhhh 🤣🤣🤏🏻🤏🏻
mau jalan jalan kemana 😁😅