Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Safira yang terluka
Maura memasuki ruangan milik Safira. Ini kali pertamanya tahu ada ruangan pribadi di sekolah. Apa Safira membayarnya? Kenapa anak-anak lain tidak membeli ruangan serupa?
Seseorang memanggilnya sepulang sekolah dan memintanya untuk datang ke tempat Safira. Maura pun mengikuti arahan orang itu.
Safira duduk di kursi yang membelakangi Maura, dengan sebuah buku yang dibacanya. Ia bisa tahu kedatangan Maura setelah mendengar pintu terbuka.
"Silakan duduk, kak." Safira menutup bukunya lantas bergeser memberi ruang untuk Maura.
"Gimana menurut kakak?"
Maura melongo. "Hah? Apa maksud kamu?"
Safira tersenyum. "Ruangan ini. Gimana kesan kakak saat masuk ke sini?"
Maura berdeham sebelum menjawab, "ruangannya bagus, sangat nyaman. Kamu pasti suka ada di sini."
Safira tersenyum tipis. "Bagiku tempat ini sama dengan penjara kedua. Yang kamu bilang nyaman, itu adalah ancaman untukku. Orang-orang seperti kalian memiliki pemikiran sederhana. Kalian hanya berpikir, 'wah, enak sekali jadi orang kaya' dan 'andai aku jadi anak konglomerat'. Apa kalian tidak berpikir bagaimana kami menjalani hidup?"
Maura diam.
"Bagiku, kak Gavin adalah segalanya. Dia pangeran yang diciptakan untuk membawa perubahan. Aku percaya, selama dengan dia maka dunia akan baik-baik saja. Dia pangeran yang sangat baik. Aku harap kakak jangan salah paham."
Maura mulai mengerti arah pembicaraan Safira.
"Ya, dia memang baik."
"Tapi orang yang dia cintai hanya aku," tegas Safira.
Maura menelan ludah. "Aku tahu itu."
"Baguslah." Safira mengambil selembar cek dari dalam tasnya lantas meletakkan itu di atas meja. "Ini hadiah kecil dari keluarga Halim. Kita hanya perlu kembali ke tempat masing-masing."
Maura tidak perlu mengambil kertas itu untuk membaca tulisan dua miliar di atasnya.
"Apa kamu menghargai cinta Gavin dengan kertas ini?" Sarkas Maura.
Safira menampar Maura lantas berdiri. "Lancang kamu, ya!"
Maura ikut berdiri. "Aku semakin tidak ingin membiarkan Gavin bersama dengan keluarga seperti kalian. Tadinya aku pikir kamu berbeda, ternyata semua orang kaya sama saja."
"Hati-hati kalau bicara! Kamu tidak akan bisa menghadapi orang-orang kaya. Kamu pikir apa yang akan dilakukan keluarga Halim kalau sampai mengganggu rencana kami? Kamu akan bersyukur hanya melalui hari ini."
"Apa orang kaya hanya bisa mengancam? Sepertinya Gavin sudah salah memilih tunangan."
Safira memandang nyalang pada Maura. "Tahu apa kamu soal perasaan kak Gavin, hah?!"
"Harusnya kamu juga tahu jawabannya. Apa dia bisa bahagia bersama denganmu?"
Pandangan Safira mulai mengabur, matanya mulai perih menahan air mata yang melesak keluar. "Dia yang menjanjikan kebahagian untuk kami berdua. Mana mungkin dia berjanji tanpa bahagia pula?"
"Sepertinya dia mulai berubah pikiran. Yang aku tahu, dia bahagia di apartemen itu."
Safira semakin menangis. Itu artinya tempat 'anti Safira' adalah kebahagiaan Gavin. Safira jatuh terduduk.
"Bohong." Ia berkata lirih. Seperti pada dirinya sendiri.
Kenapa jadi seperti ini? Ia memanggil Maura untuk membuatnya meninggalkan Gavin. Kenapa jadi ia yang diserang? Kenapa ia yang lemah?
Jam tangan Safira berbunyi kencang dan ia memegangi dadanya. Ia merintih. Maura panik lalu menopang Safira yang terkulai lemas. Safira pun pingsan. Jam tangan Safira menjadi merah. Maura bingung hendak berbuat apa. Dengan panik ia hendak menghubungi ambulans, tapi ponsel Safira di atas meja berdering. Nama Mama Amanda muncul di layar, tanpa pikir panjang Maura mengangkatnya. Berharap itu bantuan untuk Safira.
.
.
"Tante jangan panik, Safira pasti baik-baik aja. Aku yakin." Maura mengelus pundak Mama Amanda yang terlihat gusar.
Mereka duduk di depan ruang ICU menunggu dokter keluar dan membawa kabar baik tentang Safira.
"Untung kamu ada di sana. Tante gak bisa bayangin gimana jadinya kalau Safira cuma sendirian." Mama Amanda kembali menangis.
Suara sepatu yang beradu dengan lantai rumah sakit mengalihkan perhatian mereka. Pemilik sepatu itu berlari ke arah mereka.
Dengan napas tersengal Gavin bertanya, "g-gimana keadaan Safira?"
Mama Amanda memeluk Gavin lalu menggeleng. "Belum ada hasil."
Gavin mengusap punggung Mama Amanda. "Safira itu gadis kuat. Mama harus yakin juga."
Setelah Mama Amanda melepaskan pelukan mereka, barulah Gavin menyadari keberadaan Maura.
"Kenapa kamu di sini?"
"Dia yang bawa Safira ke sini, terus Mama nyusul." Mama Amanda yang menjawab.
Gavin menatap Maura. "Jadi bener tadi kamu ketemu Safira? Aku nyusul ke tempat itu terus langsung ke sini begitu dapat telepon dari Mama."
"Ya, Safira tiba-tiba pingsan. Aku minta maaf, aku gak tahu kalau akan jadi begini akhirnya."
"Itu bukan salah kamu, Maura." Gavin berusaha menenangkan.
Mama Amanda terkejut mendengar nama yang Gavin sebutkan. Ia pun menatap Maura.
"Dasar jalang!" Tanpa aba-aba Mama Amanda menampar Maura dengan keras. "Beraninya kamu menggoda anak saya lalu sekarang mencelakai calon menantuku. Dasar perempuan tidak tahu diri! Sini kamu, berengsek!"
Mama Amanda menarik rambut Maura lantas dijambak dengan keras. Ia juga melempar Maura ke dinding. Ia menjerit dan memaki kasar. Gavin yang mencoba menghalangi pun ia singkirkan. Ia terus memukul Maura dengan membabi buta. Sementara Maura menangis menahan pukulan itu.
"Ma, cukup! Ma! Cukup!" Gavin menarik Mamanya dengan sekuat tenaga, hingga tanpa sengaja Mamanya terdorong jatuh ke lantai.
"Gavin..." Mamanya terkejut dengan sikap Gavin saat ini.
Gavin pun tersadar lalu membantu Mamanya berdiri. "Maaf, Ma, aku gak sengaja."
"Berani, ya, sekarang kamu sama Mama sendiri." Mamanya mengomel.
"Maura sebaiknya kamu pulang. Maaf aku gak bisa nganter kamu, kita bicara nanti."
Maura sebenarnya kecewa, tapi ia mengerti situasi hingga memilih pergi dari sana.
"Ngapain kamu mau ketemu lagi sama dia?" Mamanya mulai menangis. "Mama gak suka kamu selingkuh sama dia."
"Ma, please, aku gak selingkuh. Aku sama Maura gak ada hubungan apa-apa. Aku juga udah jelasin sama Safira."
"Terus ngapain tadi kamu bela dia? Kamu sampai kasar sama Mama."
"Tadi itu gak sengaja, Ma. Aku minta maaf sama Mama." Gavin membawa Mamanya untuk duduk.
"Mama gak tahu apa yang ada dipikiran kamu soal ini, tapi kalau sampai Papa tahu dia pasti marah besar. Kamu ngerti kan posisi kita itu gimana."
"Iya, Ma. Nanti aku pikirin sendiri solusinya."
"Mama tetep gak suka sama cewek itu."
"Namanya Muara, Ma. Dia temen aku sama kayak yang lain."
"Mama gak mau kamu temenan sama cewek gitu."
Gavin hendak membela tapi dokter sudah keluar dari ICU. Mereka pun menghambur ke arah sang dokter.
"Gimana keadaan Safira, dok?" Mama Gavin bertanya dengan panik.
"Sekarang dia sudah stabil. Tapi kemungkinan harus dirawat dulu beberapa hari untuk melihat perkembangannya." Dokter pun menjelaskan.
"Makasih, dok."
Dokter Lukman mengangguk seraya menepuk pundak Gavin. "Sekarang giliran kamu yang semangatin dia." Setelah itu ia pun pergi.
Seiring dengan kepergian dokter, tiga orang suster mendorong brankar dengan Safira yang tertidur di atasnya. Gavin dan Mamanya mengikuti di belakang.
.
.
TBC